Hidup menjebakku, dan kali ini
entah keberapa kali. Tapi jebakan awal yang paling kuketahui adalah aku terlahir
dari…bolehkah kukatakan bahwa wajahku terlalu metropolitan untuk tinggal di
kecamatan? sebenarnya aku terlahir dari keluarga dengan ekonomi tak memadai,
tapi bisakah dibayangkan, bahwa…wajahku anugerah yang Tuhan berikan, dengan
wajah rupawan, hidupku cukup dimudahkan, tapi kadang juga bisa menjebakku ke
dalam kesulitan. Seperti belakangan ini.
“Oh ya?” gadis di depanku
menunjukkan ekspresi skeptis, alis kirinya lebih tinggi, dan sekarang dengan
cepat dia menyesap kopinya. Kupikir kegiatan menyesap kopi akan menutupi
sebagian ekspresinya. Gadis didepanku memang memiliki alasan untuk tak percaya
di depanku.
“Jadi?” dia mengangguk “boleh
ganti topik yang tidak sensitif?”sebelumnya kami berbicara tentang aktivitas
seksualnya, namanya Amara. The girl next door. Kurang dari sebulan aku pindah
kos baru, dan tebak siapa penghuni kamar sampingku, cewek lajang yang kupikir
jalang. Apakah penilaianku salah? Saat ini pukul satu dini hari dan kami masih
saling berhadap-dan hadapan hanya dibatasi tembok sebatas paha dewasa yang
memisahkan kamarku dengan kamarnya.
Salahkah penilaianku karena gadis
itu hanya menggunakan camisole Fuschia dan boxer pelangi? Salahkah penilaianku
bahkan setelah semua penghuni kos yang semuanya berumah tangga pada tidur semua
dan dia tidak keberatan ngobrol denganku, dan tak menolak tawaran rokokku?
“Well, boleh dibilang aku
menjebak diri di kecamatan kecil ini. Mendaftar sebagai PNS, bekerja menjadi
guru?” dia menunjukkan ekspresi terkejut pada pernyataannya sendiri. “Apa kamu
lihat aura pendidik ada pada wajahku?” dia tertawa renyah lalu menghisap
rokoknya dalam, tak beberapa lama dia meniumkan asapnya dengan menggoda ke
wajahku. “Aku bekerja karena butuh duitnya, untuk membayar sewa atas tempat
kecilku di dunia, untuk pengendali sifat liarku, minimal profesiku bisa menjaga
citraku, hey bukankah nyaris semua kita punya latar belakang yang sama? Siapa
yang mencintai pekerjaannya?”
Aku mengangguk. Dia benar,
bedanya dia berasal dari kota dan memilih terjebak di desa kecil untuk bekerja,
sementara aku memilih bekerja karena di desa asalku malah tak punya Puskesmas
yang bisa memperkerjakan profesiku, sebagai Analis.
“Hidupku tak mudah” dia bicara
lagi “Korban broken home, kenakalan apa yang tak kulakukan?”dia menatap kosong
seolah penglihatannya digunakan untuk memutar kenangan yang pernah dialaminya.
“Hanya satu hal yang tak ingin kulakukan, menyerahkan virginitasku! Ayahku
menikahi ibuku karena dirahim ibuku ada bayi malang yang adalah aku, dan
sepanjang perkawinan akulah yang menjadi alasan ayahku terjebak dalam lembaga
yang disebutnya sebagai penjara.” Dia menggeleng pelan, menarik rokoknya dan
menghembuskannya cepat. “Aku pernah masuk rehabilitasi, aku menghabiskan banyak
pesta di malam hari tapi untuk satu hal itu? aku tak ingin diperalat hormon
horny-ku.” Dia menatapku lurus. “Kamu?”
Aku hanya bisa tersenyum. “Apa
yang ingin kamu tahu?”
“Jika kamu ingin meneruskan topik
maka bicara sesuai topik tapi jika tidak, aku ingin tahu latar belakang
ketertarikanmu menghabiskan waktu denganku?” dia berbicara cepat.
“Yang pertama, tidak seharusnya
seorang gadis di luar sendirian”
“Oh” dia mengangguk-anggukan
kepalanya dengan malas.
“Yang kedua, aku ingin
menemanimu.” Kataku lagi
“Alasan diterima, tapi
dimalam-malam biasa aku hanya ingin menikmati kopi dan malam hari, sendiri.”
Dia berbicara dengan tegas.
“Tidak merasa sepi?”
“Justru di saat begini aku bisa
berkawan dengan diri sendiri”
“Bagaimana dengan kekasih?”
Dia menatap ke langit-langit
terasnya. “Akan kukatakan padamu saat aku membutuhkannya. Bagaimana denganmu?”
Aku memilikinya, tak hanya satu.
“Ada seseorang, pilihan orang
tuaku.”
Tawanya pecah, matanya menatapku
tak percaya, seolah aku baru mengatakan satu lelucon tak masuk akal, dan
segalanya memang tak masuk akal.
“Dengan tampang seperti model
pakaian dalam Calvin Klein” ekspresinya mengejekku. “Kamu bisa mendapatkan
gadis manapun, dan juga…”dia bersiul “tak berminat bermain-main dengan…”
Gadisku perempuan sederhana, yang
secara konvensional akan berfungsi dengan baik di dapur, sumur, dan kasur.
Berbanding terbalik dengan perempuan muda di hadapanku. Jika gadisku berwajah
cantik alamiah maka gadis di depanku cantik karena pada dasarnya dia memang jelita
dan juga dia memiliki otak cerdas dan kepercayaan diri yang tak diragukan lagi.
“Dengan apa?” aku bertanya.
“Menurut kamu bagaimana kans
kemenangan Jerman atas Belanda besok? Mengingat Belanda di pecundangi Denmark”
dia mengalihkan pembicaraan ke pertandingan piala Eropa. “Kenapa kita tak
menonton bola saja? Yunani dan Ceko kurasa memang tidak terlalu menarik.” Dia
menghisap rokoknya yang adalah hisapan terakhir sebelum akhirnya dia
mematikannya di asbak hasil prakarya seni siswanya.
“Kamu mendengarnya?” aku bertanya
“Yeah dari berita siang tentang
prediksi, kau tahu komentator berasa jadi orang paling tahu bola, turunkan
mereka ke lapangan, aku berani mempertaruhkan rambut panjangku jika mereka
mampu mencetak sebuah gol.” Dia memutar bola matanya.
“Bukan itu!”Nada suaraku cukup
tinggi.
Dia tersenyum. “Kalau begitu kita
ganti topik saja, bagaimana dengan musik? Kamu suka Bon Jovi kan?” aku
mendengar kamu memutar All About Lovin’ You berkali-kali pagi tadi! Itu salah
satu lagu kesukaanku, setelah I Don’t Wanna Miss A Thing-nya Aerosmith” Dia
menunduk untuk mengambil gitarnya lalu mulai memetiknya dan bernyanyi lirih,
dia menyanyikan bagian Reff-nya. “Everytime I look at you, baby, I see
something new. That takes me higher than before and makes me want you more. I
don’t wanna sleep tonight…dreamning just a waste of time.”
“Jadi, pertanyaan sepotongmu akan
kuperjelas, berminat bermain-main dengan
wanita bersuami? Yah! Mereka benar, aku memperlatnya untuk uang, petani
miskin seperti orang tuaku perlu bantuan anak tertuanya untuk menyekolahkan
adik-adikku dan wanita itu perlu seseorang untuk mengatasi kesepiannya, jadi …”
saat aku berbicara dia berhenti memetik gitar dan bernyanyi. Matanya menatap
dalam ke mataku. “Berita terbarunya, aku lebih tertarik mengejar gadis
lainnya.”
Aku berdiri , dia mendongak
menatapku, lalu secara alamiah aku menuduk dan tanganku membelai pipinya yang
lembut. Wangi Jasmine memanjankan hidungku, beberapa helai rambut
bandelnya menyentuh punggung tanganku,
dan aku menyentuh bibirnya dengan bibirku. “Jika tidak hati-hati, kamu bisa
membuatku jatuh cinta padamu.” Dan setelah itu aku berbalik meninggalkannya
sendiri, membiarkannya berkawan dengan sepi , membiarkannya menikmati kopi dan
malam hari.
Sumber Gambar :
http://dailyshotofcoffee.com
Kadang kesendirian juga membuatku merasa tidak kesepian... karena kesendirian mengajarkanku untuk menilai diri sendiri
BalasHapusyups setuju :)
Hapus