(Gadis)
Kusadari satu hal bahwa tangisan
itu tak harus berupa emosi yang menunjukkan kelemahan seorang laki-laki, tapi
lebih karena laki-laki itu adalah laki-laki yang mau mengakui bahwa dia adalah
lelaki yang memiliki hati, lelaki sejati, yang tau bahwa dia bisa mencintai dan
merasa sedih.
***
Seseorang
yang berharga, akan sulit untuk dilepaskan kepergiannya, akan sulit untuk
menahannya tanpa air mata. Aku tak mengenal beliau, tapi saat peti itu masuk ke
dalam liang lahat, aku sama sekali tak bisa menghindari rasa pedih dalam hati.
Berkali-kali aku mencoba menguatkan diri.
Papa
berdiri di sampingku, dia memeluk bahuku, dari dalam diri papa aku tau dia
merasakan sedih yang teramat dalam, mata sembabnya mungkin tertutupi kacamata
hitam, tapi saat kugenggam tangannya aku tau bahwa perih itu tak sanggup
disangkalnya dengan apapun.
Peti
itu terkubur, tertutup gundukan tanah lembab, tangisan dan isakan masih
terdengar dari mereka yang ditinggalkan. Anak-anak kecil terlihat tak mampu
menahan sedihnya, tangisan mereka menyayat hati. Ibu Lestari adalah ibu dari
para yatim piatu, beliau dimakamkan di halaman belakang panti asuhan, agar
ketika anak-anaknya merindukannya mereka tau dimana bisa mendatanginya, tanpa
harus pergi jauh. Tapi aku percaya bahwa walau raganya telah tekubur, kenangan
akan sosok penyayangnya akan selalu tersimpan indah dalam hati orang-orang yang
mencintainya.
Seseorang
memanggil papa memintanya untuk memberi penghormatan terakhirnya dalam pidato
singkat. Papa tak melepas genggamanku, malah genggaman tangannya makin erat,
aku tau itu sebenarnya cara untuk menegarkan hatinya.
“Hari
ini, kami melepas ibu kami dengan cinta dan air mata, walau kami tau beliau tak
ingin kami bersedih” Papa terdiam, menghela nafas dan mencoba mengatur
kata-kata dalam otaknya. “Seorang wanita dihargai karena rahimnya, tempat
disanalah, buah cintanya tertanam, tapi mengenal ibu Lestari membuat kami
memahami satu hal, bahkan seorang ibu tidak perlu melahirkan seorang anak, ibu
Lestari memiliki kami, anak-anak yang terlahir dari hatinya. “ Hening dan ada
suara isakan tertahan “Ibu Lestari takkan pernah meninggalkan kami, kenangan
indahnya akan tersimpan di hati, kami mencintaimu” hanya kata-kata itu yang
sanggup terucap dari bibir papa. Aku meneteskan air mata, begitu juga papa dan
banyak orang di sana.
Dari
kejauhan aku mempehatikan seorang wanita, berbusana kontras warna merah,
mondar-mandir dengan gelisah, tak menghampiri tempat pemakaman, tapi…mungkin
seharusnya aku tak memikirkannya.
“Kita
pulang …” bisik Papa, nyaris semalaman kami disini, tanpa tidur dan makan, jujur
aku luar biasa lelah, dan disisiku Papa terasa benar-benar merasa terluka.
***
Diluar hujan, aku duduk menghadap jendela. Papa
duduk di sofa menatap kosong padaku. Aku tau papa masih memikirkan kematian ibu
Lestari, aku ingin bertanya pada beliau, tapi kuurungkan tak ingin membuatnya
lebih bersedih.
“Gadis…” papa memanggilku pelan.
“Ya…”
“Tau kenapa papa menjadikan hidupmu seperti
terpenjara?” itu adalah pertanyaan yang sering kupikirkan, tapi sekarang
papalah yang akhirnya mempertaanyakannya, dalm hati akupun menginginkan dia
memberitahukan aku jawabannya.
Aku menggeleng, dan menatapnya, menunggu jawabannya
“Kita sama sayang…hidup tanpa ibu, tapi kupikir…kau
lebih beruntung, tanpa ibu tapi memiliki papa, aku memiliki papa, tapi jika
boleh mengatakannya, aku memilih untuk tak pernah mengenalnya. Sudah saatnya
untuk mengatakan siapa papamu ini, nak…”
Entah mengapa saat papa mengataknnya, papa
meneteskan airmata. Secara naluriah aku menghampirinya, memeluknya, mencoba
memberinya ketenangan. Dalam malam-malam penuh ketakutan dan kala kuterbangun
dari mimpi burukku, pelukan hangat papa selalu menyertaiku, dan kini posisi
kami terbalik, akulah yang menenangkannya, tak pernah kurasakan papa sesedih
ini. Papa selalu terlihat tanpa emosi.
Kubiarkan papa menangis, dan kusadari satu hal bahwa
tangisan itu tak harus berupa emosi yang menunjukkan kelemahan seorang
laki-laki, tapi lebih karena laki-laki itu adalah laki-laki yang mau mengakui
bahwa dia adalah lelaki yang memiliki hati, lelaki sejati, yang tau bahwa dia
bisa mencintai dan merasa sedih.
“Bila kamu tau siapa papa yang sebenarnya, apakah …kamu
akan kecewa dan membenci papa?” saat mengatakannya, papa meneteskan lagi air
matanya.
Aku ikut meneteskan airmata, siapa papaku jujur aku
tak peduli, aku di sini karena dirinya, aku mencintainya tanpa syarat, dan
ketika kukatakan aku membencinya itu hanya karena aku remaja tolol yang terbawa
emosi, jauh dalam lubuk hatiku aku tak mampu merasakan benci pada sosok ini,
sosok yang paling kucintai sepenuh hati.
“Aku mencintai papa sebagaimana diri papa, takkan
ada yang bisa mengubah cinta itu.” aku meyakinkannya “Jangan katakan apapun
yang tak harus dikatakan, biarkan kata-kata itu tersimpan, biarkan segala
alasan yang menjadikan kebencian itu terkuburkan”
Papa melepaskan aku, berjalan dan menjauh dariku.
“Gadis bahkan bila papamu ini adalah seorang iblis?”
pertanyaan yang terkesan tak mungkin, papaku adalah papaku, sosok paling
sempurna di mataku.
Aku berjalan menghadapnya, memandang dalam pada
matanya, mencoba mencari alasan untuk membencinya, mengingat segala yang
terjadi membuatku menyadari bahwa apapun yang terjadi, segala hal yang telah
terlewati takkan mampu membuatku merasakan benci, papa adalah papaku, seseorang
yang paling kucintai sepenuh hati, tanpanya aku takkan pernah memiliki arti.
Aku tak peduli bahkan seperti pertanyaanya, bahwa dia adalah seorang iblis, itu
adalah sesuatu paling mustahil yang terdengar otakku. Papaku adalah malaikat
pelindungku, Papaku adalah seseorang yang memberiku kehidupan dan mengajariku
segala hal tentang kehidupan, bahkan segala perbuatan tak masuk akalnya
menjadikanku tak ubahnya putri dalam dongeng bagiku itu bukanlah suatu hal yang
harus dipersalahkan, papa akan melakukan segalanya untuk membuatku bahagia, dan
aku percaya.
“Aku mencintaimu papa, tanpa syarat, dan takkan ada
alasan yang membuatku harus membencimu.” Aku membisikinya, dan mempererat
pelukanku, bahkan di saat itu aku menangis, menangisi segala keegoisan dan
ketololanku, bahkan kali ini, bila papa menginginkan kurungan itu tertutup lagi
untukku, aku takkan menyesalinya, mungkin inilah hidupku.
“Terima kasih” bisiknya “Mari kita mulai hidup baru,
kehidupan yang sebenarnya, dan lupakan masa lalu “ kecupan hangatnya terasa di
keningku. Ada perasaan hangat menyelimutiku. Aku tau segalanya akan baik-baik
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar