Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 19 Januari 2012

Rahasia Gadis (28)


(Gadis)
         
          Aku merasakan lembutnya sentuhan itu membangunkanku, belum tertidur terlalu lama, lelah membuatku jatuh tertidur begitu saja. Aku sengaja melakukan sesuatu hanya untuk mengalihkan pikiranku dari sosok Raken, aneh, tak mengerti apa yang kulakukan tapi kadang kupikir aku berlebihan, mengenalnya tak lama tapi aku terlalu terbawa perasaan sedalam ini.

          “Gadis…” suara itu, Papa, ya dia membangunkanku, aku tau, dia pasti merasa bersalah atas apa yang dilakukannya.
          Aku tak ingin bicara, aku hanya ingin memberinya tatapan tajam agar dia tau bahwa aku tak setuju atas apa yang dilakukannya, tidakkah papa sadar bahwa aku terluka? Dia yang mengirimkan Raken padaku, dia yang membuat Raken dan meninggalkanku, tak habis pikir, seperti teka-teki tanpa jawaban, seperti permainan bodoh yang membuang waktu.
          “Gadis…” haruskah papa menatapku seperti itu? lama kumenatapnya, dan kusadari ada yang berbeda di sana, pancaran mata yang seperti…hari-hari ini telah menghilang. Tak sadar aku memeluknya, seolah melepas rindu, apa yang kulakukan? Apa yang kupikirkan? Inilah pria yang kucintai setulus hati! Aku baru saja menyalahkannya atas…bolehkah kuanggap apa yang kulakukan belakangan ini adalah hal-hal lumrah yang dilakukan para gadis remaja di dunia, itu normal kan?
          “Papa…maaf” aku memeluknya lebih erat.
          “Mau menemani papa? Menemui orang yang paling berarti dalam hidup papa?” Pertanyaan yang menimbulkan antusiasme luar biasa dalam diriku, seperti membangunkan raksasa ceria yang tertidur, ada hal yang…seperti gelembung balon beterbangan ringan di udara, dan musik yang akan membuat siapapun secara naluriah berdansa. Sebuah tawaran hebat, sebelumnya aku tak pernah kemanapun bersama papa, ini yang pertama, kuharap menyenangkan, apalagi seperti yang dikatakannya …menemui orang yang paling berarti dalam hidupnya.
          Aku mengangguk, dan mencium pipinya sebelum melompat dari tempat tidur dan berpakaian wajar, aku tak ingin ada tatapan aneh tiap kali aku memakai tutu, tatapan aneh yang kurindukan, tatapan Raken.
***

          Mobil kami memasuki suatu bangunan asri, sejenis bangunan ramah dan tua, tempat itu seperti rumah hanya saja terlalu besar, di dekat gerbang tadi ada semacam plank nama tapi tak kuperhatikan ada tulisan apa di sana, otakku sibuk memikirkan siapakah orang penting yang ingin papaku temui. Mobil tidak ke bangunan yang lebih besar, tapi berhenti di sebuah paviliun mungil, aku merasa rumah itu lebih mirip rumah kue jahe dalam dongeng Hensel and Gretel.
          Aku turun dari mobil dan berjalan disisi papa, papa memeluk bahuku, kami berjalan bersama menuju pintu kayu berwarna cokelat tua.
          Papa mengetuknya, tak ada tanda-tanda suara kaki melangkah dari dalam. Tak ada yang membukakan pintu, papa berinisiatif untuk memutar pegangan, tak terkunci. Entah bisa dikatakan lancang atau tidak, tapi papa mengajakku masuk, ruangan itu sederhana, ada sebuah sofa nyaman dengan banyak bantal, di depannya ada meja dengan buku bacaan yang terbuka, di sampingnya ada secangkir teh.
          “Sepertinya dia ketiduran” papa mengajakku masuk ke kamar tidur yang sedikit terbuka, memasuki rumah tanpa izin sudah sangat lancang, dan memasuki kamar tidur, apakah tidak terlalu melanggar batas?
          “Dia tertidur” Papa mendekati tempat tidur. Tempat tidur dari kayu berwarna hitam, jenis tempat tidur sederhana, yang berdasarkan fungsi, bukan nilai seni. Papa mengajakku menghampiri seseorang yang tertidur itu. Dia tertidur lelap, nyenyak, damai dan tenang. Entah mengapa saat aku menatap wajah teduhnya, aku menangkap kesan nyaman, seperti seseorang yang akrab, seperti seseorang yang telah lama bersamaku, orang yang jadi bagian hidupku.
          Dalam tidurnya ia tersenyum, wajahnya cantik, dan bijak, seperti sosok penyayang, penuh kasih.
          “Papa?” aku ingin bertanya.
          “Sssssttttttt” Dia duduk di sisi tempat tidur wanita itu, menggengam tangannya, aku berinisiatif duduk di sebuah puff nyaman di pojokan ruangan yang tak terlalu besar itu.
          Kami diam, tak bicara, papa terus menatap wanita itu sambil memandanginya, serasa sepi,  hanya bunyi perpindahan detik jarum jam saja yang terdengar menyapa telinga ini.
          Aku tak mengerti, apa yang kami lakukan? Terus terdiam hanya menatap seseorang yang tertidur, atau menunggunya terbangun dan menyadari bahwa kami ada di sini. Terlalu lama bila ia tak menyadari bahwa kami sedari tadi di sini, seharusnya sentuhan tangan papa bisa membangunkannya dari tidur nyenyak itu.
          “Papa…” Aku merasa ada yang salah, tak tau mengapa, sepertinya, ada hawa berbeda, suasana tak wajar yang rasanya …aku tak suka suasana ini, hening tanpa suara, tegang, agak mencekam, di tempat yang asing bagiku walau terasa ramah, otakku melayang pada apa yang kukatakan tadi, rumah kue jahe…indah, tapi…menakutkan…walau yah…aku tak melihat alasan yang memuatku harus ketakutan, segala sesuatu dalam ruangan ini ramah, banyak tertempel di tembok bercat kuning pucat, figura-figura berisi foto-foto anak-anak kecil, keluarga, kerabat, yang terlihat tertawa, dan gembira.
          Sudah terlalu lama, kami terpaku tak mengerjakan apa-apa, duduk diam, jujur aku tak mengerti, dan kuyakin papa mulai menyadari. Papa melepaskan genggamannya, dia bangkit dari sisi tempat tidur.
          Papa melangkah, menutup jendela yang terbuka, kemungkinan wanita yang terbaring anggun bagai putri Aurora dalam Sleeping Beauty ini, tertidur begitu saja kala menatap matahari terbenam, mungkin dia suka memandang lukisan indah alam, yang menggambarkan bola api merah penuh cahaya itu mengucapkan salam perpisahan pada bumi, romantis. Kalau boleh jujur, aku lebih suka matahari terbit, seperti datangnya sebuah harapan. Matahari terbenam, lebih mirip seperti saat melepas seseorang untuk pergi dan  memintanya untuk meninggalkan kenangan.
  Lama papa berdiri di depan jendela yang telah tertutup itu, entah mengapa bahunya tergetar. Kuhampiri, mencari tahu apa yang terjadi. Papa berbalik, dan memelukku.
          “Ibu Lestari sudah pergi” Papa menangis.

2 komentar: