(Lestari)
Aku
selalu senang memandang matahari terbenam, menandakan bahwa hari telah usai. Seperti
senja ini, saat langit terlihat seperti lukisan jingga keemasan bercahaya yang memberi
arti bahwa kisah hari ini harus berakhir. Aku ingin bertanya, apakah hari ini
kau telah menciptakan kenangan baru? Ataukah jauh dalam hatimu kamu ingin
menghapus kenangan itu?
Sore
ini aku ingin mengenang kembali, satu hari dalam hidupku, hari dimana…kenangan
itu tak lebih dari sebuah film buram yang menjadi sebuah kenangan, hari dimana
aku menemukan jalan yang pantas untuk kulalui selama sisa waktuku. Aku tak
pernah menyesali hari itu.
Aku menatap wajahnya, penuh
senyuman, indah menambah rupawan wajah tampannya. Aku selalu jatuh cinta pada
pria yang saat ini menimang bayi laki-laki kembar yang baru saja kulahirkan.
Terlahir sehat keduanya, pada awalnya, tapi tidak untuk salah satunya, karena
bertahun-tahun kemudian kesehatannya tidak sesempurna seperti saat dia
mengawali kehidupannya di dunia.
“Terima kasih” bisik laki-laki itu,
kali ini dia menyerahkan kedua jagoan cilikku itu pada dua orang suster yang
terlihat sangat terpesona oleh keelokan sang bayi yang seperti baru saja diterima
dari surga.
Setelah kedua suster dan bayiku pergi,
laki-laki itu menghampiriku, duduk di sisis tempat tidur, tempatku berbaring
lemah tapi bahagia. Dia menggenggam tanganku, tersenyum padaku, bukan tersenyum
tapi semacam seringaian, kedua tanganku yang digenggamnya sekarang diberi
sebuah kehormatan, ciuman hangat penuh penghargaan.
“Terima kasih” kali ini dia
mengucapkannya lagi dan sekarang ditambah sebuah ciuman di puncak kepalaku. Aku
meneteskan air mata saat bibirnya menyentuh kulit kepalaku yang tertutup rambut
halus indahku. Aku tak menangis bahagia, tapi lebih kepada mengasihani diriku
sendiri.
“Lestari, aku sudah memikir nama
untuk kedua anakku; Adrian Pranadjaja dan Ardian Pranandjaja, kuberikan nama
belakang, tahta, serta kehormatan.” Matanya berbinar saat mengatakannya.
Aku mengangguk, tak berkata apa,
tapi terpaksa memberikan senyuman memahami yang menyakitkan hati. Ibu macam apa
aku ini! Aku menjual anakku sendiri! Bukan pada siapa-siapa, memang pada ayah
biologisnya, sungguh masalahnya bukanlah hal yang sederhana.
Tak bisa menyimpan kepiluan yang
mendalam, mau tak mau aku membiarkan air mataku menetes lagi.
“Jangan sedih! Aku takkan sekejam
itu padamu, yang kubutuhkan hanya satu pria penerusku, si bungsu boleh jadi
milikmu.”Dia memberi senyum pengertian. “ Tentu aku tak keberatan memiliki
keduanya, tapi aku memberikanmu bukan karena aku mengasihanimu yang harus
kehilangan darah dagingmu. “ Berhenti sejenak, menghela nafas, lalu mulai lagi
berbicara “Ini lebih karena aku tak ingin ada perebutan tahta di kemudian hari.
Kamu tau siapa aku, aku bukan pria baik, aku otak dari segala kejahatan yang pernah
terciptakan; pembunuhan tanpa ampun, narkotika sebagai pelarian, ataupun wanita-wanita
pelepas dahaga pria, itulah duniaku, kehidupanku, tahtaku, hartaku. Kehidupan
kotor yang menyenangkan.” Dia seperti mengejek dirinya saat mengatakan hal itu.
Aku tak dapat bicara, mulutku kelu,
tenggorokanku sesak. Lelah masih menyelimutiku, belum lagi hancurnya rasa
hatiku.
“Lestari, tapi putraku itu tak
sepenuhnya milikmu. Jika nantinya terjadi sesuatu dikemudian hari. Mungkin aku
akan membawanya bersamaku. Jadi jangan pernah mengaku bahwa kamu adalah ibunya!”
Dia berbicara seakan dia makhluk es, tak punya hati tak punya jiwa. Apa yang
ada dalam dirinya? Apakah dia iblis yang menjelma sebagai manusia.
Aku menangis.
“Wanita adalah sumber air mata” dia
terlihat kesal, tapi aku ingin menganggap bahwa air mata membuatnya tak
berdaya, kehilangan kuasa.
“Lestari, aku memilihmu bukan tanpa
alasan” Dia bicara dalam nada yang merendahkan. Kata-katanya seolah
mengingatkan siapa aku sebenarnya, gadis muda yang rela menjual tubuhnya demi
rupiah. Yah itulah aku, aku memang menjual diriku untuk lelaki yang kucintai
tapi tak bisa kumiliki. Laki-laki yang tak punya hati, melihat segalanya dari
sudut pandang berbeda, benci!
“Kau tahu aku tak pernah mencintai,
wanita terlalu banyak dihadirkan di atas dunia yang fana ini” dia terkekeh, dia
seperti mengejek fakta ini. “Seharusnya Tuhan lebih banyak menciptakan
laki-laki untuk membuat Bumi ini tempat yang lebih layak untuk ditempati,
wanita makhluk lemah hina, yang membuat Adam terusir dari surga” Dia memainkan
jemariku, mengusapnya, membelainya dengan lembut tapi aku tau hatinya memang
tak selembut sentuhannya. Aku mengenali setiap sentuhannya, sentuhan yang
berkali-kali kurasakan sebelumnya, tidak hanya di antara jari jemari, tapi
nyaris di setiap centi tubuhku ini.
“Aku tahu Lestari, kamu mencintaiku
sepenuh hati.” Kali ini dia benar-benar membuatku ketakukan, ketakutan atas
tatapan matanya yang indah yang menatap dalam, jauh ke dasar mataku yang seolah menembus relung jantungku. “Aku
tahu, tapi kamu tahu, aku tak bisa mencintaimu” kali ini pandangannya berbeda,
menghina, seakan aku seonggok benda menjijikan penuh nista. Air mukanya kembali
berubah, kali ini sebuah senyuman lebar yang memperlihatkan deretan giginya
yang tersusun sempurna. Wajahnya menghampiri wajahku, dia menciumku, kening,
pipi, bibirku, pelan, lembut penuh perasaan, tapi dalam waktu seketika,
tiba-tiba bibirnya seperti mencabikku, dia buas dan beringas, dia lupa betapa
lelahnya hati dan ragaku saat ini. Aku ketakutan, dia merasakan setiap
ketakutan yang seperti menguar dari pori-pori kulitku” Dia tertawa, menikmati
sensasi ketakutanku, itu membuatnya senang, membuatnya tahu diri betapa
berkuasanya dia.
“Lestari…aku memang membutuhkan
wanita yang mencintaiku untuk menjadi ibu anakku, tapi takkan pernah menjadi
belahan jiwaku, karena kamu tahu, aku tak memiliki itu.”
Dia masih saja menciumiku, seakan
aku seperti aku yang biasanya, yang bisa kapan saja ditidurinya, ya, aku adalah
budak beliannya, tubuhku telah dibayar untuk menghilangkan dahaga nafsunya.
Derita yang harus kuterima karena kemiskinan dan kerasnya dunia.
“Lestari, terima kasih” dia
mengecupku sekali lagi, kali ini di kening, dan dia menjauhiku, berdiri,
berjalan mondar-mandir sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku celananya.
“Jangan tatap aku seperti itu” kali
ini kalimatnya terdengar lembut. “Betapapun laknatnya aku tapi jangan khawatir,
aku adalah makhluk yang pandai berterima kasih.” Dia tersenyum “Apapun yang kau
inginkan, akan kuberikan, katakan saja, dan seperti mantra abrakadabra,
semuanya menjadi nyata, kulakukan hanya untukmu wanita pilihan yang jadi ibu
anakku.” Dia bicara seakan dia orang gila. Tapi tentu saja tidak, seburuk
apapun dia, selakhnat apa, harus sekali lagi kutegaskan walau ini adalah sebuah
kesalahan, kepada manusia biadab inilah kuserahkan hati dan jiwaku.
“Katakan…katakan sayangku.” Dia tertawa.
Aku tau permintaanku bukan hal
mustahil baginya.
“Buatkan aku sebuah panti asuhan”
kataku lemah, tapi tetap bisa tertangkap oleh telinganya. Aku sudah memikirkan
permintaanku ini sejak lama. Aku serius dengan keinginanku ini. Walau aku
wanita yang menjual diri tapi jauh di dalam hati aku ingin kembali fitri, ingin
menyelamatkan mereka yang terlahir sepertiku, tanpa ibu bapak, sebatang kara.
Aku ingin menjadi ibu bagi anak-anak yang dibuang, seperti aku dulu, agar tak
pernah berakhir tragis dalam drama dunia yang seakan tak pernah tersenyum
manis.
Dia terkekeh “Akan kukabulkan
sayangku” dia menghampiriku, memberikan kecupan di bibirku. “Permintaan yang
sangat mulia, akan dikabulkan segera” dia memberi hormat padaku, seakan dia
rakyar jelata dan aku adalah ratunya. Dia tertawa-tawa dan meninggalkanku
pergi.
Kenangan
itu usai. Seperti film yang diakhiri kata tamat, seperti layar yang telah
diturunkan. Aku kembali ke masa kini, warnanya tak lagi buram dan hitam putih.
Aku mengelus sebuah buku harian, catatan sejarah hidupku, beberapa kejadian
penting kutuliskan disini. Aku memasukkan buku harian itu ke dalam sebuah
amplop karton cokelat yang bertuliskan. Teruntuk Rakendra, Aku percaya, kamu bisa
mengubah sejarah.
Aku
naik ke tempat tidur, seakan ini adalah waktunya tidur. Di kejauhan masih
kudengar sayup celotehan riang anak-anak yang kini menjadi anak-anakku, walau
nanti akan ada orang-orang datang menjadi keluarga barunya, banyak anak datang
banyak anak yang pergi, hanya satu yang tak pernah ingin pergi tapi kupaksa
pergi, dan terlalu malu untuk kembali. Rakendra. Putra istimewa yang
menyayangiku seakan aku ibunya, anak muda penuh cinta.
Aku
berbaring, menarik selimutku. Aku tak pernah merasa sesehat ini. Aku tak pernah
sakit, tapi sudah waktunya bagiku untuk menutup mata. Dalam gelap wajah-wajah
itu datang; laki-laki yang kucintai tapi tak pernah mencintaiku, Adrian dan
Ardian, serta Rakendra. Pria-pria istimewa yang menjadikanku wanita yang
seutuhnya.
Dalam
ketenangan dan damai jiwa, ada satu hal yang sungguh-sungguh kurasakan. Bahwa
aku tak pernah benar-benar hidup selain saat menjelang mati.
Bersambung…
haduh makin penasaraaaan u,u
BalasHapushehehe tgguin yak :D
BalasHapus