Gambar: di sini
Aku
melihat mereka mati berkali-kali. Mati dijalan raya terlindas gengsi. Mati di
kamar-kamar pengap terjebak asap. Mati frustasi gara-gara patah hati. Mati
karena sesat dan kehilangan arah. Aku pernah menjadi bagian dari mereka semua.
Nyaris mati, namun hidup menyelamatkanku.
***
“Apa itu masa depan?” Tanyaku
pada remaja tanggung kerempeng dengan muka penuh bopeng. Masa puber membuat
jerawat beranak pinak dan wajahnya rusak. Dia menatapku muak.
“Cuma waktu yang masih sangat
lama.” Dia memandang ke luar jendela.
“Tidakkah kamu memikirkannya?”
Aku ingin dia memikirkannya.
“Kadang-kadang jika aku sempat!”
jawabnya tanpa berpikir.
“Apa cita-citamu?” Kenapa aku
begitu ingin tahu?
“Apa itu urusan anda?” dia balik
bertanya.
“Ya, karena aku yang akan
membantumu untuk meraihnya.”
“Apa anda sudah meraih cita-cita
anda?”
Surat skors dan usai sudah.
***
“Tugas anda berat ya?” tak
terdengar seperti pertanyaan, itu adalah ejekan.
“Hanya melelahkan,” Sebenarnya aku tak ingin menjawabnya.
“Yakin tidak ingin pindah? Saya
mengenal orang yang bisa mengurus kepindahan anda lho, cuma tiga puluh lima
juta, murah.”
“Bukankah di kontrak tertera
sepuluh tahun baru boleh mutasi?”
“Itu kan di kontrak, atau anda
menikah saja dengan PNS di kota anda, nanti bisa pindah dengan alasan ikut
suami, mudah toh?”
“Kenapa daerah harus buat
peraturan kalau begitu?”
“Daerah tidak punya SDM yang
memadai, kalau bukan gara-gara kita yang kekurangan kesempatan di kota ini,
siapa lagi? Tapi saya ketemu jodoh di sini, ya sudah menetap. Tidak perlu
kembali.”
“Saya tahu itu, tapi kenapa
harus bikin kontrak kalau masih bisa dinegosiasi?”
“Polos sekali.” ibu itu
mendengus dan meninggalkan meja saya. Bergabung bersama ibu-ibu di meja sebelah
sambil mencicipi rujak dan membolak balik katalog-katalog barang dapur sampai
kosmetik yang boleh dikredit dan kalau cash
bisa didiskon sepuluh persen.
***
“Terus kita mesti bagaimana?
Enam bulan sekali dan kita hanya bertemu beberapa hari.”
“Mungkin putus adalah
jawabannya.” Aku tak ingin berpikir lagi. Suara klik dan telepon terputus. Aku
terbiasa dengan ini, laki-laki bisa datang dan pergi. Tapi, pada akhirnya
nanti, pasti akan ada yang kembali.
Aku tersenyum pada cermin yang
menampilkan wajah muramku.
“Apa yang kau cari, La?” tanyaku
lirih.
“Takdir dan pikiran dangkalku
berkonspirasi, inilah yang kudapatkan,” jawab si gadis sinis di dalam cermin.
Kutinggalkan bayanganku dan menghadapi layar netbook. Mengecek aktivitas maya
teman-teman yang dengan begitu sombongnya dulu pernah kupandang sebelah mata.
Apakah kehidupan mereka lebih baik dariku?
Nimas yang ibu rumah tangga
dengan bisnis kue keringnya, cukup
sukses tengah membangun rumah dan menanti kelahiran anak kedua. Farah, no wonder... tersenyum lebar dengan
latar belakang sunset dengan pria tua
asing barunya. Lian dan Akbar—mereka
menikah dan akan terbang ke Aussie,
beruntungnya Akbar dapat beasiswa lagi.
Ingin tersenyum tapi tak bisa
memungkiri hati sedikit iri.
***
Pada awalnya aku tak
menginginkannya. Selalu begitu. Apa yang kita terima kadang bukan yang kita
harapkan. Tapi, kemudahan membuat kita menjadikannya sebuah pilihan yang
diinginkan.
“Kenapa
bukan fakultas Hukum, seperti kita semua?” sepupu-sepupuku mencercaku.
“PMJK
dan ucapkan selamat! Aku mensyukurinya jadi aku tak perlu repot-repot ikut
SNMPTN. Berapa banyak dari kita yang kuliah dan ujung-ujungnya.... bukankah
kita hanya mencari gelar?”
“S.Pd?
Sarjana Pulang desa?” sebuah ejekan yang harus kubalas dengan senyuman.
“Setidaknya,
para guru didoakan setiap upacara senin pagi, katakan padaku, siapa yang
mendoakan para notaris atau pengacara?”
Mereka
meninggalkanku dengan gerutuan, bola mata berputar juga gelengan kepala. Tak
mengerti dengan jalan pikiranku.
Akupun
tak mengerti, aku sendiri memiliki cita-cita lainnya, yang jauh lebih hebat.
Menjadi Sosiolog barangkali, mencicipi belajar ilmunya di Brown atau creative
writing di Princeton. Bisa saja, dengan
sedikit kerja keras beasiswa akan kudapatkan.Tapi menghabiskan waktu bersama
teman-teman dan bersenang-senang membuat aku memilih berpikir dengan lebih
sederhana.
Aku
hanya belajar di kampus beberapa saat dan mendapat gelar, selebihnya bonus. Jadi kubunuh
cita-cita besarku, mengambil formulir jalur khusus yang dengan mudah akan
kudapatkan. Tak perlu jauh, hanya di Universitas kota seberang. Di sana aku
hanya perlu bersenang-senang, tempatnya indah salah satu pusat pariwisata favorite dunia. Tempat yang memiliki pantai eksotik,
makanan yang sesuai lidahku yang penggila pedas, serta pesta-pesta semalam suntuk,
tak perlu memikirkan materi kuliahku, salahku, aku menggampangkannya! Empat
tahun hebat berlalu, lulus tepat waktu dan ta ra! setelah wisuda dengan
predikat nyaris cum laude. Dan demi
menunjukkan bahwa aku mampu. Aku lulus lho di tes PNS yang ‘bergengsi’ itu! Di
sebuah Kabupaten baru yang berdiri karena kenekatan tanpa kesiapan.
Gadis
itu. Gadis yang pernah berpikir ‘dengan pengorbanan minimal mendapatkan hasil
maksimal’. Yang semasa kuliah dengan ‘polos’ mendatangi rental komputer langganan
si kutu buku kelas dan hanya tinggal mengedit tugas demi tugas dan selalu
mendapat B+ dan beberapa A untuk tugas yang tak pernah dipikirkannya. Yang selalu mengantuk dan bad mood di jam kuliah karena energinya telah
dihabiskan untuk pesta sepanjang malam.Yang karena keberuntungan akhirnya dia
mendapat tujuan-tujuan yang hanya dipikir dalam waktu singkat.
Sayang sekali gadis manis, kini
pikiran-pikiran dangkal itu menjebakmu ke negeri antah berantah! Di mana
musik-musik berdentum? Di mana gelak tawa kawan-kawanmu? Di mana lagi kau
temukan tempat untuk menangis, ngambek, dan beberapa butir obat tidur bisa
menenangkanmu? Kau hanya berada di dua tempat; di kelas dengan pelajar yang jauh lebih dewasa
darimu dan kamar pengap tempat kau menumpahkan kekesalan.
Hingga, saat kau memiliki
kesempatan untuk pergi, kenapa kau masih bertahan di sini? Aku memang suka
mengejek diriku sendiri.
***
Aku masih ingat tahun-tahun awal
dan aku sempat berpikir untuk menukar
nasibku dalam beberapa kesempatan.
“Cowok pemberani nggak ngajak kawin
lari!” aku menggelengkan kepala dan menolak tawaran Gusti. Kami berbeda
kepercayaan dan Gusti bukan orang yang
dilahirkan dengan tanggung jawab. Kita bisa selalu bersama di saat bahagia,
tapi saat menderita? Seandainya hanya ada hidup bahagia selama-lamanya, maka
tawarannya takkan kutolak.
“Cuma cowok sengak yang ngajak
kawin kontrak!” Aku ingin memaki si jangkung pirang yang sebelumnya membuatku
terharu, karena dia masih mengingatku setelah beberapa tahun tak bertemu.
Menyebrangi separuh dunia untuk menemuiku, bersama menikmati akhir pekan
romantis sebelum lamaran memuakan, menikah hingga kontrak kerjanya usai. Lalu
setelahnya? Aku belum gila!
“Putuskanlah, sekarang atau tidak
sama sekali?” Meninggalkan apa yang tengah kujalani ternyata aku tak cukup
berani.
“Kamu mungkin akan mengatakan tak
lagi mencintaiku, tapi pekerjaanku takkan pernah mengatakan itu.”
“Dan keputusanmu?”
“Kalau jodoh kita pasti bertemu di
lain waktu.”
***
Dan aku bertahan, bukan karena tidak ada lagi kewarasan. Aku bertahan
karena jika tanpa kepedulian maka akan ada banyak kesia-siaan yang takkan
sampai di masa depan. Beberapa diantara mereka mungkin takkan menyelesaikan
tahun ketiga karena ada yang masuk ke sawah, terpaksa menikah, menjadi
penambang liar bahkan mengadu nasib ke luar negeri, menjadi pahlawan devisa
yang tak dihargai.
Di sini, tempat yang pernah kubenci karena terpaksa untuk kutinggali. Aku
pernah— tak hanya satu dua
kali, ingin berlari pergi. Tapi di sini aku bertahan karena di sinilah aku menjadi
diriku yang memiliki arti. Tak perlu menjadi hebat, tak perlu menjadi luar
biasa, tak perlu berbahagia dengan iringan musik dan tawa.
Aku hanya perlu menghadapi hari ke hari dengan penuh rasa syukur;
mendengarkan mereka, melihat kehidupan yang sebenarnya. Belajar menjadi diriku
yang seharusnya. Belajar untuk memaknai bahwa hidup adalah guru terbaik. Suatu
hari, aku akan pergi tapi episode ketika aku hidup di sini adalah salah satu
episode yang paling berarti.
ehem, kok... sepertinya kali ini berat ya...???
BalasHapusbiasanya nulis yang silly hehehe sesekali pengen yang kayak gini hehehe, pengen keluar dari zona nyaman mbak :)
HapusMau dipanjangin jadi novel?
BalasHapusIde bagus mbak, bakal dicoba jadi novel :)
HapusRada sulit dimengerti, :(
BalasHapusLebih suka gaya bahasa mbak yang manis :)
tp keren kok, pingin bisa nulis yg bagus kyk mbak
tetap suka nulis kisah-kisah manis, tapi kadang nulis yang kayak gini kurasa perlu, yuk sama-sama menulis, semangat Retno :)
Hapuskunjung ke blog aku juga dong mba. lagi coba-coba baru untuk nulis cerpen. kumpulansegalacerpendisini.blogspot.com
BalasHapusceritanya sangat bagus. buka blog saya juga dong mba. lagi mencoba menulis cerpen. kumpulansegalacerpendisini.blogspot.com . terimakasih
BalasHapus