(Rakendra)
Pernahkah
kamu menyiapkan hatimu untuk terluka?
Ketika
kabar itu datang tak ada yang bisa kulakukan, selain menumpahkan air mata
***
Berita
duka itu datang, ditengah kurasakan perihnya patah hati, tak dapat kucegah
hatiku remuk sekali lagi.
“Raken…ibu
sudah pergi, yang tabah nak, ibu Lestari pasti ingin anak-anaknya pulang dan
mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir” itu suara mbak Anna, beliau
mengabarkan berita duka, Ibu yang kami panggil dan kami anggap ibu telah tiada,
jika yatim piatu harus kehilangan ibu lagi, bisakah terbayangkan rasa sedihnya?
Ibu
Lestari, terlalu banyak kenangan indahku dengan dirinya, wanita istimewa,
alasanku yang membuatku tak pernah ingin pergi meninggalkan panti, meninggalkan
tempat penuh cinta yang kusebut rumah. Tapi beliaulah yang memintaku pergi,
menemui keluarga biologisku, tapi seharusnya aku memang tak pergi agar tak
merasa sesakit ini. Walaupun sakit hati ini layak kudapatkan bagiamanapun juga,
rasa inilah yang membuatku sadar bahwa aku memiliki hati.
Ibu
Lestari, haruskah aku mengantarkanmu dengan tangisan? Sebagian besar tangisanku
selama ini, engkaulah yang mengahapusnya “lelaki harus tegar” itu ucapannya,
walaupun dia tak pernah melarangku untuk meneteskan air mata. Wanita bijak itu
pergi, akan kuantarkan beliau dengan doa, ketegaran hati dan janji bahwa
pelajaran hidup yang kuterima dari beliau takkan pernah kusia-siakan.
***
Pagi itu, matahari juga seakan turut
berduka cita, cahayanya tak terpancar seperti biasa, dia membiarkan dirinya
tertutupi awan mendung. Aku berjalan dengan langkah seperti zombie, sebenarnya
aku tak melangkah, tapi menyeretkan kaki-kakiku dengan terpaksa.
Ditanganku ada seikat bunga Anggrek
bulan, bunga kesayangan ibu, aku ingin meletakkannya di atas kuburannya. Ada
penyesalan terdalam di hati, penyesalan karena aku tak bisa berada di sisinya
di saat dia harus melepas hembusan nafas terakhirnya.
Dulu beliau sering mengatakan jika
kelak beliau berangkat ke surge, maka beliau ingin agar raganya dikuburkan di
panti ini, di halaman belakang, beliau selalu bilang tak ingin jauh berpisah
dari anak-anaknya dan segala kenangan penuh cinta semasa hidupnya, mengenangnya
membuatku ingin meneteskan air mata, tapi kukuatkan diri, dan berkata pada
hatiku berkali-kali, tegarkan diri tegarkan diri.
“Jika ingin menangis, pandanglah
angkasa, maka air matamu takkan pernah menetes, kekagumanmu pada keindahan
semesta akan membuatmu lupa akan kesedihanmu” nasehatnya dulu, Ibu Lestari,
bagaimana bisa engkau menipu kami dengan cara yang begitu indah? Menatap
angkasa itu artinya tak membiarkan air mata jatuh tertarik gravitasi. Itu saja,
tapi aku memang lebih suka nasehan penuh omong kosong indah itu.
Aku memasuki lagi rumah yang
kutinggalkan berbulan-bulan lalu, kenangan-kenangan indah datang dan
menyelimutiku lagi, datang dalam warna-warni pelangi.
***
Aku
melihat sosok itu di sana, terlihat berkilauan di antara yang lainnya. Gadis?
Bagaimana bisa dia ada di sini? Aku nyaris saja meneruskan langkah dan
menemuinya, mengatakan bahwa…belakangan ini aku memikirkannya, baiklah
merindukannya, tapi aku berhenti kala kulihat sosok ayahnya berdiri di sisinya,
memeluk bahunya melindunginya dari ancaman dunia, termasuk dari diriku, sakit
luka-luka yang tak kumengerti masih terasa. Ada pertanyaan-pertanyaan yang
masih ingin kutanyakan tapi yang pasti tidak semudah itu kan kudapat jawaban.
Seseorang
tiba-tiba saja menabrakku, wanita, cantik jelita berbaju merah. Kontras
diantara muramnya warna hitam yang kelam tengah berduka dalam. Si wanita
menatapku, mengucapkan maaf berkali-kali. Kupandangi dirinya, matanyapun
menatapku, kualihkan mataku dari mata yang nyaris serupa denganku, aku tau
wanita itu, dia ibuku.
Au
berbalik, mengurungkan diri ke pemakaman, berjalan sebaliknya, kuharap roh ibu
masih di tempat terakhir dia berada, aku menuju kamar tidurnya, di paviliun
nyamannya, berharap aku bisa menemukan separuh dirinya di sana, dalam hati aku
telah mengantarkannya. Berada di pemakaman terlalu riskan, aku tak ingin merusak
sakralnya ketika ibu dikuburkan dengan kejadian lainnya, Gadis dan ayahnya
serta wanita yang tak ingin kuanggap ibu.
Aku
masuk ke kamar itu, aku benar sisa-sisa wangi ibu masih terasa di sana,
kuletakkan anggrek bulanku di bantalnya, membayangkan dia ada di sana dan
mencium wanginya, aku ingin bicara tapi pasti seperti orang gila.
Aku
terdiam mengenang segala kenangan indah dengan beliau, beliau menyayagiku, aku
tau itu, dan ketika tapa sengaja mataku menyapu ruangan, di meja kecil samping
tempat tidur aku menemukannya sebuah amplop coklat rapi, bertuliskan Teruntuk
Rakendra, Aku percaya, kamu bisa mengubah sejarah. Aku meraihnya,
merobek bungkusannya segera, sebuah buku, kumpulan catatan, semacam buku harian
tapi…aku tau aka nada banyak rahasia di sini. Aku tau aku harus bisa melakukan
sesuatu, yah, seperti kepercayaan yang telah diletakkan di pundakku, aku
dipersiapkan untuk sebuah misi baru, mengubah sejarah.
makin penasaraaaan :D
BalasHapustunggu lanjutannya yaaaaaaaaaaaaaaaak
Hapus