Date a girl who reads

Date a girl who reads

Jumat, 25 Mei 2012

Venus And Mars (16)


Seandainya ini seperti pertemuan teman lama, maka kejadian tak secanggung ini, tapi ini adalah pertemuan tak terduga dengan orang yang kutemui begitu saja dan kupikir takkan kutemui lagi.
Well, terima kasih” Alfredo menatapku, ada rasa tak nyaman saat matanya bertemu pandang dengan mataku.
“Untuk apa?”
“Karena telah membawa matahari bersama dengan kedatanganmu” sebuah kiasan yang tak kumengerti, dia mencium tanganku, bersikap sopan dan gentleman adalah salah satu daya tarik laki-laki, tapi kini, aku tak ingin membahas hal ini lebih jauh lagi.

“Aku datang untuk menyerah” aku sungguh putus asa.
Dia tertawa sopan, seakan ini lelucon yang perlu ditertawakan.
“Aku senang bertemu lagi denganmu…dan mungkin saja …kita bisa mengulang pengalaman liburanku dulu.” Dia mengamatiku yang berdiri kaku.” Tak mengira bertemu lagi denganmu…dan…”gaya bicara pelan dan diperlambat.
“Bisakah kita menyelesaikan masalah ini secepatnya?” aku sungguh tak sabaran.
“Satu-satunya masalah di sini adalah…bagaimana bisa mimpiku semalam tadi langsung menjadi nyata di pagi hari? dan demi kesopananku, izinka aku untuk mengundangmu sarapan” dia menggandeng tanganku, dan membawaku keluar dari rangan itu menuju taman belakang, di sana seorang pria yang kuyakini sebagai Mongardini senior telah menunggu.
***
“Putri De Lancey yang fenomenal” bicara dalam nada datar yang misterius, suara beratnya nyaris terdengar sama dengan suara Alfredo. “Duduklah…aku yakin tidak ada satu orangpun yang menolak untuk sarapan bersama Mongardini, apalagi jika kepala mereka berada di bawah ancaman pistol”
Alfredo menarikkan kursi untukku. Mau tak mau aku duduk di sana.
“Silahkan nikmati sarapanmu nona muda”Alfredo berbisik di telingaku dengan nada menggoda, aku merasakan bibirnya menempel di daun telingaku.
Mongardini menuangkan kopi untukku.
“Minumlah…tak beracun”Alfredo melemparkan pandangan menggoda dari ujung meja. Sejujurnya aku membutuhkan kafein, jadi bukan ide buruk jika aku mulai menyesapnya
“Turut berduka cinta yang sangat terlambat…untuk ayahmu…sahabat lamaku…”kali ini Mongardini bicara sambil mengeluarkan asap cerutunya.
“Terima kasih”
“Apakah…kau harus bersikap seformal ini untuk sahabat lama ayahmu? Bersikaplah seakan kau adalah ….putriku” dia menatapku lama “Kau…secantik ibumu….” Pada saat dia berbicara entah mengapa air matanya menggenang. “Semoga dia damai di surga.”
***
         
“Terkejut melihatku di sini?” Alfredo menatapku, sekarang dia berdiri di depanku di halaman belakang puri Mongardini. Nyaris tak ada jarak antara diriku dan dirinya sekarang, ujung hidung kami bersentuhan. “Oh…apa yang harus kukatakan?” wajahnya menjauh, alis kanannya naik dan dia menampilkan ekspresi serius yang sedang berpikir keras.
          “Apa yang kalian inginkan?” aku memberanikan diri bertanya, saat ini hanya ada aku dan Alfredo.
          “Mungkin berlibur di pulau pribadi, bersamamu” dia menyentuh pipiku. “Lihatlah dirimu” dia menelitiku “Siapa yang mengira…bahkan akupun tidak, tapi kembali ke New York dan melihat wajah sedihmu di halaman depan Koran pagi dalam liputan kematian ayahmu, sungguh “ dia berdecak “Antara percaya dan percaya, kau gadis itu?…gadis yang menari bak penari striptease yang kutemui di club lokal ternyata…gadis yang menjadi…” sekarang jarinya bermain di bibirku “Aku suka penampilan eksotismu…I miss my one night lover…anehnya…” dia tersenyum padaku yang ketakutan.
          “Apa yang kalian inginkan?” aku frustasi dan merasa dipermainkan.
          “Mongardini…menginginkan hal yang sangat berharga…”dia mengecup pipiku sekilas, aku bergidik.
          “Bunuh aku sesegera yang kalian bisa” aku memberanikan diri untuk mengatakannya.
          “Aku bisa mengirimkanmu ke neraka segera…tapi…bukan itu yang kami inginkan…atau…yang aku inginkan… taukah kau…betapa mudahnya membodohi Mongardini tua dan membuang jauh Mongardini muda? Serta mendapatkan bonekanya…” dia menatap mataku lama tanpa kedipan, seakan iris matanya yang berwarna hijau kebiruan mengirimkan mantera pada mataku yang pada saat itu begitu ingin kupejamkan. ”Bonekaku…” dia tertawa sambil membelai wajahku. Aku ketakutan.
          “Aku tak mengerti.” Aku berbisik lirih.
          “Dalam hidup ini, ada hal-hal yang tak harus kita mengerti…hanya perlu dijalani. Memikirkan bagaimana cinta dan benci menggerakkan dunia…bagaimana kesalahan berasal dari ketololan, bagaimana menciptakan kejahatan dari sebuah kebohongan” dia memainkan ujung rambutku dan mengecupnya. “Taukah kau…betapa mudahnya menggenggam hidup, membagikan peran untuk para budak yang otaknya telah kumanipulasi?” dia terkekeh. “Pilihanmu tak banyak, sayang…” dia mengecup bibirku pelan. Aku memejamkan mata, bahkan rasanya sepahit luka. Aku ingin bicara tapi tak punya kuasa untuk membuka suara.
          “Dengarkan aku!” dia berbisik “Mudahkan aku untuk memainkanmu…Marionette-ku….atau kau lebih suka mati terkoyak seperti domba tercabik serigala?” dia terkekeh, wajah tampannya seperti monster yang mengerikan.
          Aku hendak bicara tapi yang terdengar hanya gemuruh nafas dan debaran jantungku yang begitu keras.
          “Violetta De Lancey… baik buatmu untuk bersedia menjadi bonekaku…ikuti mauku…”
          “Apa yang harus kulakukan? bukankah lebih mudah membunuhku dan menghilangkan rasa takutku?” aku memberanikan diri bicara, suaraku yang bergetar sungguh terdengar begitu menyedihkan, tapi kutau rasa iba tidak ada dalam hatinya…oh…tapi monster tak punya hati.
          “Mongardini tua tak pernah mengirimkan perintah untuk menembak mati putri De Lancey, dia hanya meminta untuk membawa putri De Lancey ke purinya, padanya, entah untuk apa…Namun, sungguh polos dan patuhnya Mongardini muda, saat pesan dari ayahnya dia telan mentah-mentah… Tak pernah dia tau bahwa aku mengubah pesannya, aku ingin dia gagal, dan yeah dia gagal, dia tak membunuhmu! Dia merasa bersalah karena tak patuh pada perintah ayahnya, lalu menghilang seperti pengecut, membawamu serta” dia berbicara dalam nada yang mengalir, begitu mudahnya dia berbicara seakan dia membicarakan hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan nyawa. Oh Tuhan tragedi itu nyaris menewaskan Emile. ”Aku tak pernah menduga … bahwa dia takkan tega membunuh seorang wanita …” Dia terkekeh “Mongardini kecil yang payah, alih-alih membunuhnya seperti mauku dia malah jatuh cinta pada korbannya “ matanya membelalak padaku “ Gadis murahan sepertimu?” tawa mengejeknya membuatku seolah tak berharga. “Katakan padaku, apa yang terjadi diantara kalian? Ada kisah cinta seperti apa? Mengingat adik bodohku itu nyaris tak pernah berhubungan dengan wanita! Sungguh terkejut ketika kutau dia pada akhirnya jatuh cinta pada gadis yang seharusnya dia bunuh”dia tertawa makin keras ”Sungguh lelucon bodoh” dia menggelengkan kepala antara percaya dan tak percaya “Katakan padaku Violetta!”nadanya dingin dan dalam, tak sesuai untuk wajah tampan menawannya.
          Aku tau ini tak mungin bisa dijelaskan dengan mudah, sebuah kisah cinta singkat di saat Massimo membawa lari tawanannya. Takkan ada yang percaya tentang kehidupan lalu apalagi tentang reinkarnasi dan segala yang terjadi diantara aku dan dia. Kisah Venus dan Mars akan terdengar seperti dongeng bodoh.
          “Rupanya kau mendengar pemberitaan media massa yang memang punya indera setajam anjing pelacak…Akupun bingung bagaimana bisa mereka mencium kisah cinta diantara kami? Well, kami di pondok kecil di tengah hutan…”Aku mencoba menjawab dalam nada biasa, aku tak ingin lagi frustasi dan takutku membuatnya merasa berkuasa.
          “Kudengar setelah para polisi menemukanmu, para wartawan menggeledah pondok itu dan menemukan banyak bukti romantis di sana, kurasa salah satu kondom bekas tertinggal di sana” dia terkekeh “Oh….mungkin kalian meninggalkan banyak lilin beraroma lavender sisa candelight dinner?”
“Oh…” aku memutar bola mataku “Aku mencium ada sibling rivalry di sini” aku mencoba menggunakan nada mengejek, aku puas saat suaraku terdengar cukup sempurna saat aku mengucapkannya.
          “Apapun yang kau katakan, aku hanya ingin satu…tujuanku tercapai. Kehadiranmu di sini akan menjadi magnet untuknya pulang…”Dia berbicara pelan dan sedikit tak yakin. “Awalnya aku hanya ingin dia gagal dalam bertugas, dan yeah dia gagal total, tapi …untuk kali ini, ketika kesempatanku datang…Kau yang adalah umpanku, justru membawa dirimu sendiri untuk menyerah…Sekarang aku tak ingin menggagalkan rencanaku sendiri. “Senyum culas menghiasi wajahnya.
          “Apa yang akan kau lakukan?”Aku menantangnya.
          “Mau mempertaruhkan orang lain untuk keselamatanmu?”Penawaran ataukah ancaman?
          “Apa maksudmu?”Kecurigaan mulai merasukiku.
          “Aku tau kau sebatang kara…tapi kau juga punya perasaan yang berharga, jika kau mati muda, itu terlalu mudah, tapi jika aku membunuh klan Weingarden karena aku tak berhasil menjinakkan kepalamu  apakah kau cukup tega?” jarinya bermain di wajahku, tatapan matanya mengintimidasiku.
          Aku masih tak mengerti apa yang dikatakan suara merdu yang berasal dari lidah iblis ini.
          “Sudah cukup dia mendapatkan seluruh cinta ayahku sejak kecil dulu, sudah cukup tahta Mongardini buatnya. Aku bahkan nyaris tak dianggap dalam keluarga ini. Sayang…aku bukan sampah, untuk kali ini aku takkan mengalah, jika gadis yang kusukai juga mencintainya, aku takkan membiarkannya...baik buatmu untuk mengikuti permainanku. Bertunangan dan menikah, segera…dengan begitu Massimo akan menderita, buat adikku patah hati, buat dia membencimu, buat dia menderita sedikit demi sedikit. Demi aku, demi nyawamu, demi nyawa tak berdosa karenamu, dan juga demi nyawa adikku yang kau cintai, demi nyawanya yang berharga” Matanya seperti menghipnotisku hingga aku berencana untuk setuju melakukan apa yang Alfredo Mongardini ini mau.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar