Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 26 November 2015

[Cerpen] What If




"What is your idea of a perfect morning?" ketika aku menanyakannya, kamu tertawa kecil. Tawamu memudar berganti senyum yang menawan. Aku suka keduanya. Di atas segalanya aku suka kamu yang terlihat bahagia.
            "Pagi adalah saat terbaik untuk perayaan. Pagi itu indah, membawa harapan, kesempatan, dan yang terbaik ketika membuka mata, kamu masih diberi kehidupan. Bangun dan bersyukur, lalu ... Selamat datang hari baru, aku siap menjalanimu. Jangan lupa tentang sarapan lezat dan musik yang membuatmu bersemangat, Bob Marley bagus tapi boleh juga Queen atau Kiss atau The Beatles. Sesuatu yang baru juga tak masalah, Brighter Than Sunshine dari Aqualung,  mungkin? Oh jangan bicarakan musik atau aku takkan berhenti mengoceh. Aku suka musik, pendengar yang baik tapi tak menguasai satu instrumen-pun. Payah. Parah! " Kamu menutup wajahmu, menghalangi malu agar tak tertangkap mataku. Pipimu bersemu dan tawamu membuatku menyadari betapa indahnya dirimu. Aku suka sinar matamu yang berbinar ketika kamu membicarakan hal yang menyenangkan hatimu. Bolehkah aku menipu diri, menganggap bahwa akulah yang menjadi alasan bahagiamu?

            "Kamu tahu, aku suka menari-berdansa-salah--maksudku bergerak mengikuti musik sesuka hati. Aku penari buruk, karena gerakan yang kubuat semauku. Aku terusir dari kelas menari karena tak bisa mengikuti pelatihku dan karier menariku berakhir dengan cara yang tak menyenangkan. Tapi setiap pagi aku selalu menari, anggap saja salah satu cara untuk menyambut datangnya matahari. Yaampun jangan lupakan kopi. Aku suka sekali kopi, tapi boleh berganti dengan teh, susu, atau cokelat sesekali. Air putih? Dua gelas tepat saat bangkit dari tempat tidur. Oh jus buah itu sehat dan ide bagus juga. Jika kamu sarapan denganku, maukah kamu membagi rotimu?"
            Aku mengangguk. Dia bicara cepat dan seolah kata-kata tercipta cepat dari balik lidahnya. Aku suka gerakan bibirnya ketika dia membentuk kata. Oh seandainya saja aku bisa menciumnya.
            "Apa aku membuatmu bosan? Aku sungguh banyak bicara! Ketika kecil, ayahku menjadikan masalah kebiasaan bicaraku. Dia memanggilku burung beo mungil cerewet. Suatu hari ayahku berhasil menemukan cara agar aku diam dan mengunci mulutku." Dia terdiam sejenak dan merapikan rambut membandel ke belakang telinganya. "Ayahku memberikanku buku, saat membaca aku meninggalkan dunia dan tenggelam di dalam bacaanku. Bukankah itu ide hebat? Ayahku memang hebat, bukan? Oh, aku bicara banyak. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan.
            "Teruslah bicara atau kamu ingin kembali membaca?" Apa aku memberikannya pilihan yang salah.
            "Boleh terus bersamamu?"
            Dia terdiam. Ada keheningan yang menggantung diantara kita.
            "Aku senang jika ada kamu di sini." Katamu lagi. Merah jambu, menempel cantik dipipimu.
            "Aku suka mendengarmu bicara. Aku juga suka melihatmu membaca."
            "Kenapa kamu jarang bicara?"
            "Laki-laki memamg miskin perbendaharaan kata."
            Dia mengangguk memaklumi.
            "Ayahku pendiam, sepertimu." Dia mengamatiku dalam-dalam. "Saat dia terdiam bersamaku, dia terlihat seperti selalu memikirkan sesuatu. Begitu juga kamu."
            "Hmmm..."
            "Apa yang sering kamu pikirkan?" Kamu terlihat sungguh ingin tahu
            Aku tersentak mendengar pertanyaan tiba-tibamu. Aku menatap wajahmu yang tengah menunggu jawabanku.
            "Kamu." Lalu aku memberi senyum malu-malu milikku.
            "Jangan sengaja menggodaku." Kemu memukul lembut lenganku dengan buku Mary Poppins milikmu." Kenapa kamu mau bolos denganku?" Dia menatap tepat pada mataku. Aku mengalihkan pandanganku. Aku menunduk. Tatapanmu membuatku ketakutan, aku tak ingin kamu melihat apa yang kusembunyikan darimu. Cinta. Takut jika kamu tak menginginkannya.
            "Anggap saja aku bosan dengan pelajaran matematika." Aku bicara dalam nada yang kuatur sedemikian rupa, aku tahu nadanya bergetar.
            "Kamu adalah murid kesayangan guru matematika kita, siapa namanya? Hihi" Kamu menertawakan kebodohanmu.
            "Bu Atika."
            "Nilaimu bagus, selalu. Tidakkah angka-angka itu memusingkanmu?" Sekarang kamu seolah menulis angka-angka imajiner di udara.
            Aku menggeleng.
            "Angka-angka itu memusuhiku. Aku selalu keliru, mengerjakan soal terburu-buru. Mereka mengintimidasiku. Angka-angka itu tak menyukaiku." Kamu cemberut dan kedua pipimu menggembung. Lucu.
            Kita terdiam lama dan seolah membiarkan waktu berputar semaunya. Kamu bersandar di dinding triplek rapuh yang bisa saja rebah. Sebelah kakimu berada di atas kakiku. Kita bertelanjang kaki membiarkan dinginnya ubin merasuki. Dari sela-sela dinding kami menikmati angin bulan November yang dingin. Aku berharap tak ada satpam sekolah atau guru BP yang mendapati  kami tengah membolos di kantin yang sebentar lagi akan dibongkar dan diganti bangunan permanen.
            Tadinya aku tak ingin meninggalkan kelas. Tapi, melihat wajahmu yang tertekan mau tak mau aku ikut merasakan apa yang kamu takutkan. Kamu belum mengerjakan PR-mu satupun dan tak siap menghadapi ulangan harian. Aku membantumu karena rasa kemanusiaan? Tentu saja tidak. Aku membayangkan berada di posisimu dan kuipikir itu sangat tidak menyenangkan. Ada kalanya memang lebih baik berlari dari pada menghadapi sesuatu yang mengintimidasi. Jika kami sama-sama tak masuk kelas hari ini, setidaknya ada ulangan susulan di perpustakaan, dan aku bisa mengerjakan bagianmu. Entahlah, jika tentangmu Odelia, bahkan  seandainya bisa seisi duniapun akan kubawakan.
            Odelia. Tidakkah kamu menyadari keindahan namamu mewakili segala keindahan dirimu? Tapi, tak banyak yang dapat melihat keindahanmu. Orang lain tak bisa melihat dengan cara yang tepat. Seandainya mereka melihat apa yang kulihat, seharusnya memang mereka tak perlu melihatnya, karena jika mereka mengetahui segala yang indah darimu, aku takut mereka juga jatuh cinta padamu.
            Aku menggoyangkan kakiku dan kubiarkan kakimu ikut bergoyang lembut di atas kakiku. Aku sengaja membiarkanmu terganggu dan menghentikan bacaanmu lalu menutup buku. Merespon kejailanku. Kamu tersenyum, saat deretan gigimu terlihat maka belah dagumu juga terlihat. Manis, cantik dan membuat mataku betah untuk terus menatap.
            Ada tanda bahaya di dalam kepala aku tak dibiarkan menatap bibirmu. Aku takut tak bisa menahan godaan untuk meciummu. Aku harus melupakan keinginanku itu. Sekarang hati dan pikiranku tengah berperang. Jika peperangan di dunia terjadi karena matinya rasa peduli, namun peperangan antara hati dan pikiranku begitu peduli padamu dan berusaha untuk melakukan segala yang terbaik buatmu.
            "Mau melakukan hal yang menyenangkan?"
            "Seperti apa, misalnya?"
            "Hmmm... " Matamu menatap ke atas, seolah di sanalah terdapat jawaban yang ingin kamu temukan. "'Bagaimana jika? ' itu namanya, kita memulai semua pertanyaan dengan bagaimana jika secara bergantian dan masing-masing kita harus menjawab dengan jujur..."
***
            "Kedengarannya menakutkan," Aku ingin bercanda tapi nadaku tak terdengar begitu ditelingamu.
            Kamu cemberut dan aku memaksa tertawa, aku tak pandai dalam berandai-andai.
            "Bagaimana jika, bagaimana jika aku tak bisa menjawab pertanyaanmu?" aku memberimu pertanyaan pertama.
            "Kamu pasti bisa menjawabnya," katamu dengan yakin.
            Aku mengangguk, baiklah. " Siapa yang mulai bertanya?"
            "Ladies first, huh?"
            "Baiklah," aku menyerah.
            "Bagaimana jika kamu diberi kesempatan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, apa yang akan kamu minta?"
            "Kebahagiaan bagimu," Kata hatiku, " Keliling dunia kukira, lelaki harus melihat dunia!" Kata-kataku terdengar ragu.
            Dia menghela nafas lalu memperbaiki posisi bersandarnya.
             "Kamu pergi, jauh dan itu membutuhkan tenaga dan waktu." Katamu, nyaris terdengar seperti lagu sendu. "Mungkin nanti aku akan merindukanmu." Aku tak tega memandang ekspresi itu di wajahmu.
            Aku berusaha memberimu senyum yang menenangkan.
            "Ada pesan buatku?"
            Kamu terdiam cukup lama dan setelah helaan nafas panjang kamu berbicara. " Terbanglah sejauh sayapmu mampu membawa terbang tapi ingat kemana harus pulang," Setelahnya kamu membereskan bacaanmu, memasukannya ke ranselmu dan memakai cardigan abu-abumu, lalu mengikat rambutmu yang tergerai. Memasang sepatumu, tanpa kaus kaki. Kamu berdiri dan berbicara pelan sekali dalam nada menyesali, "Seharusnya aku tak memulai permainan ini. Kupikir aku lebih baik masuk ke kelas saja."
            Jawabanku salah, karena jika benar kupikir kamu masih lebih memilih bersamaku dan bukannya menghadapi apa yang kamu benci. Kubiarkan kamu pergi tanpa mengikuti.

            Aku masih ingat hari itu, detailnya, setiap bagian bahkan yang terhalus sekalipun. Itu hanya sepotong kenangan di masa lalu, di jaman putih abu-abu. Saat itu aku begitu jatuh cinta padamu, tapi bibirku begitu kelu untuk memberitahumu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar