Kami melewati banyak malam bersama. Namun yang pasti kenangan itu bisa dibukukan. Lembar demi lembar kenangan itu membentuk cerita dan menyentuh sisi emosionalku yang feminim.
“Aku hanya mencari
udara segar,” aku terkejut mengetahui seseorang berada di atap rumah kos berlantai
tiga yang baru kusewa.
“Sebelumnya tak ada
yang mau menghabiskan waktu di sini. Kalau kau mau kita bisa berbagi.” Dia
berbalik, hanya wajahnya bagian lain dari tubuhnya tertutup punggung sofa tua.
Dia bangkit mendatangiku, menjabat tangan dan begitulah awalnya mula pertemuan
kami. Nyaris lima tahun lalu.
Kami bersama hingga sekarang. Entah teman—walau
kata itu terdengar menyakitkan. Entah kekasih, itu terdengar sangat tak pasti.
Kami
memulainya dari berbagi tempat untuk menikmati malam. Berbagi sisi sofa tua yang
nyaman sambil menghitung bintang. Berbagi akhir pekan untuk menikmati kesepian.
Berbagi cerita, baik sedih juga bahagia, entah berapa banyak tawa dan air mata
yang kita bagi bersama. Hingga berbagi ciuman tak terencanakan yang
meninggalkan kecanggungan, awal dari terbukanya perasaan yang kuyakin sama-sama
kami simpan.
Namun, ada satu hal yang tak pernah kami bagi,
kopi. Kami menikmati kopi sendiri-sendiri. Aku menikmati kopiku dari mug mungil
kelinci lucu yang dibencinya, seperti aku membenci mug kopi Alien hijaunya.
Sayangnya
sekarang, tak ada lagi si mug kelinci. Salahkan dia dan sikap
kekanak-kanakannya. Marah, kesal, dan bersikap menyebalkan untuk menutup
kecemburuan hingga si kelinci malang pecah dan menjadi korban. Seorang teman
lelaki tak dibiarkan memasuki kehidupanku, betapa egois karena diapun tak
memberikan kepastian perasaannya. Bagaimanapun setidaknya sekarang aku tahu dia
mencintaiku lebih dari yang kutahu.
Lima
tahun kami bertahan. Ketika kesibukan kuliah berubah menjadi stres kerja kami
masih di sini walau penghuni yang lain datang, pergi dan berganti. Diantara
kami, memang tak ada yang ingin mengucapkan selamat tinggal dan lebih-lebih
menjadi yang ditinggalkan.
“Maaf,”
Wajahnya
melukiskan penyesalan mungkin maaf bukan jawaban. Lebih dari segalanya aku
butuh kepastian atas apa yang sama-sama kami rasakan.
Di
tangan kanannya tidak ada si Alien hijau, namun sebuah mug keramik berwarna
putih. Boleh kukatakan kenapa aku benci si Alien hijau? Karena si Alien hijau
bahkan menerima lebih banyak ciuman darinya.
“Mau
berbagi kopi?”
Kata-kata
yang pernah kunanti, tak percaya datangnya hari ini.
Aku
menerima dan menyesap kopi yang terasa lebih nikmat dari kopi-kopi yang pernah
kunikmati.
“Bagaimana
jika...” dia tak meneruskan kata-katanya tapi memberikanku selembar kertas.
Harusnya aku mengucapkan selamat, beasiswa S2 di Cambridge, salah satu mimpi
terbesarnya. Tapi yang ada aku terdiam, berharap air mataku tak pernah melewati
pipi. Kupandang langit malam agar pikiranku teralihkan.
Dia
meraih mug kopi di tanganku, menyesapnya lalu mengembalikan padaku. Aku
menyesap sedikit dan kembali memberikan padanya, beberapa kali kami memindahkan
mug itu. Hingga dia berkata.
“Kamu
yang harus menghabiskannya,” seperti perintah juga permintaan.
Kulakukan,
kuhabiskan hingga tetes terakhir dan terdiam melihat kalimat di dasar gelas.
Aku menatapnya tak percaya.
“Aku
takkan mewujudkan mimpiku jika tanpa kamu.” Suaranya lemah dan ragu.
“I do!” kujawab segera sebelum sesuatu
menggagalkannya.
Dia
memandangku tak percaya namun bahagia.Dia memutar mug-nya dan aku melihat nama
kami tertulis di sana. Indah. Di
antara gambar mungil gown and tux.
bagus ceritanya....
BalasHapuswalau tanpa nama...
keep writing, Citra.
makasiii ya mbak Phy udah sempatin membaca :)
HapusManis banget :)
BalasHapusterima kasih mbak Retno sudah nyempatin baca
Hapussalam :)
cok tatli. so sweet . :) keep spirit ya mbak. jangan berhenti menulis. mbak citra pernah bilang ke aku. jangan pernah harapkan hasil tapi nikmatilah dan lakukan yang terbaik sekarang :)
BalasHapusmasih ingat aja, yaps bener banget entah bagaimana hasilnya mari nikmati prosesnya :) makasiii sudah baca Silvi :)
Hapus