(Adrian)
Selalu
bersedih, tak seperti biasa saat aku mengintip dari balik mata tubuh kembaranku
yang kini kukuasai. Mata Gadis nyaris sembab setiap kali aku melihatnya, dan
sekarang, bahkan ketika denting musik klasik Tchaikovsky mengalun indah, dan
dia menarikan balet Sugar Plum Princess, dia tak terlihat gembira, sebaliknya
merana. Hari ini dia memutuskan untuk tak bersekolah, dulu dia selalu
mengatakan bahwa dia ingin menikmati kehidupan bebas di luar sana, tapi pagi
tadi dia berkata dia terlalu sakit dan lelah untuk bisa ke sekolah, sebenarnya
aku tahu apa yang terjadi tapi sebaiknya aku tak ingin membahas hal ini lebih
jauh lagi.
“Gadis sayang”
aku memanggilnya pelan, walau kuyakin suaraku mampu terdengar telinganya. Dia
memandangku dari cermin sambil tetap tubuhnya meliuk indah mengikuti irama.
Studio balet mini ini adalah hadiah ulang tahun kelimanya dulu, ada bisikan di
balik telingaku yang menginginkan aku untuk mengatakan fakta itu, Gadis sangat
mencintai balet. Entah sekarang apakah ia masih menginginkan lagi cita-cita
lamanya, ballerina.
“Gadis” aku
memanggilnya sekali lagi, nada suaraku agak meninggi.
“Gadis!” aku
tak sabaran, hingga kali ini kontrolku terlepas hingga suaraku menjadi sebuah
bentakan.
Secara
tiba-tiba Gadis berhenti, melangkah ke depanku, menatapku tajam, menunjukkan
sikap permusuhan.
“Papa?”
nadanya tak selembut biasa, alisnya meninggi, tak ada senyum di bibirnya.
“Are You Okay?”
“Nggak!”
Aku menghela
nafas, jujur, sebenarnya aku tak tahu harus membicarakan apa, tapi aku harus
melakukan sesuatu, Gadis bertingkah seperti orang gila. Dia menari tanpa henti
selama lebih lima jam, tanpa lelah, atau mungkin sengaja menahan lelah.
Dia menatapku,
matanya berkaca-kaca.
“Apa yang papa
lakukan?” pertanyaan itu terdengar seperti sebuah tuduhan. Aku tahu kemana arah
tujuan pertanyaan itu. Pemuda itu. Aku tak suka bila otakku mengantarkan
informasi yang mengatakan bahwa gadis kecilku, jatuh cinta padanya.
“Kontrak kerja
kita habis, papa sudah kembali” itu jawaban terbaik yang bisa kuberikan. Jauh
dibalik kulitku ada makhluk yang tengah berontak, marah dan berupaya muncul ke
permukaan, air mata itulah yang membuat makhluk dalam diriku ini merasa ingin
keluar, menguasai raga yang sedang dibawah kuasaku.
“Aku
merindukannya” Gadis berbisik dan airmatanya tergenang, kata-kata itu membuatku
ketakutan. Gadis kecilku tersakiti, karena apa yang kulakukan. Seperti bunyi
gemuruh dalam dasar diriku, memaksaku untuk menyerah, takkan kulakukan. Gadis
pergi meninggalkanku dengan berlari.
***
Aku memutuskan untuk berendam air
panas, menenangkan pikiran, sedikit menyadari bahwa sebenarnya, aku mengambil kebijakan
yang salah. Melakukan hal yang tak seharusnya kulakukan, apa yang kuinginkan? Aku
berhasil kembali! Tapi merasa sepi, entah apa yang kucari, kembali meraih sepi,
kembali pada mimpi buruk.
Kucoba menatap cermin, selalu tak
kuasa menatap bayangan diri ini, karena setiap kali aku memandang mata cokelat
hazel-ku, aku tau, itu bukan mataku, bukan warnanya, tapi binarnya, cara mata
itu bersinar dengan tatapan teduh bukan tatapan buas. Tak habis pikir bagaimana
bisa aku terpengaruh dirinya, sejauh ini belum ada yang kulakukan, kulakukan
sebagai diriku. Aku bebas tapi terpenjara, kuakui ini bukan milikku utuh. Ihan,
“Adrian” aku memanggil diriku
sendiri, tapi bukan dari suara kepunyaanku, suara lain yang tak tersuarakan
indera pengecapku, tapi suara yang datang dari dasar hatiku. Aku memejamkan
mata, tak ingin tersiksa melihatnya menatapku dari balik mataku. Semuanya
gelap. Tapi, mataku mendadak seperti terasa hangat, karena ada genangan, lalu
dalam hati aku merasakan kesedihan mendalam, dingin menyertai ragaku. Aku tak
membuka mataku, kurasakan cairan hangat itu mengaliri pipiku. Otakku mencoba
membayangkan apa yang terjadi di luar sana, langit pasti sedang berwarna jingga
keemasan yang indah. Matahari tenggelam, aku membencinya! Itu hanya akan
mengingatkanku tentang kerinduan. Kerinduan mendalam yang sangat kuinginkan,
pada sosok yang tak pernah kumiliki, ibu! Si bungsu dalam diriku yang membunuh
ibuku! Dia pantas dibuang ayahku, tapi …beruntungnya, tempatnya di buang adalah
tempat ternyaman di dunia, dia menemukan sosok ibu dan keluarga di sana, cinta!
Apa peduliku dengan cinta!
“Adrian…”suara itu memanggil
lagi, terdengar bergetar, seperti seseorang yang berjalan dalam gelap malam dan
menggigil kedinginan karena kebasahan.
Suaranya takkan pernah
menakutiku, tapi air mataku sedemikian derasnya, tak ingin kubuka mataku untuk
melihatnya menatapku, ingin berbalik menghadap ke tempat lain, dimana tak ada
cermin, dimanat tak ada pantulan diriku yang juga menampilkan pantlan yang
lain.
“Adrian kumohon….” Suaranya dalam
terdengar terisak sekarang, itu tangisanku.
Tak kubiarkan diriku menyerah
pada permohonannya yang terdengar dalam penuh perasaan.
“Ibu” kata-kata itu membuatku
tersentak.
“Ibu?” aku mengulang kata-kata
itu dalam hati.
“Aku ingin pulang ke panti asuhan
sekarang, ibu memanggil namaku” apa yang dia lakukan? Mencoba membujukku dengan
cara yang lain, menggunakan wanita yang merawatnya dulu di sana. Wanita yang
juga kuinginkan untuk merawatku, wanita yang kutemui beberapa hari lalu.
“Ibu…”suaranya terdengar parau.
“Tidak” Aku berteriak keras, tapi
tak ada suara yang terdengar. “Jangan pernah gunakan ibu untuk merayuku agar
aku membebaskanmu” Air mata dipipi serasa menyakitkan kulitku.
“Ibu…aku mendengarnya memanggil namaku,
nama kita”
“Dia tak pernah tau tentang drama
yang kita lakukan!” aku berteriak, tapi tetap hening tanpa suara yang
terdengar. “Dia tak pernah tau bahwa kita adalah dua orang yang berbeda,
bertukar peran didepan matanya tanpa pernah diketahuinya.”
“Adrian” suaranya pelan,
terdengar nelangsa menyayat jiwa, seperti nada penyesalan teramat dalam. “Ingatkah
kamu malam itu?” Suaranya terdengar lemah, seperti biasa, lemah lembut dalam
bertutur kata adalah kebisaannya. “Malam itu, kala usia kita baru saja
menginjak 17 tahun, aku membenci saat itu, membenci bahwa itu tahun terakhirku,
sebelum aku harus pergi dari panti! Tak pernah kutau kemana aku melangkah
setelahnya, aku si cacat dengan penyakit hati bawaan” terdengar tangisan yang
membuatku tak tahan.
“Aku membenci malam itu”
Sejujurnya aku menyayangkan kejadian malam itu.
“Karena itu malam terakhirmu
hidup di dunia?” tak terdengar seperti sebuah ejekan, tapi lebih seperti
penyesalan yang menyakitkan. “Seharusnya aku yang pergi, seperti prediksi kita,
yang kadang kita jadikan lelucon di masa lalu, kamu mengenalku, aku bahkan
telah mempersiapkan diri mati jauh hari, setelah penyakit hati ini kuketahui,
sirosis, penyakit yang tak seharusnya singgah ke yatim piatu terbuang yang tak
berpunya.”
“Yatim piatu yang terbuang? Betapa
malangnya dirimu saudaraku!” aku mengejeknya dengan suaranya.
Hening…dia tak bicara… jeda
begini
“Ardian” Aku memanggilnya.
“Sampai kapan harus menipu diri?”
“Jangan mulai lagi tentang teori
cinta mengalahkan benci!” serasa ingin memukul sesuatu, menghempaskan amarah
pada suatu benda.
“Jika kamu tak percaya cinta…lalu
apa yang kamu lakukan di tengah sekaratmu malam itu?” terdengar bagian yang tak
ingin kuingat lagi “ jika kamu membenciku!” dia seperti menghela nafas “
mengapa pada saat itu, kamu mengirim orang kepercayaanmu untuk datang padaku
yang tengah menanti malaikat maut, yang bukannya menjemputku malah menjemputmu.
Kamu tau kamu takkan bisa terselamatkan, dan kamu memberikan apa yang paling
kubutuhkan, hatimu, secara harfiah dan tak harfiah, percayalah…Adrian, kamu
adalah orang yang mampu merasakan cinta, mampu merasakan dicintai dan
mencintai, jika ini masalah Tiara… paling tidak kita punya hati yang sama
sekarang, satu hati untuk orang yang sama, dan demi menghormatimu, aku tak
pernah menemuinya, yeah aku telah mati…seperti yang diketahuinya…dan akan
sangat mengejutkan bila dia tau seandainya aku ada dua…please…kumohon…hari ini
biarkan aku menemui ibuku, buatlah aku yang menggerakkan tubuh ini, aku sungguh
merasakan ibu ingin aku menemaninya sekarang”
Aku tak punya pilihan, banyak
dari kata-katanya adalah kebenaran yang tak bisa kuragukan, masa lalu itu,
wanita yang sama, malam yang memulai segalanya…lebih tepatnya harus
diketahuinya…
“Ardian…tahu alasan kenapa aku
menitipkan hatiku pada ragamu? Agar hatiku tetap bisa mencintai wanita-wanita
istimewa itu… Tiara, dan Ibu…walau beliau bukan ibu kandungku, ibu kita…” Aku
menyerah…bukan hanya karena permohonan dalam kata-katanya yang membuatku iba,
tapi karena aku memang harus menyerah, aku merasa memang benar, ibu seperti
memanggil kami untu pergi menemuinya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar