Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 29 Agustus 2013

Lembaran Euro Untuk Ni Luh Sari



Feat : Mbak Kakaknyah Sekar Mayang


Semuanya berubah, tidak ada yang bisa membeku tanpa tersentuh oleh waktu

***
Ni Luh Sari     

Matahari sudah hampir menghilang di horizon sebelah barat dan daganganku baru laku sedikit. Sepertinya aku bakal merugi lagi hari ini. Tapi paling tidak, aku harus bertahan sebentar lagi. Masih banyak orang di pantai ini dan aku masih bisa menawari mereka untuk membeli lumpia gunting daganganku.

          Namaku Luh Sari dan aku seorang pedagang lumpia gunting di Pantai Mertasari. Itu bukan sebuah pekerjaan yang layak untuk anak seumurku. Aku terpaksa melakukan itu karena ibuku yang mewariskan pekerjaan itu sebelum ia pergi meninggalkanku begitu saja lima bulan yang lalu. Entah apa yang ada di pikiran ibuku hingga ia  tega meninggalkan anaknya yang baru berumur dua belas tahun sendirian. Andai saja ayahku masih hidup, tentu aku masih bisa bersekolah. Ya, setidaknya, itu harapan yang masuk akal.
          Aku masih menyusuri pasir Pantai Mertasari ini. Kerumunan manusia sudah mulai menipis. Masih ada beberapa turis asing yang menikmati pemandangan pantai. Biasanya para turis asing ini tidak tertarik dengan penganan lumpia gunting. Tapi apa salahnya aku mencoba sedikit peruntungan itu.
          “Lumpia, Mister?!”
          Hanya beberapa kata dalam bahasa Inggris yang aku mengerti. Seorang teman yang mengajarkannya padaku. Salah satunya ya yang baru saja kuucapkan itu.
          Aku menawarkan kepada seorang pria turis asing yang nampaknya sedang berlibur dengan anak perempuannya. Anak perempuan itu sebaya aku, dan parasnya sungguh cantik.
          Pria turis asing itu menjawab tawaranku. Dia bicara dalam bahasa Inggris yang aneh. Mungkin logatnya lain, aku tidak paham, tapi aku tahu itu masih bahasa Inggris. Meskipun aku tahu, tetap saja aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Aku hanya mengerti ketika ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya padaku. Ia mau dua porsi.
          Langsung saja kubuatkan dua porsi lumpia gunting untuk pria itu dan anaknya. Kulihat mereka sangat menikmati penganan murah ini. Mereka minta tambah.
          Aku senang. Walaupun daganganku masih tersisa amat banyak, tapi aku senang masih diberi kesempatan untuk hidup sampai senja ini.

Lima tahun kemudian….

          Aku masih Luh Sari yang sama. Tidak berubah sedikitpun. Aku masih seorang pedagang lumpia gunting di Pantai Mertasari. Aku menyaksikan banyak perubahan di sini, termasuk para pedagangnya. Nampaknya hanya aku pedagang terlawas di pantai ini.
          Sore ini aku agak lelah. Sedari subuh aku membantu seorang tetangga membuat jaja banten untuk dijual di pasar. Hasilnya lumayan untuk menghidupiku beberapa hari ke depan.
Aku menumpang duduk di kursi pedagang mie ayam di dekat tempat parkir mobil. Tak jauh dari tempatku duduk, seorang pria baru saja turun dari mobil. Pria setengah baya itu mengenakan celana panjang dan kaos Polo.
          Ah…. Entah mengapa, aku merasa mengenal pria itu. Agak berlebihan, memang. Bisa jadi, aku hanya mengira – ngira pria itu sama dengan orang lain yang beberapa hari aku lihat di pantai. Tapi tetap saja, ada hal yang menarik dari pria itu. Dan aku tak tahu apa itu.
          Aku terkejut ketika ternyata, pria itu sudah ada dua langkah di hadapanku. Aku hanya bisa menatap wajah sendunya yang mulai memerah terkena sengatan matahari sore.
          “You…. I know you….
          “I’m sorry, Mister. I don’t understand what you’re talking about.
          Bahasa Inggrisku sudah lebih baik sekarang. Aku belajar di sini, di pantai ini.
          “Come with me.”
          Pria itu sepertinya mengajakku untuk kembali ke bibir pantai. Hmm…. Apa salahnya kuikuti dia? Dia tak tampak seperti orang jahat bagiku.



Timon Hahn
          Kembali lagi ke tempat yang pernah kudatangi lima tahun silam, segalanya berubah, duniaku, tapi entah mengapa tidak dengan tempat ini. Salah! semuanya berubah, tidak ada yang bisa membeku tanpa tersentuh oleh waktu, lihatlah gadis yang kini di sampingku, dia telah tumbuh, beranjak dewasa dengan wajah cantik mempesona khas wanita tropisnya, dan lihatlah aku hanya sendiri, tanpa gadis kecilku yang cantik, duniaku berubah bersama dengan kepergiannya.
 Sekarang aku di sini, di tempat ini di pantai ini, menikmati penganan nikmat yang asing dilidah, tapi kunikmati, demi sebuah kenangan indah yang menyakitkan, Sejujurnya aku hanya ingin memandang lepas ke arah lautan, tapi mataku tak ingin berhenti menatap gadis disisiku. Memandang gadis kecil sederhana yang duduk di sisiku, dengan penganan nikmat yang disajikannya membuatku terkenang lagi dengan gadis kecilku, Catherine, mein Cathy Cat, lima tahun berlalu sejak liburan terakhirku dengan putriku.
          Aku tak ingin lagi mengenangnya, sungguh begitu menyakitkan, tapi bagaimanapun, mengapa aku di sini dan menikmati segar angin laut yang beraroma garam serta memandang matahari terbenam, sungguh ini semua karenanya, bagaimanapun aku ingin melupakannya ternyata takkan pernah bisa.
          “Where your daughter, mister?” Gadis itu bertanya malu-malu, aku tau dia masih mengingatku dan juga putriku.
          “Heaven” aku ingin menjawabnya begitu, tapi lidahku kelu, karena rasa pedas ataukah karena pertanyaan tentang putriku selalu membuat lidahku kebas.
          Oh Cathy Cat, seandainya bisa membawamu kembali lagi kesini. Dulu, kau bilang kau akan sembuh setelah kau mengunjungi tempat impianmu, tempat yang kau tunjukkan padaku dari guntingan majalah wisata yang kau jadikan kliping. Mein schatz, kenapa aku tak bisa menikmati indahnya Bali denganmu lagi.
          Oh Cathy Cat, Mein tochter, usiamu begitu muda, tapi Tuhan memanggilmu begitu tiba-tiba, lima tahun lalu vonis itu jatuh begitu saja, menghantam dengan kejam, menghancurkan duniaku, merobohkan harapanku dan merusak segala harapan tentang masa depan putriku tersayang; aku takkan pernah cemburu pada pemuda yang akan mencium gadis kecilku  di depan pintu rumah sepulang mereka dari prom nite, aku takkan pernah memotret tawa bangga dan bahagianya saat dia memakai toga, aku takkan pernah melihatnya memakai gaun pengantin ibunya dan mengantarkannya ke altar, melepasnya untuk bahagia bersama pria yang dicintainya, aku takkan pernah mendampinginya melahirkan bayi pertamanya, putriku pergi menyusul ibunya dengan cara yang sama, karena Leukemia.
           Oh Cathy Cat, memandang gadis ini membuatku terkenang lagi dengan celotehanmu
          “Vater, aku ingin menukar hidupku dengan hidup gadis itu” dia tersenyum kala mengatakannya, Gadis kecilku punya senyum menawan, apapun yang dilakukannya seolah membuatku merasa damai dan nyaman.
          “Warum? kenapa?” tanyaku
          “Dia akan hidup lama… lagipula dia bisa memasak makanan senikmat ini” saat mengatakannya, sauce kecoklatan menyisakan noda di bibirnya yang berwarna pink cerah, aku membiarkannya, aku tau dia akan menjilati bibirnya dengan cara yang biasa, yang lucu dan manja, usianya dua belas tahun tapi dia tak bisa mengenyahkan bahasa tubuh usia lima tahunnya.  “Mau taruhan denganku, bahwa dia akan hidup lama?”
          Aku ingat saat Cathy mengatakannya, matanya berbinar, selain pantai, pasir, laut, dan matahari, Cathy sangat menyukai taruhan. Tapi kali ini taruhan yang diajukannya adalah sebuah pertaruhan bodoh. Aku ingin menggeleng, tapi saat melihat senyumannya, tak ada hal yang bisa membuatku menolaknya, jadi aku mengangguk.
          “Lima tahun yang akan datang di hari kasih sayang-Valentinstag,  datanglah kesini, dan lihat apa dia masih hidup atau…tidak, dan jangan lupa bawakan aku pasir pantai ini, bila aku terlalu sakit untuk bisa pergi  mungkin pasirnya akan berguna untuk kupakai menghias figura foto saat aku sembuh atau bila aku telah pergi jauh ke surga letakkanlah pasir ini di makamku, Vater, kau harus melakukannya, anggap saja ini kado Valentine-ku lima tahun mendatang, okay?” Dia memelukku lalu menciumku, mengapa dengan begitu mudah dan pesimisnya dia menatap masa depannya? Mungkin itulah pertanda yang dibacanya, sekarang aku masih bisa merasakan ciuman lengketnya yang meninggalkan noda sauce pedas itu.
          Si Gadis Bali itu menatapku lama, dan kusadari mataku berkaca-kaca, aku tersenyum padanya dan menyadari bahwa aku telah membuktikan bahwa Gadis ini masih hidup, dan aku kalah taruhan dengan putriku, aku merogoh botol kaca kecil lalu meraup sejumlah pasir dan memasukkannya ke dalam botol, dan berkata dalam hati “Kau menang Cat, dan ini kado Valentine-mu” saat mengatakannya dalam hati, aku melihat putriku di hadapanku, tersenyum padaku dengan pendar cahaya keperakan dan ada halo yang mengelilingi kepalanya, dia secantik dewi dengan latar belakang, matahari terbenam Bali.
          “Ich liebe dich , Vater…” dia tersenyum “ Ich moechte essen“ katanya lagi sambil menunjuk makanan yang ada di tanganku, aku menggeleng, seandainya aku mampu menyuapinya makanan ini, seperti lima tahun lalu, dan seperti yang kuingat dia membandel, dia mendatangiku dan menyuapi sendiri makanan yang ada di tanganku, lalu menciumku, sauce-nya sekarang terasa menempel di pipiku.
          “Danke” ucapnya…lalu dia pun pergi berlalu.
          “Danke Schatz” bisikku, dan saat tersadar aku meneteskan air mata, si Gadis Bali menatapku lama, dan kemudian mengucapkan kata maaf dengan ekspresi menyesal.
          “Sorry” bibirnya bergetar saat mengatakannya
          “Its okay” aku menghapus air mataku dan merogoh kantungku, mengeluarkan lembaran seratus Euro yang diterima si Gadis dengan wajah campuran keterkejutan dan heran
          Aku mengangguk padanya, lalu mengusap kepalanya dan pergi, bahkan seratus Euro tak cukup untuk membayar kenangan yang kuulangi lagi seperti yang diinginkan putriku.
         

:::HAPPY VALENTINE DAY:::


Keterangan :
Mein schatzàsayangku
Mein tochterà putriku
Vaterà Ayah
WarumàKenapa
ValentinstagàHari Valentine
Haloà lingkaran cahaya pada kepala bidadari atau malaikat
Ich liebe dich , Vaterà Aku mencintaimu, Ayah
Ich moechte essenà aku mau makan
Dankeà terima kasih
Danke, Schatzàterima kasih, sayang

Gambar: Kitty Gallanaugh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar