(Adrian)
Seperti
apa itu rindu?
Kamu
berada di depanku, tapi aku tak terlihat olehmu dan aku tak dapat menyentuhmu.
***
Aku melihatnya di sana, duduk terpaku
menatap pada wajah beku yang serupa seperti milikku yang sudah lama menjadi
debu. Di sisinya ada dia si pemilik tubuh, seperti aku dia seakan berkaca di
depanku.
“Ardian?” aku bertanya, antara yakin
dan tak yakin, lalu berganti memandang dia yang tergolek lemah tak berdaya,
menatap ke arahnya yang duduk, diam, datar tanpa ekspresi dan menatap lama pada
wanita terindah yang pernah kukenal dalam hidupku, walau dia tak pernah mengenalku,
aku yang sebenarnya, bukan aku yang menyaru sebagai adikku.
Tatapan Ardian mengarah padaku,
seperti biasa sendu. Sekarang dia mengarahkan pandangannya pada sosok yang
sama-sama kami menyimpan cinta padanya, Tiara. Ardian ingin membelai rambutnya,
tapi kulihat mata kecewanya, manakala, jarinya menembus, tak mampu membelai
sosok itu. Ada kepanikan di wajahnya, seperti juga kepanikan yang tiba-tiba
menyerangku.
Ardian menggeleng berulang kali,
seakan belum mampu mencerna, atau mungkin tak ingin memahami apa yang sedang
terjadi. Dia menatap lama padaku, jenis sorotan mata yang mengandung berjuta
tanya.
“Kita, koma” ingin kujawab begitu,
tapi kusadari ini tubuhnya, dan kesalahankulah yang menjadikan segalanya
seperti ini. “Kamu koma” Ada penyesalan saat aku mengatakannya, Ardian menutup
matanya sesaat, dan seolah mampu membaca pikirannya, aku seperti melihat
bayangan itu melintas. Tawa bahagia menjadi air mata duka Gadis kami.
Gadis kami yang serupa dalam nuansa
berbeda seperti wanita yang duduk penuh keanggunan di depanku sekarang.
“Tiara” aku ingin memanggilnya. Tapi
seperti aku mengenalnya, Tiara tak pernah bersuara, dia memilih bisu tak ingin
berkata-kata.
“Adrian…apa yang terjadi?” dia masih
bertanya sementara dia menyadari bahwa kami tak lebih dari sosok transparan
tanpa raga, semi hantu, yang masih berada di dunia belum di terima di alam
lainnya.
“Maafkan aku” Aku menyesali segalanya.
Ardian menggeleng-gelengkan kepalanya,
masih tak percaya lalu Ardian mencoba satu hal yang sangat payah, dia mencoba
masuk ke dalam tubuh beku yang terbaring tanpa daya. Tak berhasil, raut
wajahnya berubah menjadi putus asa.
Dia menatapku, tak menghakimi hanya
terasa sangat sedih.
“Gadis” dia menyebut nama putri kami.
Dia mencintai putri kami sangat.
Dan…aku juga merasakan hal yang sama.
“Seandainya bisa menyalami Tiara” aku
mengubah topik, agar pikiran tentang Gadis teralihkan, aku percaya dia sudah
cukup dewasa untuk menjaga dirinya, dia akan baik-baik saja.
“Kamu merinduannya?” dia bertanya,
pura-pura, dia tau betapa aku merindukan Tiara seperti dia juga merindukannya.
“Lebih dari apapun” aku meyakinkannya.
“Merindukannya?”
“Lebih daripada kamu merindukannya”
dia menjawab dengan nada yang lebih tinggi dari nada bicara normalnya.
“Bagaimana bisa dia ada disini?”
pertanyaan itu entah muncul dari otaknya, atau memang terbaca dari otakku,
entahlah! Anehnya sekarang aku dan dia nyaris tak ada beda.
“Aku tak ingin mengetahuinya…seandainya
aku bisa memelukkunya…” ada rasa frustasi saat dia mengatakannya.
“Dia masih terasa wangi seperti dulu”
bisikku
“Seperti campuran Jasmine dan Lime” dia
mencoba mengingatkan
“Aku suka wangi itu…dan kamu juga
menyukainya” aku bicara dengan nada mengejeknya
“Kenapa kita harus seidentik ini?” ada
nada marah saat dia bicara, lalu aku memilih diam, memilih untuk larut dalam
keheningan, tak ingin lagi menyulut marah, mengingat kemarahan sebelumnya, membuat
kami berada dalam posisi membingngkan seperti ini.
Aku tersentak dan merasa hangat
menjalari tanganku, kulihat di sana Tiara menyentuh tubuh beku itu, kutatap
Ardian dia juga merasakan hal yang sama, kami saling bertukar pandang tak
memahami ini semua. Oh Tuhan misteri apa lagi yang harus kami jalani?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar