Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 10 Mei 2012

The Proposal




Ada dua wanita dalam hidupku; seseorang yang kucintai, dan seseorang yang akan kunikahi
***
Aku baru saja akan memencet bel saat pintu itu menjeblak terbuka.
     “Aku mendengar suara mobilmu” suara renyahnya menyapa telinga, senyum manisnya memanjakan mata, itulah sebabnya aku jatuh cinta padanya, tapi…otakku langsung membuatku tak yakin manakala otakku menampilkan sosok gadis lain, yang berbanding terbalik dengan gadis yang ada di hadapanku. Gadis di otakku, pasti akan membiarkanku menunggu beberapa lama di depan pintu, dan setelah dia membuka pintu dia akan berkata “aku senang membuatmu menunggu, pria yang baik adalah pria yang mau mengorbankan sedikit waktunya untuk wanita yang dicintainya

          “Hey, mau masuk nggak?” dia bertanya lagi, lalu berbalik, berjalan di depanku dalam langkah ringan, kaki rampingnya telanjang dan menimbulkan bunyi menyenangkan saat menyentuh lantai kayu rumahnya.
Aku suka mengamati sosoknya dari belakang, dia tak terlalu tinggi, cukup ramping walau sedikit berlemak di beberapa tempat, dia memakai kaos longgar berwarna Orange cerah yang di bagian bahunya agak melorot dan memperlihatkan kulit kuning langsatnya, kaki jenjangnya juga terlihat sempurna, dia cuma memakai hot pants jeans yang digunting begitu saja dari skinny jeans panjang lamanya, dalam jarak yang tak terlalu jauh, aku masih bisa mencium aroma tubuhnya wangi Vanilla yang menggoda, walau aku lebih terbiasa mencium wangi Jasmine yang feminime yang tercium dari tubuh gadis yang akan menemuiku di malam minggu seperti ini dalam balutan lace dress berwarna hitam, dengan rambut di angkat ke atas yang menampilkan leher jenjangnya, dia gadis yang membuat stiletto dan push up bra berfungsi sempurna ditubuhnya, dia yang berprinsip “beauty is pain” berbanding terbalik dengan motto “beauty comes from within” gadis di depanku.
          “Hari yang berat?” dia bertanya, setengah berteriak, sekarang dia berada di dapur yang tak begitu jauh dari tempatku. Aku memilih melepas jas-ku, menghempaskan diri di sofa yang menghadap ke TV plasma yang tak dinyalakan, sepertinya sebelum kedatanganku, dia sedang menikmati buku Into The Wild dan musik dari IPod-nya yang kini sedang memutar lagu Jenny Don’t Be Hasty-nya Paolo Nutini.
“Yeah, aku benci berakhir pekan di kantor, ada hal yang harus dikerjakan!”
“Secangkir kopi akan membuatmu lebih baik” dia tau apa yang kubutuhkan, aku memang membutuhkan kopi saat ini walau ketika aku menghadapi hari yang berat gadisku yang satu lagi akan menyuguhkanku dengan secangkir Chamomile Tea .
Stress?” sambil meletakkan cangkir kopi di meja, dia memandang jauh ke dalam mataku, aku suka caranya menatapku, agak lama lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, sedikit berbeda dengan pandangan menggoda malu-malu gadisku yang satu.
Aku mengangguk pelan, dia duduk di sampingku dan menyentuh tanganku.
“Siap mendengar ceritamu…” aku merasakan lembut jarinya di jariku.
Sayangnya aku tak siap untuk bercerita “bukan waktu yang tepat” kataku cepat “kurasa…”tambahku lagi, agak tak yakin, kuharap aku tak mengatakan hal yang salah hingga membuatnya terluka, tapi dia malah tertawa, aku lupa, gadis di depanku berbeda, bukan gadis berhati selembut marshmallow-ku.
“Sudahlah!” dia masih mengamatiku, kupikirkan dia dapat merasakan kekhawatiranku. “Hmmmmm….kamu tau?” dia memainkan dasiku, melonggarkannya, melepas kancing teratas kemejaku lalu mengacak-ngacak rambutku “Hey…I love your messy look” ekspresi yang ditampilkannya nyaris sama seperti ekspresi yang ditampilkan gadis lainku saat mengucapkan “Aku suka melihatmu rapi setiap waktu ”saat mengatakan hal itu, dia pasti akan merapikan kerah kemejaku.
“Hmmmm… aku ingin bicara” aku mengatakannya dengan ragu-ragu, sambil menyentuh kotak beludru kecil berisi cincin berlian yang ada di saku celanaku, yeah sudah saatnya untuk memilih satu diantara mereka, sudah kutentukan pilihanku.
“Tunda dulu, sampai dinner kita usai” dia bangkit dari sampingku, dan melangkah dengan semangat kembali menuju dapur “Aku baru saja memasak sesuatu, entah apa aku menyebutnya, rasanya cukup enak dan pedas, takkan membuatmu sakit perut, percayalah, aku mencampurkan, ayam dengan bawang Bombay dan bawang merah, serta banyak cabe dan asam jawa, aku mencampurkan apa yang ada di dapurku hahahaha” dia tertawa seakan apa yang dikatakannya konyol, aku tau masakannya selalu memanjakan lidahku, hal berbeda dengan gadisku yang kutau hanya ahli memilih Resto yang tepat untuk makan malam.
“Aku juga masak cah kangkung, sama udang goreng tepung hmmmm mau dibikinin sambel terasi?” dari balik dapur dia teriak lagi.
“Boleh” jawabku cukup keras untuk di dengarnya. Sambel terasi, kesukaanku, sesuatu yang dibenci gadis dalam pikiranku sekarang, karena wanginya bukan menambah selera makannya tapi justru merusak, dia tumbuh dengan makanan Western, bukan selera sederhana Indonesia, itulah yang kadang membuatku terintimidasi.
***
Kami menikmati makan malam dalam diam, berkali-kali aku menarik nafas dan menghelanya, sungguh aku merasakan keanehan, deg-degan yang menyiksa, kuulangi lagi menyentuh kotak mungil di sakuku, makin menambah pacu jantungku. Aku hanya hendak melamar, bukannya menuju medan perang.
Saat  hidangan terakhir, Pudding Susu Vla Mangga, hanya tersisa setengah akhirnya au memutuskan inilah waktunya.
“Sashi…”aku hendak mengatakannya tapi degup jantungku yang terlalu keras tiba-tiba saja menggugupkanku. “aku…hmmmm…aku…” aku memandang wajah Sashi yang bertanya-tanya, sementara aku masih berusaha untuk mengatakannya, pada akhirnya aku menyerah menunjukkannya dengan kata-kata, aku tau komunikasi verbal bukan kelebihanku, jadi, aku mengeluarkan kotak mungil berwarna merah itu, mata Sashi berbinar saat menatapnya.
“Elman?” dia setengah tertawa, setengah terkejut.
Aku mengangguk
“Ayo… coba pasangin di jariku” ada senyuman lebar di wajahnya, ada binar bahagia di wajahnya, juga suara renyahnya sekarang terdengar lebih bersemangat. Dia menyodorkan jarinya, aku menyentuh tangan lembutnya, ada rasa aneh saat aku menyentuh tangannya, dia tersenyum menatapku, seandainya gadis yang di depanku adalah Amelia, bukannya Sashi, dia pasti menginginkan ada lagu favorite-nya yang diputar  dan ada sebotol Wine, untuk merayakannya kemudian.
Aku memasang cincin itu di jari manisnya, sayang…cincin itu kekecilan, hanya tertahan di ruas kedua jarinya, aku menggeleng, menatapnya penuh penyesalan, dia tersenyum. “Congrats El!” dia bangkit dan mencium pipiku sekilas, ada tawa bahagia, dan saat itu akulah yang justru merasakan patah hati.
“Kamu dan Amelia, sempurna bersama, aku bahagia untuk kalian berdua, ayo pulang dan pasangkan cincin cantik ini dijarinya.” Dia masih bersemangat dan kali ini bahagia seperti menguap dari tubuhnya.
 “Sas?” aku tak percaya, Kenapa dia begitu bahagia? bagaimana bisa dia bahagia untuk sesuatu yang kuharap akan membuatnya menderita? Harusnya dia sedikit terluka, setidaknya…setelah apa yang terjadi diantara kita, kupikir seharusnya dia mungkin agak kecewa, dengan begitu aku mungkin bisa membatalkan segala rencana.
Okay…wish you luck!” dia malah mengambil jasku dan mengantarku ke pintu, “jangan lupa rekomendasikan aku pada Amel, untuk jadi pengiring pengantin.” Setelah pintu itu tertutup, ada penyesalan di hatiku, seandainya aku mengatakan pada Sashi bahwa sejak dulu aku mencintainya, seandainya sejak dulu bahwa hubungan diantara kita tak lebih dari persahabatan, mungkin cincin ini akan terpasang dijarinya, bukan di gadis yang sekarang akan kutemui.


gambar : Google

2 komentar:

  1. Thanks! Follow me if you would like to catch up with me. :) I see you like writing story but too bad I'm not so well with your language.

    Take care.

    BalasHapus
  2. Sebuah pilihan yang sulit saat menghadapi saat itu... butuh lebih dari sebuah ketegaran cinta untuk menghadapinya
    salam kenal yah

    BalasHapus