Date a girl who reads

Date a girl who reads

Sabtu, 17 Januari 2015

[Review] The Known World: Bagaimana Jika Kau Harus Mengenal Dunia yang tak Ingin Kau Kenal?


Judul Buku                              : The Known World (Dunia yang Kukenal)
Jenis Buku                               : Fiksi
Penulis                                    : Edward P. Jones
Alih Bahasa                             : Meda Satrio
Penyunting                              : Anton Kurnia
Pewajah Isi                              : Siti
Penerbit                                   : PT. SERAMBI ILMU SEMESTA
Cetakan II                               : November 2006
Cetakan I                                : Juli 2006
Tebal                                       : 653 halaman
ISBN                                       : 979-16-0134-8

Blurb:

            Mengambil latar belakang di sebuah kota kecil di Virgnia pada akhir abad ke-19, tak lama setelah pecah Perang Saudara di Amerika Serikat, cerita ber-pusat pada sebuah keluarga tuan tanah kulit hitam. Perjalanan hidup membawa Henry Townsend, yang terlahir sebagai budak dan kemudian dimerdekakakan oleh ayahnya, menjadi seorang tuan tanah yang memiliki dan mempekerjakan budak-budak kulit hitam. Setelah kematiannya, jandanya mengelola tanah pertanian mereka dengan bantuan seorang budak kepala yang kemudian justru menjalin cinta terlarang dengannya, dan memicu sebuah konflik yang berakhir tragis.
            Novel yang ditulis dengan ambisius dan brilian ini menjelajah masa lalu dan masa depan kemudian kembali lagi ke masa kini. The Known World merajut kehidupan perbudakan manusia dan segala kerumitan dan permasalahannya sekaligus memotret fenomena penyimpangan seks, pertentangan kelas, dan diskriminasi ras yang lazim terjadi pada masa itu dalam sebuah tatanan masyarakat yang timpang dan hipokrit.
***
            Saya ingin memulai tulisan ini dengan kalimat memikat di halaman awal; Jiwaku kerap bertanya-tanya, bagaimana aku mampu melupakan …
            Nampaknya itulah yang ingin menjadi tujuan sang penulis untuk pembacanya, bagaimana kisah ini tak bisa dilupakan para pembacanya. Seringkali untuk saya pribadi, sebuah novel akan membuat saya tertarik jika novel tersebut mencantumkan award yang diterimanya, seperti novel ini. Tak main-main, merupakan peraih Pulitzer Prize 2004 dan Pen/ Hemingway Award.
                Sebisa mungkin saya berusaha untuk tak memberikan spoiler walau godaannya ternyata sulit sekali ditolak, jadi karena usaha tersebut terlalu berat buat saya jadi untuk menghindarinya saya hanya akan menyampaikan perasaan saya untuk para tokohnya. Berduka untuk keluarga Townsend walau jelas saya takkan bisa menghargai janda Henry Townsend. Caldonia. Marah dan bersedih untuk Moses. Bangga dan bahagia untuk Alice, Priscila dan Jamie, dan terberkatilah pasangan Elias dan Celeste!

            Seperti judul review ini, bagaimana jika kau harus mengenal dunia yang tak ingin kau kenal? Namun jawabannya adalah, seandainya saja ada pilihan. Nampaknya di sini memang ada pilihan untuk sang takdir, menyerah padanya atau justru melawannya. Keduanya bisa saja asal siap dengan resikonya. Seperti untuk Augustus Townsend pertama-tama  memerdekakan dirinya disusul sang istri, Mildred, lalu putera mereka, Henry.
            Tetapi diperlukan waktu jauh lebih lama untuk membeli keerdekaan Henry daripada apa yang diperkirakan ayahnya. Robbins menyadari betapa Henry anak yang cerdas. Harga untuk kecerdasan tidak tetap dan karena berubah-ubah, harga itu akan sebesar berapapun yang mampu ditanggung oleh pasar, dan semua beban itu akan jatuh pada pundak Mildred dan Augustus (Halaman 40)
            Kita yang tak akrab dengan perbudakan dan saya pribadi yang menyesali kenapa harus ada perbudakan seakan dipaksa untuk bertoleransi pada hal yang se-tak masuk akal membeli puteramu sendiri dari orang yang pernah merampas hak kemerdekaanmu, tragis memang tapi itulah yang harus keluarga Townsend hadapi
            Lalu Moses, si budak kepala yang tak hanya harus betanggung jawab atas lahan pertanian setelah ditinggal mati si tuan, namun dia nampaknya juga harus bertanggung jawab atas kebutuhan batin janda tuannya. Apa yang Moses lakukan? sebagai pekerja loyalitas Moses tak tercela, namun kadang seseorang menjadi sungguh tak bijaksana ketika dia menginginkan lebih dari apa yang berhak dia terima. Bahkan walau itu dengan cara mengorbankan dua miliknya yang berharga.
            William Robbins, layak disebut pecinta negro. Dia adalah tuan tanah dengan banyak budak negro (113 budak) juga lelaki yang jatuh cinta pada negro. Dia memiliki simpanan bernama Philomena serta dua anak haram; Dora dan Louis. Nampaknya dia juga tak bisa tak mengagumi talenta dari negro miliknya. Robbins sangat menghargai kecerdasaan dan keterampilan yang dimiliki orang lain, bahkan itu budaknya. Kalau tak bisa dikatakan mencintai Henry layaknya anaknya sendiri karena kecerdasaannya mungkin layak jika Robbins dikatakan sebagai penggemar berat Henry. Dia bahkan menyewa seorang guru, Fern Elston untuk Henry yang bahkan pada usia 31 tahun telah menjadi tuan tanah dengan 31 budak. Tidakkah Henry sangat luar biasa? pantas Robbins sangat  mengaguminya.
            Lalu Caldonia yang menurut saya (beradasarkan emosi, di sini saya harus mengatakan betapa Caldonia dan ibunya nyaris serupa) sungguh sangat tak layak untuk Henry (mungkin itulah yang membuat sang penulis memilih Henry untuk mati muda dan menuju surga dengan segera. Henry nampaknya dinobatkan jadi tokoh yang pantas dikagumi) Nantinya Caldonia akan menikahi Louis, anak haram William Robbins setelah dia terlibat affair dengan kepala budak miliknya, Moses. Selain itu, di sana terdapat tokoh-tokoh yang tak kalah penting; si sinting Alice, keluarga Elias dan Celeste, Keluarga Skiffington dengan persaingan antar saudara sepupu John dan Counsel yang tak terduga di akhir cerita. Kisah ini kompleks, kisah ini indah, kisah ini penting.
            Seperti kata Jonathan Yardley dari Washington Post Book World. "Luar biasa … karya fiksi Amerika terbaik yang pernah bertengger di meja saya selama bertahun-tahun." Isu yang dimuat dalam novel ini jelas menarik, diramu dengan deskripsi detail yang indah yang tentu saja membawa perasaan untuk pembaca. Idenya luar biasa, kompleks tapi tidak membingungkan. Kisah ini membuat pembaca dengan sabar dan cermat menghubungkan bagian ke bagian lain kisah, hubungan dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Kerumitannya tidak menyulitkan, karya  ini nyaris tanpa cela. Memang, dibutuhkan kesabaran namun seperti yang kita tahu kesabaran memang selalu memberi kepuasan di akhir dengan bayaran yang setimpal.
            Mengutip dari Boston Globe "Sempurna… Anda akan sulit meninggalkan The Known World hingga halaman terakhir." Salah satu kepiawaian si penulis adalah dia sepertinya tahu rasa penasaran pembaca dan menggoda pembaca dengan cuplikan-cuplikan singkat tentang kelanjutan kisah, tentang nasib di kemudian hari para tokohnya. Dia sungguh-sungguh membuat pembaca dipermainkan dengan cara yang benar.
            Menurut Jeffrey Lent," Novel paling bertenaga dan amat menyentuh yang pernah saya baca. Edward P. Jones mengubah sebuah mahakarya modern, yang tidak sekedar memaparkan kisah tak terlupakan, tetapi juga diiringi keanggunan dan keluwesannn, serta misteri yang akhirnya mengguncang imaji…" Kata-kata Lent nampaknya mulai 'terbaca' sejak lembar pertama. Ada paragraf indah yang begitu kuat yang sungguh membuat saya kagum. Ia memakan tanah tidak hanya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan ladang ini, melainkan  karena dengan memakan tanah ia terikat dengan satu-satunya hal dalam dunia mungilnya ini yang memiliki arti hampir seperti hidupnya sendiri. (halaman 12)
            Dan jika suatu hari kalian bertemu buku ini, kukatakan ambil dan bacalah karena jika tidak mungkin kamu baru saja melewatkan kesempatan untuk melewatkan karya yang sangat luar biasa.

Tentang Pengarang:
            Edward P. Jones lahir dan tumbuh di Washington D.C, kemudian menempuh pendidikan di University of Virginia. Ia adalah pemenang PEN/Hemingway Award dan finalis National Book Award untuk kumpulan cerita pendek pertamanya, Lost in the City (1992). Kini, penerima Lannan Foundation Grant ini tinggal di Arlington, Virginia, Amerika Serikat. Selain menjadi Finalis National Book Award, novel ini memenangkan National Book Critics Circle Award 2003 dan Pulitzer Prize 2004 untuk kategori fiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar