Summer
2005
“…satu-satunya kesalahanmu adalah…”
Lanang tak ingin menatap mataku saat mengatakannya “kamu tak mempersiapkan hatimu untuk terluka”
dia menatap langit yang mulai menjingga “Kita nggak bisa sama-sama Adiba!” sekilas
ia menatap padaku dan bicara lirih, seperti bukan bicara padaku tapi lebih
kepada dirinya sendiri “Just because we
can't be together doesn't mean I won't love you. Call me crazy but I love you,
Adiba. Always have, always will. You know love does not just disappear.”
lalu mulai melangkah pergi jauh, tak menoleh lagi, terus berjalan dan
meninggalkanku yang terpaku.
Aku bahkan masih bisa merasakan
hangat tangannya yang tadi menggenggam jemariku. Tak menyangka secepat itu
semuanya berubah, seandainya semudah itu pula menyatukan kembali pecahan hati
yang berantakan. Semudah dia pergi meninggalkan aku seperti sekarang ini.
Pada
awalnya kupikir segalanya mudah dan indah. Cinta…harusnya hanya cinta, tanpa
kata jatuh di depannya. Jatuh berarti…ada sakit yang terasa nanti. Jatuh
cinta…seperti menjatuhkan diri dari jurang yang tinggi dan kita percaya ada
seseorang dibawah sana yang menanti, untuk menangkap dan menyelamatkan.
Seseorang yang kemudian akan memberikan sayapnya, terbang bersama kita menuju
bintang-bintang, tapi sekarang aku terjatuh dari tempat yang terlalu tinggi.
Aku remuk dan hancur tak ada yang menantiku di bawah sana, karena tadinya dia
bersamaku, di sini di ujung pelangi. Orang yang sama yang menyelamatkanku,
orang yang terbang bersamaku dan juga orang yang mendorongku untuk merasakan
sakitnya perasaan ini. Mungkinkah ada sesuatu yang mampu meyembuhkannya? Aku
tak lagi bisa percaya.
***
Summer 2013
“I miss my summer fling…I miss my summer romance”
Sebuah pengakuan yang menyakitkan, sebaris kalimat berisi kejujuran yang baru
saja aku ungkapkan pada Nino yang kini tersenyum kecut. Aku tak sedang
bercanda, aku tak sedang menggoda tunanganku itu.
“Bersamaku
adalah salah satu hal yang kamu sesalkan, bukan?” aku tahu saat Nino
mengatakannya, dengan sekuat tenaga dia menahan agar nada suaranya terdengar
biasa, aku tahu itu tak mudah. “Seandainya bisa kembali pada kisah lamamu, kamu
akan pergi dan meninggalkanku, kan?” tebakannya membuatku ketakutan.
Aku
menggeleng dan tersenyum untuk menunjukkan bahwa kesimpulannya tak berarti
apa-apa, tapi di saat yang sama aku menyadari bahwa aku mengangkat bahuku…. seandainya bisa menghilangkan salah satu fase terindah yang kini tak
lebih dari kenangan musim panas saat aku masih remaja, saat segalanya indah,
saat cinta hanya seperti cinta tanpa resiko terluka. Sebenarnya, cinta bisa
begitu indah andai saja kami menyerah padanya, tapi kami membawa logika
kepadanya hingga rasionalitas membuat kami harus mengakui bahwa cinta saja
kadang tak cukup untuk menjalani sebuah hubungan.
“Jika
kamu masih bisa mengatakan rindu pada orang yang telah lama berlalu, itu
artinya bahwa aku tak bisa menggantikan posisinya.” Nino menggeleng perlahan.
“Aku takkan bisa menggantikan posisi Danang, Galang, Lanang atau siapapun
namanya itu!”
“Tidak
seperti yang kamu pikirkan No, sekarang aku bersama kamu, ini kita! Aku kamu
takkan terpisah” aku menggenggam tangannya dan memandang ke dalam matanya, di
matanya kulihat bayangan diriku yang gelisah.
“Apa
artinya Adiba? Jika ragamu bersamaku tapi hatimu masih berada di masa lalu!”
“Aku
tak mungkin kembali padanya, dia yang meninggalkanku!” suaraku terdengar putus
asa dan kecewa.
“Kita
tidak mungkin bisa melangkah bersama-sama jika kamu tak ingin meninggalkan masa
lalumu!”Nino terdengar frustasi, raut wajahnya kaku mata lelahnya menatapku
ragu, dia ragu akan masa depannya denganku.
“No…”
aku memanggil namanya pelan.
“Akan
lebih mudah jika kita berjalan sendiri-sendiri, sampai kita menemukan jalan
yang sama lagi…itupun mungkin, karena ada kemungkinan untuk kita sebaiknya
berpisah selamanya. Aku tak bisa menghapus bayang-bayang masa lalumu!”
Mungkin
Nino benar, namun separuh sisi hatiku merasakan keraguan. Nino memberi sebuah
kecupan di keningku dan berbisik “Pergilah, perbaiki cintamu yang tertunda, tapi
jika kau tak berhasil memperbaikinya, kamu tahu aku selalu di sini untuk
menunggumu.” Dan Nino berlalu.
***
“Pernah
membayangkan hari ini?” aku menoleh pada Lanang, yang memandang lurus ke langit
yang menghitam, mentari sudah lama terbenam. Kami tengah berbaring di hamparan
pasir pantai, menikmati malam, berdamai bersama alam.
Hanya
diam, tapi kami seharusnya di sini untuk menghapus kelam, bukan lagi seperti
dulu, terus menerus terjebak dalam kisah yang takkan berakhir indah karena
hanya akan menenggelamkan kami pada kekecewaan yang lebih dalam.
Lanang
masih terdiam, tapi mengulang kata-kata yang telah kukeluarkan membuatku
enggan. Lanang tahu aku takkan bicara lagi…jadi menyentuh tanganku dan
menggenggamnya, mata kami bertemu, aku memandang jauh ke dalam matanya…aku tak
bisa melihat ada aku di sana…aku takkan bisa ada dalam masa depannya.
“Seandainya
cinta cukup untuk menyelesaikan segalanya…” katanya.
Aku
tertawa “Realita memanggil kita”
“Boleh
mengabaikan panggilannya?” aku tahu Lanang hanya menggoda.
“Seandainya
bisa” aku berharap
Lanang
tertawa, parau, tanpa makna bahagia, tawa pura-pura ketika seseorang kehabisan
kata.
“Aku
masih ingat bagaimana kita berjumpa dulu” bisiknya.
Akupun
tak pernah melupakannya.
“Rambut
tergerai tertiup angin pantai…kamu berdiri menatap laut…kupikir kamu menyukai
ombak, tapi bisa jadi kamu suka wangi garam…tapi ternyata…”
“Takkan
ada yang menduga kan?” aku tertawa.
“Kamu
marah pada lautan”
“Karena
aku begitu payah…”
“Bukan
payah, hanya saja…”
“Bermaksud
membela diri, Adiba?” ekor matanya mengarah padaku.
“Baiklah…logikanya,
aku mencoba…ingin memahami, bahwa seharusnya aku menemukan biru”
“Tapi
kamu tak menemukannya, baik di langit ataupun lautan!”
“Biru
itu tak pernah sama kan?”
“Pada
akhirnya aku menemukannya Lanang…di matamu” saat mengatakannya aku merasakan
seperti habis menelan segenggam pasir.
“Harusnya
kita tak membahasnya…”
“Aku
suka biru…biru yang selalu kulihat dalam mimpiku, kucari tak kudapati hingga
kutemukan dalam binar matamu, tapi menyakitkan karena tak bisa tetap kumiliki.”
“Kita
bisa saling memiliki” kataku ragu.
“Tidak”
“Kenapa?”
“Kita
berbeda”
“Apa
salah?”
“Tidak
juga …hanya saja…”
“Jangan
mulai lagi”
“Tuhan
hanya satu, cara kita mempercainyalah yang berbeda.”
Aku
tak lagi ingin menatapnya, tapi berganti menatap langit yang menghitam…aku
ingat dulu aku sering memejamkan mata hanya untuk melihat bintang-bintang dalam
gelapku.
“Orang
tuaku berbeda… dan yeah mereka tak bersama, begitupun kita” bisik Lanang. “Kau
tahu mata biruku hadiah dari lelaki yang membuat ibuku jatuh cinta, lelaki yang
meninggalkannya karena alasan yang sama seperti kita, karena mereka tak sama,
begitu berbeda.” Genggaman tangan Lanang semakin erat. “Tapi ibuku tak
menyesali perpisahan dengan orang yang sangat dicintainya, jika menyesal, maka beliau takkan
mempertahankanku di rahimnya, maka takkan ada seseorang yang akan menggenggam
tanganmu dan menemanimu menikmati bintang-bintang malam seperti sekarang.”
“Dan
takkan ada yang menghadiahiku dengan perasan menakutkan seperti ini”
“Ketakutan?”
“Kenapa
begitu sulit untuk menyatukan perbedaan?”
“Dulu
kita mencobanya…dan kecewa”
“Dan
sekarang…”
“Hanya
reuni sahabat lama”
Kami
tertawa, terpaksa.
“Sahabat
lama yang dulu pernah saling jatuh cinta, tak bisa menemukan jalan yang sama,
kita berpisah arah…dan yeah…lagi-lagi kecewa.”
“Aku
tak bisa melepas mata saat kaki-kakimu berlari di pasir, rokmu beterbangan, dan
tawamu membelah di udara…”
“Masih
ingat detailnya?”
“Ingatanku
masih mengukir gambarmu dengan sempurna.”
“Ingatan
yang bagus, Lanang.”
“Apa
yang kamu ingat tentangku?”
“Hal-hal
yang menyakitkan…seorang pria tampan dengan kulit kegelapan, mata bitu terang
dan rambut ikal emas…bernama Gusti Lanang Mahardika… siapa yang tak jatuh
cinta? Hahahahaha, tapi ternyata harus berujung kecewa…”
“Delapan
tahun ini sungguh-sungguh sanggup melupakanku?”
“Hanya
mengajari hatiku untuk tak lagi mengharapkanmu.”
“Bagaimana
bisa?”
“Memanipulasi
hati dan mencoba untuk hanya mengganggapmu sebagai seseorang yang berada di
sana di suatu musim panas saat aku menemukan apa yang kucari, biru…biru yang
ketemukan tapi harus kurelakan…”
“Apakah
berhasil?”
“Berhasil
bila kukatakan bahwa kamu adalah musim panas terbaikku.”
“Yeah
musim panas terbaikku…”
“Rasanya
lebih bermakna saat aku hanya bisa menggenggam tanganmu.” Aku tahu Lanang
membayangkan apa yang terjadi di sini delapan tahun lalu, sepasang remaja nekat
yang berbuat terlalu jauh. Aku tak ingin ada yang terulang lagi, tak ingin
tenggelam jauh lagi…harus pergi sekarang, sebelum ombak menyeret lalu
menghempaskan kami dengan cara yang jauh lebih menyakitkan.
“Saatnya
mengucapkan selamat tinggal.” Aku bangkit dan mengibaskan pasir di pakaianku,
aku berjalan, tak berbalik tak ingin lagi melihat sesuatu yang tertinggal di
belakang…musim panas itu takkan pernah sama…musim panas terbaik, musim panas
terburuk, saat aku jatuh cinta, saat pertama mulai membuka luka.
Aku
tahu sekarang kemana harus pulang, ya… ke hati orang yang memberiku banyak rasa
sayang, seseorang yang akan menyongsongku ke masa depan. Seharusnya aku tahu
pada akhirnya aku hanya akan kembali ke jalan yang mengantarku pulang pada Nino
tunanganku. Dan Lanang hanyalah seseorang di musim panas terbaikku yang harus
kusimpan dalam kotak kenangan di sudut hatiku.
seru ceritanya,,
BalasHapusyaa perbedaan memang selalu ada dan ga bisa di hindari
perpisahan bisa jadi opsi paling bijaksana walau tak mudah
Hapus