(Rakendra)
Nama boleh terganti, identitas
boleh terganti, tapi jauh di dalam hati kita tetap diri kita sendiri
***
Pernahkah kamu mengalami situasi
dilematis seperti ini? yang pertama,
kamu seharusnya marah-marah, karena, cewek, yang-maksudku, ayahnya membayarku
untuk menjaganya, dan hari ini adalah hari besarnya, kalau aku tidak salah
ingat, cewek ini meminta kebebasan, dan kehidupan normal, dia mau masuk sekolah
formal dan berhenti jadi penderita social
disorder parah, tapi apa yang terjadi??? Dia masih bergelut dengan
mimpi!!!! yang kedua, kamu hanya akan
membiarkan tertidur selama yang diinginkannya lalu duduk manis manis memandang wajah damainya yang tertidur pulas,
menjaganya dari kerasnya dunia. Jika pernah mengalami situasi seperti ini,
tolonglah beri aku pencerahan apa yang harus aku lakukan? tak ada jawaban!
Baiklah, caraku mudah saja, mungkin
aku akan bergabung di tempat tidurnya, bersamanya, melanjutkan hari dalam
mimpi. Aku melompat ke tempat tidurnya, dan yeah tepat seperti dugaanku, dia
akan berteriak histeris. Seorang cewek akan histeris bila tau ada cowok masuk
tanpa permisi ke kamarnya, apalagi dalam kasus seperti ini, wajar jika dia
hampir saja memecahkan gendang telingaku karena teriakkan. Well, setelah mendapat lemparan bantal dan makian, paling tidak aku
mendapat tips yang bisa kubagikan; cara mudah membangunkan seorang cewek manis
yang tertidur pulas, adalah dengan tidur di sampingnya (resiko ditanggung
sendiri).
“Aku bisa tuntut kamu dengan tuduhan
melakukan penyelesaian seksual!” mata besar indahnya menatapku dalam tatapan
kebencian yang sempurna, di otaknya, dia pasti menganggap aku cowok cabul tak
tahu malu. Tapi siapa peduli!
“Silahkan, tapi sebelumnya, lo kudu
mandi dan siap-siap buat sekolah! Katakan terimakasih, karena gue udah
nyelamatin lo dari hukuman yang layak lo terima di hari pertama sekolah, lo
bisa telat ke sekolah dan itu termasuk pelanggaran disiplin, asal lo tau, disekolah
normal luaran sana, para guru membenci siswa pemalas.” Jawabku cuek.
Dan dengan bersungut-sungut dia
masuk ke kamar mandinya, aku merasa benar-benar berada dalam buku dongeng Hans
Cristian Andersen (yang pernah kubaca saat kecil dulu, buku sumbangan dari
dermawan yang membantu panti-ku), saat kuperhatikan segala yang ada dalam kamar
ini. Oh …haruskah ada tempat tidur berkanopi ala-ala Putri, juga karpet terbang
Aladin, kumpulan minatur peri, bintang-bintang tiruan yang berkilauan, dan musik
yang membuatku mengantuk, musik yang kudengar di film bodoh, saat seorang gadis
kelewat teledor meninggalkan sepatu tak masuk akalnya hanya untuk meninggalkan
jejak agar sang pangeran yang agung sejak dilahirkan itu mencarinya dari satu
rumah ke rumah lainnya. Satu hal yang lupa untuk kukatakan sedari tadi, tentang roknya yang…aku tak ingin
membicarakannya, di meja makan rok itu terlihat lucu, dan hey…dia bahkan tidur
dengan rok kaku aneh itu!
“Keluar dari kamarku sekarang”
Sedikit telat tapi dia baru menyadari apa yang seharusnya dia lakukan sedari
tadi! Mengusirku!
***
Aku memilih untuk menunggunya di
taman, tempat dia biasa sarapan, oh Tuhan aku tak menyangka apa yang dilakukan
ayahnya sungguh luar biasa. Dia menciptakan dongeng di dunia nyata. Rumahnya
indah dan sempurna, hanya saja putrinya kupastikan tak pernah mensyukurinya.
Seandainya pria kaya-raya penyayang yang kehidupannya penuh dengan keanehan ini
adalah ayahku, mungkin aku bisa meminta rumah ala Coboy dan Indian.
***
Jika melihat seorang cewek dengan
seragam sekolah, itu adalah pemandangan biasa, tapi ketika cewek yang bernama Gadis
ini memakainya, aku rasa…memakai sobekan karungpun dia terlihat sempurna, tapi…sejujurnya
ketika, rok bermotif kotak berwarna biru tua dan putih itu di pasangkan dengan
seragam putih dan dasi. Hey, anehnya dia masih mengeluarkan pesona putri dongengnya!
Luar biasa! Tapi aku tahu aku yakin dia pasti lebih nyaman memakai rok
baletnya.
“Katanya telat?” Dia memelototiku “Ayo”
itu maksud dari pandangan matanya yang seperti hendak menelanku bulat-bulat, yang tengah asik menikmati sarapan,
rupa-rupanya si Putri tidur yang bangun kesiangan ini tak bernafsu untuk
sarapan. Sepertinya akulah yang menghilangkan selera makannya, tapi sebenarnya
tidak juga, dia benar kita harus buru-buru, yeah kita tak punya banyak waktu.
Nanny-nya
yang berwajah mirip wanita bijak yang di sebut peri baik hati dalam dongeng itu
buru-buru mengejar di belakang kami yang hendak pergi. Dia menyerahkan keranjang
piknik untuk bekal ke sekolah…Ayolah! Ini kehidupan nyata, terlalu lama bermain
dongeng bikin mereka tak bisa membedakan bahwa yang terjadi sekarang adalah
kehidupan nyata.
Dengan mata berbinar dan pancaran pesona
seorang putri sejati, gadis menerima keranjang rotan berhias bunga-bungaan itu.
Fiuh untungnya ayahnya hanya memberiku kunci mobil Range Rover bukannya kereta
kuda, jika tidak aku bisa gila, mungkin aku akan berpikir aku hanyalah seekor Troll bodoh dan bau.
Setelah di mobil dan siap-siap
berangkat, aku minimal harus mengingatkannya akan satu hal!
“Bersikaplah normal”
“Kalo kamu berhenti bersikap kurang
ajar” jawabnya
“Hey, gue sudah melakukan segalanya
seperti yang diperintahkan oleh bokap elo, nona muda yang terhormat dan keras kepala” jawabku malas.
“Dimana papa?” pertanyaan singkat
yang jawabannya sangat tak sederhana, aku juga tak mengetahuinya. Dan kalaupun
aku mengetahuinya aku pasti diminta oleh papanya tersayang untuk tutup mulut,
pastinya ini adalah rahasia. Ingin kuabaikan pertanyaannya, pura-pura tak
mendengarkan, tapi tak bisa kulakukan pada saat pipinya berkilauan dialiri air
mata.
Untuk pertama kalinya aku tersenyum,
senyum menenangkan yang kumaksudkan untuk meyakinkan bahwa semuanya baik-baik
saja. Sedikit menghela nafas, lalu kuberikan jawaban tak memuaskan tapi ini adalah
jawaban terbaik yang bisa kuberikan.
“Elo tau dimana, elo bisa rasain di
hati kan?”
Berhasil! Dia mengangguk.
“Boleh tanya?”
“Apa?”
“Bagaimana bersikap normal?”
Haruskah dia bertanya pertanya-tanyaan yang terlalu sulit untuk di jawab. Siapa
sih yang mau hidup normal, bukankah semua orang punya keanehan, yeah dia aneh
karena kehidupannya, dan aku juga menyimpan keanehan sendiri, orang lain juga.
Sulit dijelaskan.
“Bersikap biasa-biasa saja!”
Aku menghela nafas, berharap dia tak
bertanya lagi, aku cuma mau fokus menyetir, dan membuang jauh kebencianku pada
apa yang akan kulakukan, memasuki lagi kehidupan SMA berpura-pura jadi siswa,
kehidupan yang telah kutinggalkan dua tahun lalu. SMA seperti rumah gila,
remaja adalah mimpi buruk, masa remaja bisa indah tapi juga bisa menghantammu,
aku merasakan bagaimana seorang anak malang dari panti asuhan jadi bahan ejekan
anak-anak cowok jadi bahan rasa iba dan belas kasihan yang rupanya bukan karena
aku yatim piatu tapi lebih karena wajah tampanku. Yeah, aku selalu merasa
seperti Oliver Twist yang malang.
“Siapa namamu?”
“Raken” jawabku singkat dan acuh
“Aku Gadis” yeah aku sudah tau!
“Kenapa kamu mau menjagaku?”
“Gue dibayar! Hal terpenting yang
pertama dalam kehidupan nyata adalah, semuanya karena duit! Kalo-kalo loe
berpikir kenapa orang kayak gue mau melakukan hal paling tidak menyenangkan
kayak gini”
“Oh…” tak tahu mau berkomentar apa
kurasa, tapi baru saja hendak merasa lega si Gadis malah bicara lagi “Sekolah
tempat kita bagaimana? Apa kayak Hogwarts? Atau sekolahan Barbie di Princess
Charm School, atau kayak di sinetron-sinetron yang nggak pernah sekolah tapi
pacaran aja, atau kayak di Glee, atau mungkin juga Gossip Girl?”
“Boleh nggak kalo loe diem aja dan
ntar loe nilai sendiri deh tuh sekolah kayak apa! Susah yak bikin loe bersikap
biasa-biasa aja, loe mau dunia nyata inilah dunia nyata jangan lagi bahas
hal-hal yang loe cuma tonton di TV atau loe baca di buku! susah bener yak
ngomong sama elo!”
Gadis diam, hanya sejenak, tapi kali
ini, dia malah bikin aku tak punya komentar apa-apa!
“Kamu dibayar kan?”
Dan aku pura-pura tak mendengar.
Saatnya pas, kita sedang memasuki gerbang sekolah, dia melihat bangunan khas
sekolah swasta yang harganya ampun-ampunan dengan antusias. Aku memarkir mobil,
sebelum keluar, aku harus menjelaskan sesuatu yang penting yang lupa kujelaskan
tadi.
“Tunggu bentar, gue lupa” kataku
tiba-tiba saat Gadis hendak keluar dari mobil. Aku agak merasa gugup saat ingin
mengatakan ini.
“Bokap loe minta bahwa data loe
semua untuk sekolah di sini adalah fiktif”
Gadis hendak protes, tapi sebelum
dia bicara aku memilih berbicara lebih cepat, agar dia tak punya kesempatan.
“Nama loe di sekolah adalah Copellia
Atmawidjaja, gue nggak habis pikir kenapa bokap loe ngasih nama seaneh ini.”
“Coppelia, nama boneka dalam tarian
ballet, dia tokoh favorite-ku.” Dia
tersenyum mendengar nama yang terdengar mengerikan di telingaku itu.
“Gue yakin loe nggakkan suka bagian
ininya” aku menebak, dan aku yakin tebakanku tak pernah salah.” Gue…” fiuh, aku
gugup saat harus memulainya. “Gue harus pura-pura jadi pacar loe, supaya
kehidupan loe di SMA aman….”
“Apa?” dia hendak protes
“Jangan pikir gue seneng dengan acting jadi cowok elo, ini namanya tugas
dan gue dibayar, jangan repotin gue dong, terima aja, daripada loe mau
terkurung selamanya di rumah!” Dia mengangguk, seperti mencoba mengerti dan
pada akhirnnya terpaksa menyetujui. “Nama gue di sini Alfan, sebenernya gue
lebih suka nama asli gue, ntar, kita baru pindah dari Eropa, okay, loe bilang
aja kalo nyokap loe adalah pengusaha kosmetik di Eropa, ortu loe pisah dan
sekarang loe tinggal dengan kakek-nenek loe yang katanya pengusaha besar di
sini, nah gue juga sama tajirnya dengan keluarga lo, jadi tinggal bilang aja
kita dijodohin dari dulu, fiuh, padahal gue yatim piatu bisa-bisa disuruh acting jadi anak orang kaya.”
“Kamu dibayar!” Gadis mengingatkan. “Ternyata
tetap saja aku harus merahasiakan siapa aku yang sebenarnya ya?” ada kesedihan
saat dia mengatakannya. Dia menangis, aku tak tahu harus melakukan apa.
“Nama boleh terganti, identitas
boleh terganti, tapi jauh di dalam hati kita tetap diri kita sendiri”
Dia tersenyum saat aku mengatakan
hal yang tak kusangka bisa kukatakan.
“Okay, kita mesti pura-pura,
bersandiwaralah dengan baik, jangan sampai papa membayarmu untuk sesuatu yang
sia-sia!” ancamnya dengan gaya cewek kaya sombong yang menyebalkan, tapi
minimal dia tak terlihat sedih lagi. Hey, peduli apa aku dengan kesedihannya???
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar