(Gadis)
Anak-anak kecil selalu merasa bahagia
Karena beban dunia tak menghampiri mereka
Jaga tawanya jangan sampai berubah menjadi air mata
***
Seperti alunan
musik indah, suara gelak tawa, celotehan dan bisikan menjadi harmoni indah yang
memanjakan telingaku. Wajah mereka polos tanpa dosa, senyum mereka bahagia,
seakan tidak ada beban di dunia, seorang anak kecil berusia sekitar empat atau
lima tahun malu-malu menatapku, dan memegang tanganku, memegang tangannya dan
kita berjalan bersama menuju ruang bermain.
Di pintu,
seseorang yang dulu pernah berkenalan denganku di pemakaman Ibu Lestari
menyambutku dengan wajah ramah dan senyum cerah, mbak Anna namanya. Aku membalas
senyumnya dan memberikannya pelukan hangat dan ciuman di pipi, di belakangku
dengan kikuk Enzo berjalan sambil membawa kotak, dalam hatinya aku tau dia
bersungut-sungut.
Di ruangan
yang tak seberapa besar itu, sekitar selusin atau mungkin kurang satu dari selusin anak
dengan wajah polos menatapku, anak-anak berusia tiga hingga sepuluh tahunan
kurasa. Aku menyapa mereka, satu persatu. Sementara Enzo yang sudah bolak-balik
sekarang sedang sibuk membongkar isi kotak, dan membagi-bagikannya kepada
anak-anak; ada cokelat, cupcakes, permen, boneka tangan, yoyo, puzzle, lego,
dan banyak lagi.
“Hey” aku
menyapa, anak yang sedari tadi menggengam tanganku, dia berwajah bulat, pipinya
chubby dan berwarna seperti tomat,
hidungnya lucu, matanya bulat besar dan berkedip-kedip dengan lucu, bulu
matanya panjang dan indah, rambutnya tipis sewarna bulu jagung, tapi aku suka
senyum lebarnya yang memperlihatkan deretan gigi yang bolong-bolong karena
permen dan makanan yang manis-manis.
“Hey…apa kau
seorang putri?” dia bertanya sambil mengerjapkan matanya berkali-kali, suaranya
lucu, seperti suara kodok, suaranya terdengar keras untuk anak seusianya.
“Kamu boleh
memanggilku putri kalo kamu mau?” aku mencubit pipinya “Hey katakan siapa
namamu gadis kecil?”
“Lucy”
jawabnya cepat dan tetap mengerjap-ngerjapkan matanya, memainkan bulu matanya
yang panjang indah.
“Nama yang
indah…aku bisa menyanyikan sebuah lagu untukmu” aku menawarkan diri, ekspresi
polos wajahnya bisa membuatku mau melakukan apa saja untuknya.
“Benarkah?”
tanyanya
“Yupz” aku
mengangguk, meraih tangannya dan aku mengajaknya berputar-putar. “Cellophane flowers of yellow and green,
towering over your head…Look for the girl with sun in her eyes…and she’s gone…Lucy
in the sky with diamonds…Lucy in the sky with diamonds…Lucy in the sky with
diamonds…aaaahhhhh”
Laguku
terhenti saat seorang anak kecil lainnya menarik-narik tutuku, ah aku lupa,
masih banyak anak lainnya, aku berjongkok agar aku bisa sejajar dengannya.
“Halo jagoan…”
aku menyapanya
“Apa dia
pangeran?” anak laki-laki yang mirip Nobita dalam versi nyata lengkap dengan
kacamata dan wajah polos menunjuk Enzo yang duduk di pojok ruangan dengan bosan
di sebuah kursi berwarna pink yang kekecilan untuknya.
“Namanya Enzo,
dan dia temanku”
“Boleh
mengajaknya bermain?”
“Oh…tentu” dan
tanpa kuduga, dengan sebuah lambaian tangan dia mengajak keenam anak laki-laki lainnya
untuk menyerbu Enzo, dan di udut ruangan Enzo seolah mengirimkan protes melalui
sorot matanya, aku mengangkat bahu dan mendatangi dua anak perempuan nyaris
seusia yang sedang memainkan boneka tangan berbentuk binatang.
“Halo…” aku
menyapa mereka.
“Halo…”sapa
mereka antusias.
“Boleh kita
berkenalan? Aku ingin berteman!” aku sengaja berbisik-bisik , menurutku anak
kecil menyukai bisikan itu terdengar seperti rahasia, anak kecil sangat suka
rahasia.
Mereka mengangguk.
“Namaku Icha…”dia
sedikit cemberut saat mengatakannya.
“Nama yang
cantik”
“Tapi tidak
ada lagu yang menyanyikan namaku” sepertinya dia iri dengan Lucy tadi.
“Hey, kata
siapa?” aku memutar otak “Ada lagu tentang namamu, tapi janji jangan marah saat
aku menyanyikannya!” dia mengangguk-angguk penuh semangat dan memberiku
kelingkingnya, aku menjalin kelingkingku dengan kelingking mungilnya.
“Icha icha di
dinding, diam diam merayap…datang seekor nyamuk, hap lalu di tangkap”
Nyanyianku,
membuat teman-temannya tertawa, dan si kecil Icha pun ikut tertawa. Aku
mengacak-acak rambutnya.
“Hey” aku
menyapa gadis kecil selanjutnya, rambutnya ikal panjang, hitam dan lebat. Saat
kusapa dia memberiku sebuah kecupan hangat di pipi, yeah kupikir dia
menyukaiku.
“Namaku Nana
tapi mereka memanggilku Iting” dia memutar bola matanya. “Karena aku keriting”
dia memasang wajah kesal yang menggemaskan.
“Tapi…aku suka
rambutmu…seandainya kita bisa menukarnya ya?”
“Kamu mau
punya rambut sepertiku?” dia bertanya seolah tak percaya.
“Hmmmmm” aku
mengangguk “Rambutmu adalah rambut terindah yang pernah kulihat” aku
meyakinkannya.
“Sungguh?”
“Yah…aku
serius”
“Kamu orang
pertama yang mengatakannya, dan aku percaya…hey! Kalian dengar rambutku indah!”
dia mengibaskan rambutnya, seolah ingin pamer pada teman-temannya.
“Baiklah…mulai
sekarang aku tidak akan kesal jika dipanggil Iting lagi! mereka pasti memuji
rambutku” aku mengangguk menyetujui kata-katanya.
“Hey…”dan aku
mendatangi gadis kecil lainnya jauh dari teman-temannya memisahkan diri, duduk
diam tanpa ekspresi, aku tau dia memandangku dari tadi, berharap-harap cemas,
menunggu gilirannya untuk kusapa.
“Hey…”aku
memanggilnya sekali-kali. Kurasa dia anak tertua diantara kelompok ini. Usianya
sekitar Sembilan atau sepuluh tahun.
“Nama kamu
siapa?” aku bertanya dan mengulurkan tanganku, tapi dia membuang mukanya, tak
mau melihat kepadaku. Hmmm sepertinya dia jenis anak yang sulit untuk diajak
bersahabat.
Aku
membisikinya “Kalau-kalau kamu ingin tau namaku, namaku Gadis” dia tidak
merespon, kurasa dia lebih suka pura-pura tak mendengarku. Aku menyerah, dan
kembali kepada anak-anak cewek lainnya.
“Siapa yang
suka balet?” aku berteriak, agar mereka bersemangat.
Ketiga gadis
kecil itu berteriak-teriak penuh semangat “Aku suka” kata mereka sambil
mengancungkan tangan dan melompat-lompat
“Boleh minta
tolong pegangkan aku ini?” aku bertanya pada Nana si gadis berambut indah.
Dia mengangguk
dan aku menyerahkan I-Pod-ku, setelah kunyalakan music yang adalah salah satu
karya besar Tchaikovsky aku mulai menari, menarikan salah satu tarian Odette
dalam Swan Lake, ada suara waaaaaaaaaaaaaaah panjang, rupanya mereka kagum
melihatku mulai menari, memainkan gerakan-gerakan mempesona diiringi musik yang
indah. Anak laki-laki bahkan spontan menghentikan permainan dan keributan
kecilnya, mereka membentuk lingkaran dan membiarkan aku menjadi Odette si ratu
angsa yang berada di tengah-tengah mereka.
Aku menikmatinya…ini
tarian pertamaku yang dinikmati orang sebanyak ini, ada rasa puas saat suara
tepukan membahana ketika tarianku kusudahi.
Enzo dan
beberapa anak cowok jail bersuit-suit, mereka nakal sekali!
Sementara
ketiga gadis kecil itu berlarian dan memelukku.
“Lakukan
sekali lagi” pinta mereka penuh harap.
Aku pura-pura
berpikir, tapi sesuatu membuatku terkejut, hidungku tiba-tiba di serang
sesuatu, dan meninggalkan noda cream yang lengket dan beraroma manis. Sebuah
cupcake, jatuh di dekat kakiku, salah satu anak melempariku dengan cupcake, setelah
mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sekarang seperti membeku, yeah aku
tau yang mana yang melempariku, dia gadis kecil yang tak mau berkenalan
denganku.
Dari
tempatnya, dia memandangku lama-lama, dan anak-anak lainnya pun ikut terpana.
Aku sungguh tak menyangka, tarian indahku malah membuatnya marah, aku sungguh
tak menyangka bahwa aku menyakiti hatinya, membuatnya terluka, aku tau kenapa
sebuah lemparan tadi layak kudapatkan.
Gadis kecil
itu berdiri, meninggalkan ruang bermain, sambil menyeret langkahnya dengan
bantuan tongkat kayu sederhana. Aku merasa bersalah dan tak menyangka, ada
penyesalan yang sangat dalam, hingga membuatku semudah ini meneteskan air mata,
saat kulihat ternyata gadis kecil malang itu, hanya punya kaki sebelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar