(Gadis)
Aku merasakan lembutnya sentuhan itu
membangunkanku, belum tertidur terlalu lama, lelah membuatku jatuh tertidur
begitu saja. Aku sengaja melakukan sesuatu hanya untuk mengalihkan pikiranku
dari sosok Raken, aneh, tak mengerti apa yang kulakukan tapi kadang kupikir aku
berlebihan, mengenalnya tak lama tapi aku terlalu terbawa perasaan sedalam ini.
“Gadis…” suara itu, Papa, ya dia
membangunkanku, aku tau, dia pasti merasa bersalah atas apa yang dilakukannya.
Aku tak ingin bicara, aku hanya ingin
memberinya tatapan tajam agar dia tau bahwa aku tak setuju atas apa yang
dilakukannya, tidakkah papa sadar bahwa aku terluka? Dia yang mengirimkan Raken
padaku, dia yang membuat Raken dan meninggalkanku, tak habis pikir, seperti
teka-teki tanpa jawaban, seperti permainan bodoh yang membuang waktu.
“Gadis…” haruskah papa menatapku
seperti itu? lama kumenatapnya, dan kusadari ada yang berbeda di sana, pancaran
mata yang seperti…hari-hari ini telah menghilang. Tak sadar aku memeluknya,
seolah melepas rindu, apa yang kulakukan? Apa yang kupikirkan? Inilah pria yang
kucintai setulus hati! Aku baru saja menyalahkannya atas…bolehkah kuanggap apa
yang kulakukan belakangan ini adalah hal-hal lumrah yang dilakukan para gadis
remaja di dunia, itu normal kan?
“Papa…maaf” aku memeluknya lebih erat.
“Mau menemani papa? Menemui orang yang
paling berarti dalam hidup papa?” Pertanyaan yang menimbulkan antusiasme luar
biasa dalam diriku, seperti membangunkan raksasa ceria yang tertidur, ada hal
yang…seperti gelembung balon beterbangan ringan di udara, dan musik yang akan
membuat siapapun secara naluriah berdansa. Sebuah tawaran hebat, sebelumnya aku
tak pernah kemanapun bersama papa, ini yang pertama, kuharap menyenangkan,
apalagi seperti yang dikatakannya …menemui orang yang paling berarti dalam
hidupnya.
Aku mengangguk, dan mencium pipinya
sebelum melompat dari tempat tidur dan berpakaian wajar, aku tak ingin ada
tatapan aneh tiap kali aku memakai tutu,
tatapan aneh yang kurindukan, tatapan Raken.
***
Mobil kami memasuki suatu bangunan
asri, sejenis bangunan ramah dan tua, tempat itu seperti rumah hanya saja
terlalu besar, di dekat gerbang tadi ada semacam plank nama tapi tak
kuperhatikan ada tulisan apa di sana, otakku sibuk memikirkan siapakah orang
penting yang ingin papaku temui. Mobil tidak ke bangunan yang lebih besar, tapi
berhenti di sebuah paviliun mungil, aku merasa rumah itu lebih mirip rumah kue
jahe dalam dongeng Hensel and Gretel.
Aku turun dari mobil dan berjalan
disisi papa, papa memeluk bahuku, kami berjalan bersama menuju pintu kayu berwarna
cokelat tua.
Papa mengetuknya, tak ada tanda-tanda
suara kaki melangkah dari dalam. Tak ada yang membukakan pintu, papa
berinisiatif untuk memutar pegangan, tak terkunci. Entah bisa dikatakan lancang
atau tidak, tapi papa mengajakku masuk, ruangan itu sederhana, ada sebuah sofa
nyaman dengan banyak bantal, di depannya ada meja dengan buku bacaan yang
terbuka, di sampingnya ada secangkir teh.
“Sepertinya dia ketiduran” papa
mengajakku masuk ke kamar tidur yang sedikit terbuka, memasuki rumah tanpa izin
sudah sangat lancang, dan memasuki kamar tidur, apakah tidak terlalu melanggar
batas?
“Dia tertidur” Papa mendekati tempat
tidur. Tempat tidur dari kayu berwarna hitam, jenis tempat tidur sederhana,
yang berdasarkan fungsi, bukan nilai seni. Papa mengajakku menghampiri
seseorang yang tertidur itu. Dia tertidur lelap, nyenyak, damai dan tenang.
Entah mengapa saat aku menatap wajah teduhnya, aku menangkap kesan nyaman,
seperti seseorang yang akrab, seperti seseorang yang telah lama bersamaku,
orang yang jadi bagian hidupku.
Dalam tidurnya ia tersenyum, wajahnya
cantik, dan bijak, seperti sosok penyayang, penuh kasih.
“Papa?” aku ingin bertanya.
“Sssssttttttt” Dia duduk di sisi
tempat tidur wanita itu, menggengam tangannya, aku berinisiatif duduk di sebuah
puff nyaman di pojokan ruangan yang
tak terlalu besar itu.
Kami diam, tak bicara, papa terus
menatap wanita itu sambil memandanginya, serasa sepi, hanya bunyi perpindahan detik jarum jam saja
yang terdengar menyapa telinga ini.
Aku tak mengerti, apa yang kami
lakukan? Terus terdiam hanya menatap seseorang yang tertidur, atau menunggunya
terbangun dan menyadari bahwa kami ada di sini. Terlalu lama bila ia tak
menyadari bahwa kami sedari tadi di sini, seharusnya sentuhan tangan papa bisa
membangunkannya dari tidur nyenyak itu.
“Papa…” Aku merasa ada yang salah, tak
tau mengapa, sepertinya, ada hawa berbeda, suasana tak wajar yang rasanya …aku
tak suka suasana ini, hening tanpa suara, tegang, agak mencekam, di tempat yang
asing bagiku walau terasa ramah, otakku melayang pada apa yang kukatakan tadi,
rumah kue jahe…indah, tapi…menakutkan…walau yah…aku tak melihat alasan yang
memuatku harus ketakutan, segala sesuatu dalam ruangan ini ramah, banyak tertempel
di tembok bercat kuning pucat, figura-figura berisi foto-foto anak-anak kecil,
keluarga, kerabat, yang terlihat tertawa, dan gembira.
Sudah terlalu lama, kami terpaku tak
mengerjakan apa-apa, duduk diam, jujur aku tak mengerti, dan kuyakin papa mulai
menyadari. Papa melepaskan genggamannya, dia bangkit dari sisi tempat tidur.
Papa melangkah, menutup jendela yang
terbuka, kemungkinan wanita yang terbaring anggun bagai putri Aurora dalam
Sleeping Beauty ini, tertidur begitu saja kala menatap matahari terbenam,
mungkin dia suka memandang lukisan indah alam, yang menggambarkan bola api
merah penuh cahaya itu mengucapkan salam perpisahan pada bumi, romantis. Kalau
boleh jujur, aku lebih suka matahari terbit, seperti datangnya sebuah harapan.
Matahari terbenam, lebih mirip seperti saat melepas seseorang untuk pergi dan memintanya untuk meninggalkan kenangan.
Lama
papa berdiri di depan jendela yang telah tertutup itu, entah mengapa bahunya
tergetar. Kuhampiri, mencari tahu apa yang terjadi. Papa berbalik, dan
memelukku.
“Ibu Lestari sudah pergi” Papa
menangis.
yah? kok ibu lestari nyaaa? :(
BalasHapusya gitu deh, hehehe :D tggu klanjtannya yak :D
Hapus