Date a girl who reads

Date a girl who reads

Sabtu, 09 Juni 2012

Friend Or Foe (Chapter One)


Dari balik kaca sebuah Coffee Shop, terlihat dua  orang perempuan berusia diakhir dua puluhan. Mereka terlihat akrab, tapi terlihat begitu berbeda. Namun sebenarnya mereka bersahabat erat. Marion dan Nala. 

Marion tipikal wanita karier yang serius. Tinggi kurus, berambut merah yang ditata dengan potongan layer sederhana, berwajah oval dengan warna mata hazel. Keanggunan Inggris terlihat jelas dalam dirinya, berkacamata kotak yang menampilkan aura cerdas, dan binar optimis terpancar dari matanya. Berbanding terbalik dengan Nala, bertampang unik yang didapat dari nenek moyang campuran, setengah Kaukasia juga setengah Asia. Nala lebih mirip seperti gadis dengan senyum malas-malasan dalam halaman utama majalah Fashion, terlihat indah namun tak memiliki cita rasa, seolah kepribadiannya yang bermasalah terlihat seperti buku yang terbuka.


Mereka terlibat obrolan serius, tapi masing-masing diantara mereka sebenarnya kurang menikmati topik yang sedang dibahasnya. Sederhananya mereka hanya ingin bersama, melepas penat dari rutinitas yang mengikat. Mereka ingin kembali seperti dulu saat mereka masih SMU dan dunia mereka hanya direpotkan masalah pekerjaan rumah yang membosankan atau bad hair day yang menyebalkan.

Marion menyesap Espressonya. Dia menikmati rasa pahit dan manis dalam waktu bersamaan di lidahnya. Dia menatap pada gadis di depannya yang sibuk memainkan rokok yang tak dinyalakannya. Nala terlihat marah karena gangguan kecil bernama aturan, lebih tepatnya larangan. Idiot munafik mana yang mengatur masalah ada tempat boleh merokok dan ada tempat tidak boleh merokok?

“Jadi… kau memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupmu?” Pertanyaan pribadi yang tidak sederhana, apalagi diucapkan oleh gadis yang terlihat tidak suka bercanda. “Kau yakin dengan itu?” Seolah ingin menegaskan dia menambahkan lagi. “I mean…, kau benar-benar tahan dengan kesendirian itu?” Kali ini tak lagi seperti pertanyaan serius, lebih seperti cecaran yang memojokkan.

“Apa yang kubutuhkan?” Setengah tertawa Nala bertanya. “Cinta?!” Ada nada jijik saat dia menyebut kata yang bagi jutaan orang dunia adalah kata yang paling berharga. “Bukankah itu sejenis spesies yang hampir punah?!” Wajahnya terlihat membenci rangkaian kalimat yang tengah dia katakan. “Pria baik dan Dinosaur cuma bisa ditemukan dalam buku sejarah,” dia mengulur-ulur ucapannya seakan terdengar bosan.

“Aku yakin kau pernah – paling tidak  satu kali – merasakan cemburu. Kau tahu, ketika kau melihat pasangan suami istri.” Marion mencoba mengubah pendirian Nala, dia ingin mempengaruhinya.

“Cemburu?!” Nala terkekeh, seolah kata itu adalah kata yang bisa memancing tawa. “Jadi itu yang kamu lihat? Marion, my friend…. Mata manusia hanya mampu melihat apa yang ingin dilihatnya.” Aneh ketika kalimat seperti itu diucapkan oleh gadis dengan potongan rambut Pixie yang dicat Magenta. Gayanya terlalu eksentrik, tapi kemampuan berbicaranya ternyata bisa saja bijaksana. “Well…. Aku cuma ingin membayangkan jika aku berada di posisi wanita itu. Sekedar membandingkan. Seberapa bahagia aku tanpa pria yang mengikatku. Kau tahu, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan  orang-orang yang berbeda.” Nala memain-mainkan amulet yang menjadi hiasan bagi kalung ala gipsinya. “Perkawinan tidak lebih dari ikatan konvensional, dimana wanita hanya berfungsi sebagai ibu dan pembantu rumah tangga. Aku wanita yang mencintai hidup, dan perkawinan, seperti bukan hubungan yang ingin aku jalani. Aku tak bisa membayangkan hanya menghabiskan hidupku dengan satu orang saja. Tidak ada jaminan aku tak terserang bosan.”

Marion nyaris tak percaya pada kata-kata sahabatnya. Nala bisa saja berdusta, seperti lidahnya yang tercipta untuk berbicara tanpa harus seirama dengan hati. Nala boleh kelihatan berapi-api, tapi matanya menampilkan ekspresi sedih. Mata hijau itu terlihat tanpa cahaya ceria yang dulu pernah jadi miliknya.

“Aku bertemu Dalton kemarin.” Marion tahu pasti itu adalah hal terakhir yang ingin didengar Nala.”

“Wah beruntung sekali.” Nala terdengar mengejek dia memutar bola matanya, ekspresinya terlihat luar biasa sebal.

“Dia menayakanmu,” tambah Marion.

“Seharusnya dia berhenti menanyakan apapun tentangku! Baik baginya untuk melupakan aku seperti aku melupakannya.” Nala benci membahas Dalton. Nala dan Dalton bisa saja menjadi pasangan yang membuat iri pasangan lainnya. Tapi pada akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Tidak. Sebenarnya, Nalalah yang meninggalkannya.

“Kabar buruknya, Dalton tak bisa melupakanmu,” kata Marion cepat-cepat, seolah mengatakan hal itu bisa melukai lidahnya. “Dia bilang, apartemennya sepi sejak kau pergi.”

Nala terdiam, jauh di lubuk hatinya ada lubang yang menganga yang dulu pernah diisi oleh pria yang sangat dicintainya. Tapi rupanya Nala memilih membiarkan lukanya tetap seperti adanya.

Marion ingin bicara tapi ada keraguan. Pembahasan di antara mereka membuat hawa terasa sedikit panas. Tapi mau tak mau, Marion harus mengatakannya, karena tak ada lagi waktu yang tepat selain saat ini.

Wanna be my Maid of Honor?” Marion mengucapkannya dengan tiba-tiba. Nala tak menduga, tapi Nala tahu dia harus bersikap bagaimana. Dia memeluk sahabatnya. Di dadanya kehangatan menyelimutinya, membuatnya tenang, dan merasakan kedamaian. Di tengah kebenciannya dengan drama percintaan, terselip sedikit rasa percaya, bahwa cinta sejati itu ada, tapi hanya bagi mereka yang meyakini.

With my pleasure, Darla,” kata Nala tulus, namun tak beberapa lama ide nakal menjalari pikirannya. “Screaming for bachelor party baby! Mari melepas masa lajang dengan menjadi jalang semalam!” Nala mencintai pesta lebih dari rasa bencinya terhadap pria. Dan kelebihannya, dia tahu cara memeriahkan suasana dan sangat tahu cara membuat kekacauan. Marion harus mendirikan benteng pengamanan.

“What?! memasang ekspresi terkejut tidak cukup untuk menyelamatkannya karena tepat pada saat itu Nala tertawa, ekspresi ketakutan Marion seperti kebahagian besar buatnya.

“Berhentilah menjadi gadis manis!” Marion memang membosankan.

I’m not…, but are you sure about this?”

Absolutely!” Nala memasang wajah bandel cantiknya. “You know me so well.” Nala bersiul menggoda. “Kau selalu menang mempengaruhiku dengan sikap baikmu. Tak ada salahnya jika sesekali kau mengikutiku. Tak ada ruginya untukmu. Lagipula, anggaplah ini sebagai bayaran atas permintaanmu menjadikanku pengiring pengantinmu!”

Oh, no…,” teriak Marion dalam hati. Nampaknya ia harus waspada terhadap ide gila sahabatnya. Nala punya otak kriminal parah. Dan Nala suka sekali mendekati bahaya.

Nala tertawa. Derai tawa manja tapi serak. Suaranya menjadi berat karena ketergantungannya akan nikotin.

Well…. Robert akan mengadakan pesta akhir pekan. Hanya untuk para pengiring pengantin. Aku harap kau ada di sana. Dan setelahnya, kita siap berpesta. But…, lupakan soal ide gilamu yang berbahaya.” Marion berdiri, dia hendak pergi. Sedari tadi dia gelisah dan terus menatap arloji.

Robert adalah tunangan Marion. Mereka bertiga – Marion, Nala, dan Robert – adalah sahabat pada awalnya. Tapi pada akhirnya, Robert dan Marion menjalin cinta. Dan Nala berakhir dengan status saudara sejiwa. Hubungan mereka berubah saat Nala berkencan dengan Dalton di kelas XI. Robert membenci Dalton. Bukan hanya karena dia brengsek, tapi karena dia cowok nyaris sempurna yang pernah ditemuinya. Nala dan Dalton sempurna bila bersama. Hanya saja sayangnya, mereka memberi dampak buruk untuk satu dan lainnya.

Wait!” kata Nala setengah kaget, tak menyadari kepergian Marion yang sangat tiba-tiba. “Aku mencium sesuatu yang layak untuk dicurigai!”

Marion berbalik dan tersenyum.

“Kau sangat tahu Robert, Nala. Pria itu bahkan tak punya pikiran negatif sedikitpun. Rencana jahat tak mungkin terpikirkan di otak sucinya,” ujar Marion yang lalu melanjutkan langkahnya.

Nala masih tetap duduk di bangku kafe yang sama. Dan otaknya terus mengeluarkan tanya yang tak habis-habis. Nala ingin percaya, tapi firasat memaksanya untuk terus waspada.


— bersambung —

Gambar : Kitty Gallanaugh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar