Date a girl who reads

Date a girl who reads

Senin, 16 Januari 2012

Rahasia Gadis (21)


(Gadis)
Mengapa ada yang harus ditukarkan agar yang satu kembali
Mengapa kedua-duanya tak bisa kumiliki di dalam hati
***
               Aku menikmati minggu yang ceria bersama papa, dan tak sabar menunggu senin datang saat Raken dengan tampangnya yang berubah-ubah, dari ceria jadi marah-marah, dari manyun jadi senyum, dari…aku cuma mau bilang bahwa aku merindukannya. Sangat…sangat…sangat!!!

               Aku menikmati sarapanku dengan papa, tapi tak seperti biasa papa tak menentuh cinnamon sugar muffin-nya yang tadi kuletakkan dipiringnya, dia juga tak menyentuh jasmine tea-nya, sekarang dia malah menyesap kopi hitam dan merokok, tak pernah sekalipun seingatku papa melakukan hal ini.
               “Papa?” dia seperti terkejut saat aku memanggilnya “Sarapannya?” aku memandangi piringnya dan memandanginya dengan ekspresi bertanya, pasti sekarang alisku naik sebelah.
               “Papa kenyang sayang” dia tersenyum padaku.
               Berkali-kali aku menatap ke arah pintu, dan berharap Raken segera datang, seperti biasa datang dengan rambut berantakannya lalu tanpa malu-malu mencomot apa saja yang ada di atas meja makan. Papa menyadari kegelisahanku.
               “Papa lupa, pemuda itu berhenti. Mulai hari ini kamu berangkat sekolah akan diantar jemput oleh driver.”
               “Tapi Pa” aku ingin protes. “Gadis butuh Raken untuk menemani Gadis di sekolah”
               “Kamu sudah dewasa sayang, akan ada banyak teman lainmu nantinya.” Dia menatapku sekilas “have a nice day “ sambungnya lagi, saat driver baruku datang dan menanyakan aku siap berangkat. Kucium pipi papa sekilas lalu berangkat.
***
               Aku memikirkan Raken saat ini, kenapa dia tidak mengatakan sesuatu…seperti…selamat tinggal? Mengenang hal ini bikin aku memilih untuk menatap jendela, berusaha menahan air mata yang ingin mengalir di pipiku. Aku lupa Raken selalu begitu, dia tak tau sopan santun, mengucapkan selamat tinggal adalah salah satu jenis sopan santun. Tapi dia harusnya bilang, ini mengejutkan dan membuatku…Raken…kamu pergi bahkan sebelum sempat mendengar apa yang ingin kukatakan padamu pagi ini. Seharian kemarian aku ingin kamu tau bahwa aku jatuh cinta, jatuh cinta pada body guard-ku! Pacar palsuku, my Nutcracker. Kali ini aku tak kuasa kubiarkan diriku menangis, dan ketika driverku mengatakan bahwa kami sampai di sekolah, aku buru-bur menghapus air mataku dan turun. Harusnya hari ini, Raken dan aku akan memasuki gerbang sekolah dengan bergandengan tangan.
               Aku tak berani mengangkat muka, lebih-lebih karena sedih, juga karena pesta malam minggu kemarin yang tanpa teman-teman di sini, tak tau apa yang kulakukan tak kuasa untuk menatap orang-orang yang melewatiku, kuputuskan untuk enuju lokerku. Anehnya lokerku tak terkunci, tapi setelah lebih seksama memeriksa isinya, tak ada yang hilang, malah ada sesuatu yang berbeda di sana, aroma cokelat panas yang tertinggal, aroma yang sama dengan wangi tubuh Raken. Oh Tuhan aku benar-benar merindukannya.
               “Idiot!” aku memaki diriku sendiri dalam hati “Tugasnya telah usai dan sudah waktunya dia pergi, tak ada alasannya untuknya tetap tinggal, aku hanyalah beban, Papa membayarnya, setelah selesai dia mengambil uangnya dan pergi,…lau bagaimana dengan ciuman itu?” aku berbicara pada diri sendiri dan menangis. “Kupikir itu cuma akhir sempurna untuk sebuah perpisahan” Aku menghela nafas, tak ingin lagi memikirkan Raken, tapi tentu saja aku tak bisa.
               “Idiot!” kudengar makian, serasa seperti makian yang diucapkan Raken, ternyata bukan suaranya walau aku berharap itu adalah dia, makian itu berasal dari cowok yang kutabrak tanpa sengaja, cowok yang sekarang menunjukkan ekspresi menilai kala memandangku, dia menatap kearah nama yang tertempel di seragamku.
               “Copelia Widjaja?” dia membacanya dengan nada bertanya.
               Aku mengangguk, dia mengulurkan tangannya, aku membaca namanya.
               Enzo Albertino
               “Enzo Albertino” katanya, aku menyambut uluran tangannya dan menjabatnya, tapi anehnya si cowok ini malah bersikap kurang ajar, jari-jarinya mengelus telapak tanganku.
               Tak suka dengan apa yang dilakukannya, aku memutuskan untuk melepaskan tanganku dari genggamannya. Untunglah dering nyaring bel menyelamatkanku.
               Enzo menatapku dan tersenyum, aku melihat belah dagunya yang tajam saat dia merekahkan senyumnya dan memperlihatkan dereten giginya.
               “Bye Baby” dan dia berlari pergi.
***
               Sekolah tak kunikmati, aku sudah mengatakannya bahkan sejak hari pertama aku erada di sini. Tapi minimal hari itu ada Raken, walaupun anggapanku tentangnya pada saat itu adalah bahwa dia sama menyebalkannya dengan seekor kecoak.
               Aku makan siang sendirian, tapi tiba-tiba saja bunyi derap langkah-langkah yang seirama menghampiriku, aku memandangi sosok-sosok akrab ketujuh cowok itu, aku berjanji sejak malam ketika mereka menyanyikan lagu romantis untukku, aku takkan lagi memanggil mereka dengan sebutan boyband gagal, tapi menyebutkan nama-namanya; Danar, Vicky, Alden, Rayya, Galang, Binnar, dan Adip.
               “Hey…”sapa mereka. Satu persatu mulai duduk dan mengatur nampan makanan di depannya.
               “Mana si Prince Charming?” tanya Alden dengan cengiran menggoda.
               “Jika Prince Charming itu benar-benar ada, harusnya kisahku sudah berkhir bahagia.” Entah mengapa saat aku mengatakannya, aku serasa tak bisa menelan selada yang baru kukunyah. Tak terasa kini pipiku mulai basah oleh air mata.
               Mereka menatapku iba. Alden yang ada di sampingku menyentuh tanganku, mencoba menenangkanku.
               Aku mencoba untuk menguasai diri.
               “Tugasnya udah selesai” Akhirnya aku mengatakannya. “Sebenarnya Alfan…namanya bukan Alfan, nama aslinya adalah Rakendra, dia berpura-pura sebagai tunanganku, sebenarnya dia adalah body guard-ku, seseorang yang menemaniku. Tapi sudahlah saat ini segalanya selesai, aku sendiri…”tapi au menatap wajah simpati mereka satu persatu. “Hey…kalian bisa jadi temanku kan?”
               “Yups” jawab mereka singkat sambil mengangguk.
               “Terima kasih” aku menghapus air mataku.
               Minimal sekarang aku tak benar-benar sendiri. Ini aneh…tapi sejujurnya aku merasa seperti Putri Salju dan tujuh kurcacinya.


 bersambung...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar