Gambar di sini
Aku terasa terbakar dibawah terik
matahari. Mataku tak sanggup berkedip memandang kobaran api yang melalap
bangunan supermarket yang berada di seberang jalan. Jilatan-jilatan
panas bahkan terasa di dalam diriku. Seperti para penjarah yang merampas isi
yang bangunan nyaris hangus itu, sesuatu di dalam hatikupun seakan dirampas,
dipaksa untuk tak lagi kumiliki. Tidak! Aku akan mempertahankannya.
“Yusnida?” suara di seberang terdengar
cemas.
“Ya, aku baik-baik saja,” tapi tentu saja
nada ketakutan itu pasti terdengar hingga seberang. Bukan kekacauan atau panas
atau api yang berkobar. Ketakutan itu berasal dari dalam diriku sendiri.
“Kapan kau pulang?”
“Segera,”
“Aku akan menjemputmu,jika kau mau …
Aku mendengar apa yang terjadi di sana?”
“Tidak perlu,” aku mematikan sambungan
telepon. Aku melangkah diantara mereka yang berlari, berteriak, cemas, bahkan
ketakutan. Aku bergerak lambat diantara mereka yang bergerak menyaingi kilat.
Dunia milikku berputar tenang tapi di dalam diriku ada goncangan yang memaksaku
tegang.
Bagaimana bisa cinta menjadi sedemikian
berbahaya?
1800 warga mengungsi. Tempat ibadah, toko,
kendaraan dan rumah wargapun tak luput dari amukkan massa. Hanya karena dua
orang berbeda keyakinan saling jatuh cinta. Salahkah? Tidak, jika salah satu
darinya tidak mati dan yang lainnya dituduh memperkosa dan membunuh kekasihnya.
Salahkah? Mereka boleh menghakimi, tapi buatku tidak ada yang salah.
***
“Ada baiknya jika diakhiri.” Saran sahabat
yang tak mungkin kuikuti.
“Entah apa aku bisa,” Pasti bisa, hanya
aku tak ingin melakukannya.
“Sebelum terlambat, pikirkanlah. Berapa
banyak yang tersakiti?”
“Melepaskan ataupun mempertahankan,
tetaplah aku pihak yang tersakiti. Aku dan hanya aku,” Aku ingin marah tapi
ternyata malah air mataku yang tertumpah.
Kenapa mereka tak bisa melihat cinta kami
secara sederhana?
***
“Maat tak bisa.”
Aku pernah menolaknya dengan halus. Pria
dewasa, memiliki istri dan anak di sana. Jika bukan karena kesepian dan
kebutuhan dia takkan memilihku.
“Aku mencintaimu.”
“Bagaimana bisa? Kenapa aku, bukan yang
lainnya?”
“Aku tak memilihmu, tapi
hatiku.”
“Kenapa kamu tak pergi? Untuk apa bertahan di sini?”
“Kenapa aku tetap di
sini? Aku harus bersamamu!”
Sekarang aku masih mempertanyakannya,
sementara dia telah menjawab semuanya sejak lama.
Sosoknya datang begitu saja, serupa pria
penyayang. Seragamnya menampilkan wibawa, tatapan matanya membuatku percaya.
Dia berjanji akan menjagaku. Dia mencintaiku, aku tahu. Jika dia hanya ingin
memperalatku, akupun juga tahu. Karena rasanya takkan seperti ini di hatiku.
***
Aku pernah melihat kemarahan, amukan
massa, ketakutan, kecemasan yang mencekam. Aku pernah melihat kobaran api. Aku
pernah melihat mimpi buruk dalam kenyataan. Tapi, tak lama,
ketakutan-ketakutan, tragedi dan kesengsaraan itu akan jadi milikku. Sekarang
mungkin aku yang akan mengalami mimpi buruk dalamku terjaga.
Aku berharap aku mati saja ketika bambu
itu menghantam-hantam tubuhku. Teriakan-teriakan itu merobek gendang telingaku.
Aku berharap tidak akan ada yang membantuku.
“Dimana malumu?”
Aku tak menjawab hanya menikmati sakit
yang kualami.
“Dimana dia yang katanya akan
melindungimu?”
Aku membisu.
“Akan kukatakan pada warga, anakku jadi
korban pemerkosaan. Akan kukatakan, kubakar kemarahan mereka.” Ancaman yang
kuharap tak pernah menjadi kenyataan.
Aku mengingat tragedi yang kulihat seperti
mimpi di depan mataku. 23 Januari lalu. Di mana cinta menjadi petaka. Cinta
yang memakan korban-korban lainnya. Di antara sadar dan mimpiku, kudengar bisik
lembut sahabatku, aku tahu dia tak di sampingku. Aku pernah mendengar nasihat
ini dulu. “Demi cinta jangan kau korbankan Tuhan, keluarga dan harga dirimu”.
Maaf inilah satu-satunya jalanku.
***
“Jika dia menikahiku?”
“Ada keluarga yang terluka, wanita
lain—istrinya sahnya.” Ada penekanan di kata sah yang membuatku merasa
bersalah. “Putrinya, tidakkah kau ingat bagaimana rasanya ketika orangtuamu berpisah?”
Aku mengeleng-gelengkan kepala seakan aku
tak ingin menerima bahwa kemungkinan itu menjadi nyata.
“Jika kalian memilih menikah, mungkinkah
ada diantara kalian yang rela mengkhianati Tuhan kalian?”
Aku menutup telingaku, apa yang kudengar
membuat tubuhku gemetar.
“Jika kalian menikah, sanggupkah kamu
melihat dia kehilangan segalanya?”
Duniaku berputar cepat dan segala sesuatu
di sekelilingku seakan runtuh.
“Jika….”
Aku benci kata ‘jika’!
Aku dan dia pernah memiliki hari sempurna,
saat cinta masih milik kita, saat cinta enggan menunjukkan sisi gelapnya, saat
cinta membutakan mata, saat cinta tak pernah salah. Saat dia raja dan aku
ratunya. Saat semuanya begitu mudah dipercaya. Hanya saja sayangnya di hari
yang sempurna kamipun menikmati saat matahari tenggelam di barat sana tanpa
benar-benar menyadari bahwa hari akan berganti. Dan bodohnya kami tak
mempersiapkan diri bahwa di hari baru segalanya bisa berubah. Kami tak bisa
membekukan hal yang indah untuk selamanya.
“Jika dia tak menikahiku, bagaimana nasib
anakku?”
Sekali lagi kata ‘Jika’ tak perlu
kudapatkan sebuah jawaban, karena yang kuperlukan adalah kekuatan untuk
menghadapinya.
***
Aku memohon agar ayahku membunuhku,
alih-alih membunuh dia yang kucinta dan mungkin juga mereka-mereka yang tak
berdosa. Kelompok minoritas—dia dan orang-orang di desa sekita pegunungan yang
di bujuk pemerintah dengan program transmigrasinya, yang jika seorang bersalah
namun seluruhnya mungkin menanggung akibatnya. Akhirnya, ayahku membunuhku.
Tidak ada lagi Yusnida yang dulu, ayah membunuhku seperti cara dia membunuh
ibuku.Kami tak lagi ada di dalam hidupnya. Tak lagi dianggap anak.
Terpaksa pergi dari hidupnya sebuah penyiksaan, kesedihan yang mendalam. Namun,
aku tak juga tak datang kepadanya, dia yang kucinta.
Setelah ayahku membunuhku, akupun membunuh
diriku. Aku mati, juga cintaku yang dulu. Tapi kini aku hidup lagi bersama
dengan kelahiran bayi mungilku di hari ini.
“Harpan,” kata suara berat itu “Hari
Pahlawan, itu namanya.”
Aku memandang wajah itu, pria itu mencintaiku.
Aku tahu, cintanya berbeda, tak membuatku berbahagia dengan membuat hatiku
berbunga-bunga. Cintanya kadang berupa marah, kadang berupa sesuatu yang
memaksaku untuk membencinya. Ada sentuhan lembut di kepalaku.
“Boleh bapak mengadzani, cucu bapak?”
Aku tersenyum dan mengangguk. Ada haru ada
bahagia.
Pahlawanku lahir di hari ini, dia
menyelamatkanku dari masa lalu. Kelahirannya membawa harapan baru. Aku tahu dan
percaya ada hal-hal yang tak bisa diubah, tak ada yang bisa dilakukan selain
menerimanya. Aku menerima kesalahanku tapi tak menerima jika ada bagian diriku
yang menyesalinya. Aku menerimanya sebagai pembelajaran. Ayahku memaafkan masa
laluku. Kurasa itu cukup untuk menguatkanku melangkah ke masa depan bersama
Harpan—Pahlawanku di masa depan.
:::The End:::
keren banget..
BalasHapusmakasi sudah baca :)
Hapus