Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 26 Januari 2012

Rahasia Gadis (49)


(Gadis)
Anak-anak kecil selalu merasa bahagia
Karena beban dunia tak menghampiri mereka
Jaga tawanya jangan sampai berubah menjadi air mata
***
          Seperti alunan musik indah, suara gelak tawa, celotehan dan bisikan menjadi harmoni indah yang memanjakan telingaku. Wajah mereka polos tanpa dosa, senyum mereka bahagia, seakan tidak ada beban di dunia, seorang anak kecil berusia sekitar empat atau lima tahun malu-malu menatapku, dan memegang tanganku, memegang tangannya dan kita berjalan bersama menuju ruang bermain.

          Di pintu, seseorang yang dulu pernah berkenalan denganku di pemakaman Ibu Lestari menyambutku dengan wajah ramah dan senyum cerah, mbak Anna namanya. Aku membalas senyumnya dan memberikannya pelukan hangat dan ciuman di pipi, di belakangku dengan kikuk Enzo berjalan sambil membawa kotak, dalam hatinya aku tau dia bersungut-sungut.
          Di ruangan yang tak seberapa besar itu, sekitar selusin  atau mungkin kurang satu dari selusin anak dengan wajah polos menatapku, anak-anak berusia tiga hingga sepuluh tahunan kurasa. Aku menyapa mereka, satu persatu. Sementara Enzo yang sudah bolak-balik sekarang sedang sibuk membongkar isi kotak, dan membagi-bagikannya kepada anak-anak; ada cokelat, cupcakes, permen, boneka tangan, yoyo, puzzle, lego, dan banyak lagi.
          “Hey” aku menyapa, anak yang sedari tadi menggengam tanganku, dia berwajah bulat, pipinya chubby dan berwarna seperti tomat, hidungnya lucu, matanya bulat besar dan berkedip-kedip dengan lucu, bulu matanya panjang dan indah, rambutnya tipis sewarna bulu jagung, tapi aku suka senyum lebarnya yang memperlihatkan deretan gigi yang bolong-bolong karena permen dan makanan yang manis-manis.
          “Hey…apa kau seorang putri?” dia bertanya sambil mengerjapkan matanya berkali-kali, suaranya lucu, seperti suara kodok, suaranya terdengar keras untuk anak seusianya.
          “Kamu boleh memanggilku putri kalo kamu mau?” aku mencubit pipinya “Hey katakan siapa namamu gadis kecil?”
          “Lucy” jawabnya cepat dan tetap mengerjap-ngerjapkan matanya, memainkan bulu matanya yang panjang indah.
          “Nama yang indah…aku bisa menyanyikan sebuah lagu untukmu” aku menawarkan diri, ekspresi polos wajahnya bisa membuatku mau melakukan apa saja untuknya.
          “Benarkah?” tanyanya
          “Yupz” aku mengangguk, meraih tangannya dan aku mengajaknya berputar-putar. “Cellophane flowers of yellow and green, towering over your head…Look for the girl with sun in her eyes…and she’s gone…Lucy in the sky with diamonds…Lucy in the sky with diamonds…Lucy in the sky with diamonds…aaaahhhhh”
          Laguku terhenti saat seorang anak kecil lainnya menarik-narik tutuku, ah aku lupa, masih banyak anak lainnya, aku berjongkok agar aku bisa sejajar dengannya.
          “Halo jagoan…” aku menyapanya
          “Apa dia pangeran?” anak laki-laki yang mirip Nobita dalam versi nyata lengkap dengan kacamata dan wajah polos menunjuk Enzo yang duduk di pojok ruangan dengan bosan di sebuah kursi berwarna pink yang kekecilan untuknya.
          “Namanya Enzo, dan dia temanku”
          “Boleh mengajaknya bermain?”
          “Oh…tentu” dan tanpa kuduga, dengan sebuah lambaian tangan dia mengajak keenam anak laki-laki lainnya untuk menyerbu Enzo, dan di udut ruangan Enzo seolah mengirimkan protes melalui sorot matanya, aku mengangkat bahu dan mendatangi dua anak perempuan nyaris seusia yang sedang memainkan boneka tangan berbentuk binatang.
          “Halo…” aku menyapa mereka.
          “Halo…”sapa mereka antusias.
          “Boleh kita berkenalan? Aku ingin berteman!” aku sengaja berbisik-bisik , menurutku anak kecil menyukai bisikan itu terdengar seperti rahasia, anak kecil sangat suka rahasia.
          Mereka mengangguk.
          “Namaku Icha…”dia sedikit cemberut saat mengatakannya.
          “Nama yang cantik”
          “Tapi tidak ada lagu yang menyanyikan namaku” sepertinya dia iri dengan Lucy tadi.
          “Hey, kata siapa?” aku memutar otak “Ada lagu tentang namamu, tapi janji jangan marah saat aku menyanyikannya!” dia mengangguk-angguk penuh semangat dan memberiku kelingkingnya, aku menjalin kelingkingku dengan kelingking mungilnya.
          “Icha icha di dinding, diam diam merayap…datang seekor nyamuk, hap lalu di tangkap”
          Nyanyianku, membuat teman-temannya tertawa, dan si kecil Icha pun ikut tertawa. Aku mengacak-acak rambutnya.
          “Hey” aku menyapa gadis kecil selanjutnya, rambutnya ikal panjang, hitam dan lebat. Saat kusapa dia memberiku sebuah kecupan hangat di pipi, yeah kupikir dia menyukaiku.
          “Namaku Nana tapi mereka memanggilku Iting” dia memutar bola matanya. “Karena aku keriting” dia memasang wajah kesal yang menggemaskan.
          “Tapi…aku suka rambutmu…seandainya kita bisa menukarnya ya?”
          “Kamu mau punya rambut sepertiku?” dia bertanya seolah tak percaya.
          “Hmmmmm” aku mengangguk “Rambutmu adalah rambut terindah yang pernah kulihat” aku meyakinkannya.
          “Sungguh?”
          “Yah…aku serius”
          “Kamu orang pertama yang mengatakannya, dan aku percaya…hey! Kalian dengar rambutku indah!” dia mengibaskan rambutnya, seolah ingin pamer pada teman-temannya.
          “Baiklah…mulai sekarang aku tidak akan kesal jika dipanggil Iting lagi! mereka pasti memuji rambutku” aku mengangguk menyetujui kata-katanya.
          “Hey…”dan aku mendatangi gadis kecil lainnya jauh dari teman-temannya memisahkan diri, duduk diam tanpa ekspresi, aku tau dia memandangku dari tadi, berharap-harap cemas, menunggu gilirannya untuk kusapa.
          “Hey…”aku memanggilnya sekali-kali. Kurasa dia anak tertua diantara kelompok ini. Usianya sekitar Sembilan atau sepuluh tahun.
          “Nama kamu siapa?” aku bertanya dan mengulurkan tanganku, tapi dia membuang mukanya, tak mau melihat kepadaku. Hmmm sepertinya dia jenis anak yang sulit untuk diajak bersahabat.
          Aku membisikinya “Kalau-kalau kamu ingin tau namaku, namaku Gadis” dia tidak merespon, kurasa dia lebih suka pura-pura tak mendengarku. Aku menyerah, dan kembali kepada anak-anak cewek lainnya.
          “Siapa yang suka balet?” aku berteriak, agar mereka bersemangat.
          Ketiga gadis kecil itu berteriak-teriak penuh semangat “Aku suka” kata mereka sambil mengancungkan tangan dan melompat-lompat
          “Boleh minta tolong pegangkan aku ini?” aku bertanya pada Nana si gadis berambut indah.
          Dia mengangguk dan aku menyerahkan I-Pod-ku, setelah kunyalakan music yang adalah salah satu karya besar Tchaikovsky aku mulai menari, menarikan salah satu tarian Odette dalam Swan Lake, ada suara waaaaaaaaaaaaaaah panjang, rupanya mereka kagum melihatku mulai menari, memainkan gerakan-gerakan mempesona diiringi musik yang indah. Anak laki-laki bahkan spontan menghentikan permainan dan keributan kecilnya, mereka membentuk lingkaran dan membiarkan aku menjadi Odette si ratu angsa yang berada di tengah-tengah mereka.
          Aku menikmatinya…ini tarian pertamaku yang dinikmati orang sebanyak ini, ada rasa puas saat suara tepukan membahana ketika tarianku kusudahi.
          Enzo dan beberapa anak cowok jail bersuit-suit, mereka nakal sekali!
          Sementara ketiga gadis kecil itu berlarian dan memelukku.
          “Lakukan sekali lagi” pinta mereka penuh harap.
          Aku pura-pura berpikir, tapi sesuatu membuatku terkejut, hidungku tiba-tiba di serang sesuatu, dan meninggalkan noda cream yang lengket dan beraroma manis. Sebuah cupcake, jatuh di dekat kakiku, salah satu anak melempariku dengan cupcake, setelah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sekarang seperti membeku, yeah aku tau yang mana yang melempariku, dia gadis kecil yang tak mau berkenalan denganku.
          Dari tempatnya, dia memandangku lama-lama, dan anak-anak lainnya pun ikut terpana. Aku sungguh tak menyangka, tarian indahku malah membuatnya marah, aku sungguh tak menyangka bahwa aku menyakiti hatinya, membuatnya terluka, aku tau kenapa sebuah lemparan tadi layak kudapatkan.
          Gadis kecil itu berdiri, meninggalkan ruang bermain, sambil menyeret langkahnya dengan bantuan tongkat kayu sederhana. Aku merasa bersalah dan tak menyangka, ada penyesalan yang sangat dalam, hingga membuatku semudah ini meneteskan air mata, saat kulihat ternyata gadis kecil malang itu, hanya punya kaki sebelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar