Aku
menguap dan berharap mencium wangi Teh yang menenangkan. Kubuka mata dan
menatap sekitarnya. Kecewa, hanya kamarku
yang seperti biasa. Aku bangkit dan tersadar, hei Leon kau telah tiba di asrama! Namun aku masih ingin meyakinkan
diri―setidaknya
berpura-pura, bahwa aku masih ada di sana, di sebuah kamar sederhana berdinding
kayu tua. Lebih dari segalanya aku merindukan gadis yang akan mengucapkan
selamat pagi dengan senyum manis dan secangkir Teh di tangan mungilnya yang
gemetaran.
“Selamat pagi” aku mengucapkan dalam
bahasanya, bukan Guten Morgen,
seperti bahasa sehari-hariku. “Liburan telah usai saatnya menghadapi kehidupan
nyata!” aku bicara pada diri sendiri, salah satu pengaruh buruknya yang
menulariku, gadis itu sering bicara sendiri, tidak, bukan bicara dia sering
bersenandung, lagu-lagu lama.
“Hey” sapa Pierre, dia bahkan tak
menatapku. Terburu-buru menyambar dasi dan mengancingkan kemejanya. “Aku pergi.”
dia teman sekamarku. Kuhampiri wastafel, mencuci muka, menggosok gigi dan
kuhadapi realita, aku kembali ke sekolah, mencerdaskan otakku, untuk bekal mendapatkan
pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Kumpulkan
uang sebanyak mungkin dan kau akan kaya! Sebuah nasehat dari seorang
kapitalis, yeah ― ibuku. Uang? Sesuatu
yang terdengar seperti lelucon, gadis itu malah menertawaiku dari dalam otakku,
manusia tidak membutuhkan uang, manusia butuh bahagia. Bekerja karena kau
mencintainya, dan kerjakan segala yang kau cinta. Sederhana. Hey gadis, kupikir kau harus enyah dari
otakku sekarang juga! Tapi sebelum dia menghilang, sekilas aku menangkap
senyum manisnya.
***
Sekolah membuatku menggila, meja
belajar membuatku jengah, karena di penuhi tumpukan kertas, menara dari buku tebal berdebu, tugas yang
harus diselesaikan, komputer tablet ―dengan
fitur game yang tak pernah tersentuh,
hanya berisi beban untuk otak dan masa depan. Aku memutar kursiku hingga aku
pusing, kuhadapi layar komputer untuk menyelesaikan proyek sainsku. Ilmu
pengetahuan tak lagi menutrisi otakku, aku seperti di terror! Aku merindukan
matahari dan udara bersih, aku merindukan pagi dengan aroma wangi dan senyum
berseri…otakku…kehilangan fungsi, karena menampilkan sosok gadis itu,
lagi-lagi.
***
Pekan ini begitu menyiksa dan aku
bersyukur aku masih punya waktu untuk menghirup udara. Sabtu ini aku harus
mengunjungi ibuku. Aku rindu! Apakah begitu? “Tidakkah kau merindukan ibumu?” Gadis itu pernah bertanya padaku,
yah dengan ekspresi wajahnya yang malu-malu, waktu itu baru dua Minggu aku
meninggalkan Swiss untuk mengunjungi pulau Balinya yang indah. Aku terbiasa
terpisah dari ibuku, karena aku tinggal di Bern dan beliau berada di Zurich dan
kadang lima sampai enam bulan aku bahkan tak menemuinya. Apa rindu itu perlu?
Tapi gadis itu…kenapa begitu banyak dia mengubahku?
Sambutannya hanya hangat, seperti
biasa. Aku memeluk dan mengecup kecil pipinya “Apa kabar?” Kutatap wanita yang
memiliki rambut dan mata yang sama denganku.
“Seperti yang kau lihat!” ibuku
tersenyum, aku duduk dan lama kutatap ibuku. Ibuku, menatapku, sebelah alisnya
meninggi. Aku tertegun, teringat si gadis itu lagi, ketika dia berjumpa dengan
seseorang yang entah siapa tapi dia selalu berkata…keluarga teman, keluarga teman…apa dia begitu populernya dan
keluarganya tak henti beranak pinak? Gadis itu selalu mencium tangan
orang-orang yang lebih tua darinya, meraih tangan siapa saja lalu meletakkan di
keningnya. Sangat santun. Kuhampiri ibuku, dia menatapku, lama dan…”Kau
kenapa?”
“Aku hanya ingin tahu” aku mengangkat
bahu. “Begitu cara mereka menyapa di sana.” Aku merasa kikuk, rasanya aneh tapi
entahlah aku merasa hangat saat tangan ibuku menyentuh keningku.
Aku tersenyum pada ibu, beliau
membalas senyumku. “Sesuatu mengubahmu?“ seandainya ibu tahu apa itu, tapi
kuharap sebaiknya beliau tak perlu tahu.
***
“Senang dengan liburanmu?” Sebastian
menyapaku, dia dan Olivia baru saja tiba, mereka bertunangan saat aku
melewatkan liburanku di Bali, yeah mereka hebat, seandainya mereka juga tahu
betapa hebatnya kisah cinta yang baru saja kualami. A love story? This is not a love story. This is a story about love. Oh…
It was almost like falling in love. Oh aku tak yakin, baiklah bisa
dikatakan akulah yang menghancurkan kisah yang…Oh Tuhan! Menjadi remaja di era
seperti ini sungguh bukan anugerah yang mudah.
“Adik kecilku sudah dewasa” Sebastian
terkekeh dan senyum miringnya yang mengejek seakan seperti magnet yang
menarikku untuk meninju dan mematahkan hidung bengkoknya.
“Kau menggodaku? Maaf aku sedang tak
ingin diganggu, lagi pula aku bukan bocah kecil lagi, usiaku 17 tahun!” aku
mengacuhkannya dan memandang langit bulan Desember yang berwarna kelabu. Aku
benci Zurich di bulan Desember! Aku merindukan matahari dan udara Bali.
“Summer
fling, don't mean a thing, but uh-oh those summer nights” Olivia
bersenandung, yeah dia rekan yang baik buat Sebastian, harusnya aku tak
mengikuti permainan mereka, tapi yeah…
“She’s
not my summer fling! Oh c’mon!” aku putus asa, aku menampilkan tatapan
memohon pada ibu, tapi ibu lebih suka melihat aku dibantai oleh saudaraku dan
tunangannya!
“Ceritakan tentang gadis tropismu!”
ibu malah memulainya. “Ayahmu bahkan bercerita bahwa gadis itu menatapmu seakan
kamu seorang superhero” ibu
menggeleng-gelengkan kepalanya, baiklah putra bungsunya tak punya kekuatan super! Tapi bukan berarti bahwa apa yang
kualami layak dijadikan bahan ledekan.
“Apa dia punya kulit cokelat alamiah?”
Olivia menatap kulit pucat seakan ingin membandingkan dengan kulit gadis yang
hanya dikenalnya melalui cerita. “Aku selalu ingin memiliki kulit cantik hasil
sengatan matahari, bukan kulit tanning
buatan yang membuat kulitku berwarna orange!
Aku merasa seperti sebatang wortel!” aku ingin tertawa, tapi sialnya aku
kehilangan selera humorku yang lama, oh ini pasti karena cinta!
“Ayahmu bilang, gadis itu bahkan menciumnya
di bandara” Seharusnya ayah tak perlu memberitahu ibu ! Dan tawa cekikikan
wanita membuatku terserang malu yang teramat parah, wajahku pasti memerah.
“Seharusnya aku juga pergi menemui ayah sehingga aku bisa
memacari gadis eksotis yang seksi!” kali ini apa yang Sebastian katakan membuat
Olivia naik pitam, tapi senyum konyol Sebastian membuat amarah Olivia mencair
dengan segera.
Belum kukatakan bahwa kedua orang tua
kami berpisah? Baiklah, ayah kami tinggal di Bali, dia seorang pelukis dan Bali
memberinya banyak inspirasi, beliau tinggal di Ubud, bertahun-tahun tak bertemu
dengannya dan ini kali pertama aku mengunjunginya dan yeah inilah yang
kudapatkan dari kunjunganku beberapa minggu lalu.
“Begitu menyakitkan…” aku menghela
nafas dan berbisik, lebih daripada diriku sendiri.
“Yeah menjadi bahan ledekan memang
begitu menyakitkan” Sebastian terkekeh, tawanya aneh!
“Bukan itu…” mungkin aku harus
menyerah terhadap olokan dan membicarakan ini sebagai hal yang wajar, hal yang
memang terjadi pada semua orang, jatuh cinta memang untuk siapa saja, jatuh
cinta adalah proses yang mengantarkanmu ke jalan menuju fase dewasa, jadi
kenapa tidak kukatakan saja apa yang kualami.
“Jika bukan itu? lalu?” sebelah alis
Olivia terangkat!
Aku bangkit dari sofa, meraih cokelat
hangatku lalu melangkah ke teras, aku tak tahu harus bagaimana.
“Maaf, aku tak bermaksud” Olivia kini
berdiri di sampingku, kami memandang jalan yang mulai memutih, salju mulai
turun. “Bagaimana liburanmu?” Olivia menatapku, aku pura-pura menyesap cokelat
hangatku.
“Kau marah? Leoooooooooon?” suara
Olivia terdengar manja.
Aku mengangkat bahu dan menghela nafas
lalu menatap wajahnya, kupikir aku bisa bercerita pada Olivia, aku menengok ke
belakang menatap Sebastian dan ibu, mereka sedang berbicara dan pembicaraannya
cukup penting karena Sebastian tak lagi menampilkan senyum konyol di wajahnya.
“Too
sweet beginnings and bitter endings” aku menghela nafas panjang, aku
memulai dan mengakhirinya dengan cepat!
“Khas para lelaki, mereka tak bisa
bicara banyak, benci detail dan mengatakan apa yang penting! Lelaki bukan teman
bicara yang menyenangkan!” Olivia memutar bola matanya, dan itu ekspresi wajah
yang membuatku sebal.
“Kupikir wanita pendengar yang baik…”
aku memutuskan untuk berlalu dan mengurungkan niatku
“Oh…sorry…baiklah
aku akan mendengarmu little Romeo!”
hah! Lagi-lagi dia mengejekku! Dan bodohnya aku menghentikan langkahku dan
mulai berbicara.
“Aku menyesal Olivia, sungguh
menyesalinya” aku menggelengkan kepala perlahan.
“Kau patah hati?” dia bertanya.
“Bisa dikatakan remuk.” aku merasa
hatiku seperti keripik kentang yang digenggam begitu kuat.
“Aku tak mengerti, kupikir Bali
memberimu kisah cinta yang indah!” Olivia menatapku, wajahnya terlihat bingung.
“Entah bagaimana mengatakannya” aku
mengangkat bahu dan memandang jauh.
“Ceritakan dari awal”
“Kau tahu bagaimana perasaanku sejak
ayah dan ibu berpisah”
Olivia mengangguk, dia sangat
memahaminya, Olivia tahu benar apa yang menyebabkan perpisahan ayah dan ibu
kami, Sebastian menceritakan segalanya.
“Adalah siksaan untuk menghabiskan
liburan dengan seseorang yang menghancurkan hati ibumu”
“Dia ayahmu, Leon”
“Aku tak lupa, karena itu hanyalah
awalnya.” aku memandangnya tajam “Tapi setelah aku menginjakan kaki di sana,
segalanya berbeda, segalanya tak seperti apa yang ibu ceritakan selama ini.”
Aku memperbaiki ujung sweaterku yang
sebenarnya tak perlu kuperbaiki. “ Satu hal yang kupahami bahwa cinta saja tak
cukup.” Olivia tak percaya kata-kata itu keluar dari bibirku “Ayah tak pernah meninggalkan
ibu untuk wanita lain, ayah meninggalkan ibu untuk mimpi yang tak mungkin
terwujud bersamanya, kau tahu bagaimana ibu kami! “ibu adalah seorang pengusaha
dan tokoh terkemuka, sosialita kota Zurich yang selalu jadi sorotan. Olivia
mengangguk, tapi bibirnya tak mengucapkan komentar.
“Di sana, bersama ayah yang nyaris tak
pernah kukenal sebelumnya, aku menemukan keinginan terdalamku, aku menemukan
diriku yang sebenarnya. Aku melihat betapa sederhananya cara ayah bahagia,
betapa mudahnya jatuh cinta pada hal-hal yang alamiah! Tapi…lagi-lagi aku
terjebak pada pikiranku sendiri. Otakku dibentuk untuk mengikuti bahwa aku
adalah Leon Dominic Köpfli, bukan lagi atau bahkan tak pernah sebagai Leon
Dominic Sarbach yang sederhana. Aku membentuk diriku setangguh ibu dan tak
pernah tahu betapa samanya aku dengan ayah! Dan segalanya dimulai…saat aku
mengenal gadis manis polos bernama Chandra.” Aku berhenti sejenak untuk
memvisualisasikan tayangan ulang kenangan indah itu dalam otakku.
“Ayah memintanya mengajakku untuk
mengunjungi pantai, setengah hati kuturuti, dia terlihat bahagia dan berenang
dengan keanggunan bidadari lautan, tapi kakinya terluka terkena karang, entah
bagaimana aku menolong dan mengobati lukanya, dan yang kutahu setelahnya kami
begitu akrab, padahal seminggu sebelumnya aku mengacuhkannya. Dia putri seorang
teman lama ayahku, dia tinggal bersama ayah sewaktu-waktu, jika ayah perlu
sesuatu” ayahku memakai kursi roda, kakinya lumpuh, kecelakaan merenggut salah
satu fungsi organ terpentingnya.”Di pagi hari menyiapkan secangkir teh untukku,
membuatkan sarapan dan…tak mungkin bagi pemuda manapun untuk tak jatuh cinta,
aku tak ingin bicara tentang wajahnya, bisa dibilang dia jelita, dia dewi surga
tropis, tapi apa yang dilakukannya yang membuat dia terlihat sempurna sebagai
wanita.”
“Wajahmu berbinar saat bercerita
tentangnya.” Tidak dalam nada ejekkan, Olivia mengatakan dengan
sungguh-sungguh.
“Kupikir mudah bagiku untuk mengakui pada hatiku bahwa aku mencintainya,
yeah aku mengatakannya dan aku berhasil membuatnya jatuh cinta padaku, kami
menikmati kisah cinta yang manis tapi buzz!
Seperti meteor yang jatuh ke bumi dan meledak tiba-tiba! Segalanya berubah! Aku
memutuskan untuk mengubah segalanya!” aku menggeleng-gelengkan kepalaku, seakan
aku tak percaya sungguh bodoh perbuatanku itu.”
Aku tak mau hidup menderita tanpa pendidikan kelas dunia, tanpa barang
dan fasilitas mewah, aku tak ingin hanya hidup dengan matahari dan udara! Aku
tak ingin seperti ayah yang menyerah pada apa yang diinginkan hatinya dan
bahagia dengan cara yang menurutku salah, jadi hal bodoh kulakukan! Aku
mengkhianati hatiku, kuabaikan Chandra dan kubawa Laura di depannya,
kuhancurkan hatinya. Laura…gadis itu yang mungkin dimaksud ayah sebagai gadis
yang memandangku seakan aku seorang superhero. Laura gadis yang kutemui begitu
saja, dia gadis yang tahu siapa dirinya dan melakukan apapun yang
diinginkannya, jenis yang kau lihat di halaman majalah!”
Olivia memandangku dengan ekspresi
yang membuatku membeku.
“Aku tak tahu harus bagaimana, aku
takut menderita karena jalan yang salah, sementara aku telah menderita karena
ketakutan …dan juga kebodohanku.” Aku menatap lagit abu-abu.
“Kau tahu betapa bencinya aku pada
langit abu-abu kota Zurich!” aku putus asa dan ingin menyudahi pembicaraan ini.
“Yeah, aku tahu Leon…” dan Olivia
merogoh saku coatnya dan mengeluarkan
sesuatu, sebuah kado dengan kertas pembungkus yang terkoyak. “Sepertinya…kau
salah mengirimi oleh-oleh Balimu untuk kami, karena ini seharusnya untukmu.”
Aku meraih benda seukuran dua telapak tanganku dengan surat yang terselip di
sana, dan menyadari tulisan tangan yang tertulis rapi, kubaca dan kutahu ayah
pasti mengajari gadis itu banyak hal.
Jika ada yang
ingin kuberikan untukmu, itu hanyalah sekotak Crayon. . .
Untuk mewarnai
langitmu yang kelabu.
Dipagi hari. .
.kamu bisa mewarnainya dengan merah muda yah langit dengan matahari terbit
memang indah.
Disiang hari
buatlah banyak cahaya matahari dengan kuning keemasan dan campurkan juga biru
yang menenangkan.
Namun jika kau
ingin cuaca sejuk segar, kau boleh gunakan warna perak dan putih untuk cahaya
kilat dan hujan yang lebat.
Ada apa dibalik
hujan? kutemukan jawaban. . .mari gunakan semua warna yang kau punya, ciptakan
Pelangi. Pita indah warna-warni. Biarkan harimu berseri.
Dan senja
datang. . . ayo gunakan sang Jingga yang jelita, ucapkan selamat tinggal pada
bola cahaya raksasa.
Hari
menggelap?belum! mari kita torehkan Ungu dengan titik-titik cahaya . .
.selanjutnya kau boleh menghitamkannya, biarkan gelap menemani mimpimu tapi
jangan lupa simpan sebuah bintang díbawah bantal, bersama dengan kotak warnamug
. . . Esok warnai lagi langitmu dengan warna apapun yang kau mau. . .
Berjanjilah
jangan biarkan langitmu Kelabu
Olivia mengangguk, lalu menepuk bahuku
dan berlalu, tapi suaranya masih tertangkap telingaku. “Selamatkan hatimu” dan
yang kutahu, aku harus melepas zona nyamanku dan mulai menentukan arah
langkahku. Akan kutemui kembali gadis
yang ingin mewarnai langitku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar