gambar: di sini
Oktober 2002
Aku benci kelasku. Aku benci sekolahku. Aku benci guru-guruku. Lebih dari
segalanya aku benci teman-temanku yang pintar (katanya) dan juga sombong! Aku
benci ketika guruku dengan nada sombongnya menyebut namaku. Ketika namaku
dipanggil ... bisakah kau membayangkan nadanya? Seolah aku adalah sesuatu bukan
seseorang! Aku membencinya. Nina...Nina...Nina harusnya namaku terdengar manis
di lidah mereka yang menyayangiku, di lidah orang yang tak mengenalku tapi
menghakimiku, namaku terasa seperti nasi basi yang ingin dimuntahkan dengan
segera.
Aku menyeret langkah malas. Aku
menatap ujung sepatuku yang berdebu dan terkena berbagai noda. Menyerahkan
bukuku yang bersampul kertas lilin berwarna kuning dengan hiasan stiker
bunga-bunga bergliter yang juga kulindungi sampul plastik. Menurutku bukuku
cantik.
“Mana catatanmu?” Seharusnya
cuma kalimat tanya sederhana, tak perlu disertai dengan tatapan mata tajam.
“Sedang ibu pegang,”
“Catatan Geografi bukannya diary!”
Matanya yang melotot seolah
menyuruhku untuk melihat tumpukan rapi buku-buku tulis bersampul cokelat dengan
gambar siswa-siswi sekolah berseragam. Sampul cokelat kusam yang membosankan.
Aku harus katakan. Aku tak bisa jadi yang tercerdas. Aku juga bukan salah satu
anak-anak paling kaya di kelas. Ini terdengar payah, tapi aku cuma ingin jadi
yang sedikit berbeda. Seharusnya itu sudah jelas. Ibu guruku yang sekarang
berwajah bosan (dan juga menyebalkan) membolak-balik bukuku. Meraih spidol
merah dan memberi nilai E “Silahkan berdiri di pojokan kelas!” kalimat pedas
yang membuat hatiku memanas.
***
Jam istirahat, saatnya aku
melepas penat. Aku memilih duduk di bangkuku dan menikmati duniaku. Dunia
milikku sendiri. Tapi, seseorang nampaknya ingin aku kembali ke dunia nyata.
“Boleh lihat catatan Geografimu?” seharusnya permintaan itu terdengar
seperti hinaan, tapi sejujurnya ini justru adalah mimpi yang jadi kenyataan. Nata
menyapaku! Okay aku benci seisi kelasku karena label kelas plus di mana
anak-anak cerdas dengan nilai bagus berkumpul (kecuali aku, kata mereka aku
cuma beruntung punya nilai tes bagus ketika pendaftaran masuk) tapi Nata adalah
yeah Nata....my first crush! Usiaku
15 tahun, sedang mengalami masa puber dan aku memilih Nata sebagai orang yang sering
berada di dalam khayalanku.
“Boleh kulihat catatan
Geografimu?” Nata bertanya sekali lagi. Aku (pura-pura) mengabaikannya. (Masih)
berusaha menenggelamkan diri dalam komik serial cantik Throbbing Tonight,
cerita cinta konyol tentang gadis dari dunia setan yang jatuh cinta pada cowok
cuek dari dunia manusia. Kisah cinta nyaris tak mungkin tapi kau tahu komik.
Apapun mungkin terjadi untuk menuju happy
ending.
“Nina?” dia memanggil namaku.
Nada suaranya terdengar.... seperti nyayian.
“Yeah?” aku pura-pura kesal
seolah Nata tengah mengganggu kegiatanku. Aku masih terus pura-pura fokus pada
komikku. Tangan kananku masuk ke laci meja dan mengambil buku yang menjadi
sumber penderitaanku hari ini. Aku tak ingin menatap wajah Nata. Aku tak ingin Nata
melihat pandangan mengagumi dariku dan juga rona merah dipipiku.
“Boleh pinjam catatanmu?” aku
ingin memutar bola mataku.
“Kamu berniat mengejekku?” mau
tak mau aku melipat halaman komikku menutupnya dan walau ragu akhirnya aku
memberanikan diri menatap mata bulat Nata. Bulu matanya lebat dan kenapa
seorang anak laki-laki harus memiliki sinar mata seteduh itu?
“Jangan menatapku seperti itu!” Nata
terdengar gugup dan menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal. Rambut Nata
bagus dia tak mungkin kutuan ataupun ketombean. Sekarang, apa aku boleh
ke-geer-an?
Aku bersyukur dia membolehkanku
untuk tidak menatapnya. Setidaknya dia juga tak perlu melihat warna merah muda
di pipiku. Aku harap sekarang dia mendadak tuli hingga dia tak perlu mendengar
hatiku yang bernyanyi juga kepakan halus sayap kupu-kupu yang berterbangan di
dalam perutku.
“Matamu mengintimidasi,” itu
pengakuan yang tak ingin kudengarkan. “ Matamu indah seandainya sorot
itu....maksudku...berhentilah melotot dan berekspresi seperti pembangkang.” Aku
terkejut mendengar apa yang dia katakan. Hatiku berhenti bernyanyi dan
kupu-kupu di dalam perutku tiba-tiba mati. Aku merebut bukuku dari tangannya,
genggamannya erat dan aku tak mau menyerah. Sekarang, aku lebih suka buku itu
rusak daripada terus berada di tangan orang yang baru saja menghinaku. Wajahnya
sekarang lebih buruk dari monster dalam mimpi malam Jumatku.
“Kamu mudah marah,” tak perlu
memberitahuku aku lebih mengenal diriku lebih daripada yang dia tahu. “Nina!”
dia membentakku dan aku membeku, mau tak mau aku menatap wajahnya nampaknya dia
sama terkejutnya dengan aku.
“Diam dan dengarkan!” dia
berbicara dan aku memang akan memilih diam. Aku tak bisa berkata-kata dalam
suasana canggung begini. “Berhentilah berada di balik benteng komik dan
buku-buku bacaanmu! Berhentilah menjadi Alien! Berhentilah berpura-pura aneh!”
Aku ingin berbicara tapi
kata-kata itu tertahan ditenggorokkanku.
“Sejak tahun pertama kamu
membuat banyak masalah, berharap kamu dikeluarkan dari kelas ini. Dua tahun
terlewati, ini tahun terakhir kita bersama-sama. Aku tidak mau kamu pindah
kelas!” Mau tak mau aku terkejut, Nata ingin aku terus berada di sini?
Bersamanya?
“Aku tak seharusnya berkumpul
dengan makhluk-makhluk jenius.” Aku menyindirnya juga mereka. “Nilai
matematikaku jelek. Aku bahkan tak bisa berhitung jika jumlahnya lebih dari
jariku ahahaha,” tawaku jelek sekali. “Bahasa Inggrisku parah,”
“Itu karena kamu tidak mau
kursus di guru bahasa Inggris yang mengajar di kelas!”
“Dia membosankan!” aku teringat
Mr Joseph yang gendut, aku lebih suka kursus yang lebih dekat dengan rumah dan
akibatnya nilai raportku merah. “Dan....aku nyaris berdiri di semua jam
pelajaran.” Aku memberitahunya seolah dia tak tahu.
“Hei...Nina.” Dia memanggilku
lembut dan matanya kini memandang mataku, dia berkedip sejenak lalu kami
bertatapan. Pandangan kami bertemu dan di detik itu waktu seolah membeku. Bumi
berhenti berputar dan aku lebih ringan dibanding udara. “Sebenarnya kalau kamu mau
kamu bisa jadi cewek manis, aku akan membantumu. Aku berjanji. Aku akan
menuliskan catatan-catatanmu. Aku akan mengerjakan PR-mu. Asal kamu mau
bertahan di kelas ini,”
“Demi alasan apa?” tanyaku
cepat. Aku ingin mendengar jawabannya tapi aku juga ketakutan jika jawaban yang
kudengar tak seperti harapan.
Nata diam, mengambil buku di
tanganku yang tak lagi kupegang erat. Dia duduk di kursi sampingku. Udara
memanas dan sejuk di saat yang sama. Aku melihat sekeliling yang seakan
tiba-tiba tersihir. Seisi kelasku seolah sibuk dengan dunia mereka sendiri. Dan
bumi tempat kami pijaki hanya milik kami; aku dan Nata.
“Kamu berbeda Nina.”
“Aneh, kan? Itu maksud kamu?”
okay, menyebalkan adalah nama tengahku.
“Hahahahaha,” tawanya renyah,
terdengar menyenangkan. “Dunia ingin kamu bahagia, cerialah!”
Dunia? Kenapa dia mengatasnamakan
dunia, seandainya saja dia yang menginginkan aku bahagia.
“Okay, maksudku begini.... Di
saat seluruh isi kelas menipu diri demi deretan angka sempurna. Kamu tetap
seperti apa adanya yang kamu inginkan. Kamu menikmati menjadi dirimu,”
“Yeah, kamu harus tahu betapa
menyenangkannya menjadi...yeah...freak!”
“Kapan kamu berhenti berakting
jadi orang aneh di hadapan seisi kelas?”
Aku tak ingin menjawab, Nata
membuka bukuku dan membalik halaman-halamannya.
“Diary?” dia tersenyum lalu menatapku, aku mengalihkan pandangan.
“Kamu satu-satunya anak yang
menulis dengan tinta oranye, menggambar peta dengan spidol 24 warna. Setidaknya
warna-warni lebih bagus dari warna hitam-putih. Peta bikinanmu sendiri lebih
keren dari peta yang dijiplak dengan bantuan kertas karbon. Kamu original kamu
tidak pernah ingin menjadi apapun selain dirimu, tapi hal terburuk dari kamu,
kamu tak ingin bersikap ramah pada orang yang tak kamu suka. Kapan kamu
menyadari bahwa ada orang yang peduli. Ada orang yang menyayangi.”
Aku menatap padanya,
mencari-cari bagian yang menunjukkan kebohongan, entah mataku dibutakan atau
aku memang tak ingin menemukan sesuatu yang tak kuinginkan.
“Nina, seperti janjiku. Aku akan
membantumu. Kau tahu aku mengagumi, di saat anak-anak lain selalu ingin jadi
yang tercerdas kamu tetap menjadi yang paling kreatif. “ Dia membalik halam
paling belakang dari bukuku. Sketsa-sketsa dan potongan-potongan kalimat indah
selalu menghiasa halaman bukumu. Untuk alasan itu aku berniat meminjam
catatanmu, aku menyukainya.”
Aku menghela nafas.
“Seandainya usia kita tidak lima
belas tahun, “ ada ragu di antara kata perkata yang diucapkannya.
“Kenapa?”
“Sekarang waktunya untuk
mengejar mimpi dengan belajar. Aku ingin memiliki kesempatan menciptakan
prestasi. Menyenangkan jadi remaja kebanyakan, tapi aku punya mimpi yang ingin
aku wujudkan. Prestasi yang ingin aku raih. Bagaimana kalau kita sama-sama
membagi mimpi?”
Aku mengerti, kenapa dia bicara
dengan kalimat yang menyimpan makna seperti itu. Seandainya dengan mudah dia
mengatakan ‘Aku mau kita pacaran tapi kau
tahu aku si jenius yang ingin terus belajar. Itu akan membuatmu bosan. Kita
hanya akan sama-sama sebagai teman, sebagai sahabat. Menyenangkan?’ Baiklah
aku akan membunuh mimpiku. Mimpi-mimpi dimana wajah yang sekarang berada di
depanku tengah berakting ala drama si putri konyol dan pangeran tampan. Aku
melihat layar di dalam otakku rusak dan meledak, fiuh menjadi cabikan-cabikan
hitam akhirnya berubah menjadi asap abu-abu yang membuatku batuk. Aku mengambil
botol minumanku di laci dan minum.
Dia membalik lembaran-lembaran
bukuku. Berhenti di halaman di mana peta dunia berada.
“Ini mimpiku!” dia menunjuk peta
itu. “Aku ingin berkeliling dunia.
“Mimpi yang hebat,” pujian yang
tak tulus, setengahnya terdengar seakan aku mengejeknya. Aku tak bermaksud tapi
begitulah nada bicaraku.
“Tapi itu bukan mimpi
terbesarku,”
“Oh....jadi, apa mimpi
terbesarmu?”
“Akan kubagi jika kau mau
membagi mimpimu.”
“Aku baru mengubur mimpiku dan
aku belum menciptakan mimpi baruku.” Jawabku setengah hati.
“Jika aku mengatakan mimpi apa
yang terlintas dipikiranmu?” okay dia menjebakku, hatiku menjawab “Kamu,” tapi
lidahku menjawab “Aku ingin dunia yang datang kepadaku,” di otakku muncul mimpi
baru. Aku melihat rumah panggung mungil di kaki bukit. Sebuah guest house berisi di mana nanti aku
akan mengajak tamuku berkeliling tanah kelahiranku, tana Bulaeng, tana Samawa
yang kaya tak hanya alamnya tapi juga budayanya. Aku ingin seperti ibuku yang
mengabdikan hidupnya untuk menjaga, memelihara, dan meneruskan budaya kami.
Rumah panggung mungil itu akan di datangi oleh mereka yang dari Eropa, Amerika,
dan seluruh penjuru dunia. Indonesia tak hanya Bali saja, kan ya?
“Wow, aku akan berkeliling
dunia, dan dunia akan mendatangimu.”
“Mimpi kita berbeda.”
“Tapi yang aku tahu tak ada
mimpi yang tak indah.”
Itu tahun terakhirku di SMP, aku
menjadikan Nata sebagai satu-satunya alasan bertahan di kelasku yang
menyebalkan. Nata membantuku belajar tapi satu hal yang tak kupikirkan, perpisahan.
Nata pergi dan tak mengucapkan selamat tinggal. Satu hal yang kupelajari,
jangan pernah memberikan begitu besar kepercayaan pada siapapun. Dia yang
membuatmu bertahan untuk tak pergi tapi justru dia yang meninggalkanku sendiri.
Kita tidak lima belas tahun lagi, cukup dewasa untuk sebuah hubungan....pacaran
....tapi bagai setan dia hilang! Satu hal yang membuatku tersenyum dan percaya
dan tetap memiliki keyakinan. Tulisan tangannya yang membentang di atas peta
warna-warni di buku Geografiku yang bertuliskan. Don't let your dreams be dreams.
Oktober
2012
Aku menatap smart phoneku yang tak lagi cerdas, yang menampilkan beranda
facebook-ku.
Safety
landed. Lucky me, my ears doing fine. Foursquare menunjukkan dia berada
di Los Angeles International Airport. Aku mendengar suara Josh Rouse bernyanyi
di dalam kepalaku. “ Heaven knows the lengths i go. To Please them everyday.
They don’t notice when i’m down. “
Aku juga lelah, selain itu cuaca Oktober tak bersahabat dengan imunku.
Pagi ini aku memberikan pelukan canggung dan ucapan selamat tinggal untuk
seorang tamu dari Swiss, seseorang yang kutemui dari situs
Couch Surfing. Usai sudah untuk
sekarang setelah seminggu ini mengajaknya berkeliling dari pulau Moyo sampai
Pantai Maluk. Tapi, minggu depan aku kedatangan tiga backpacker Italia. Hey, aku belum memiliki guest house impianku tapi itu cuma masalah waktu. Sekarang aku
harus mengganti seragam dan berangkat mengajar. Namun sebelumnya, aku sempat melaporkan pada
facebook apa isi otakku.
Terbanglah kemanapun sayapmu
membawa terbang
Tapi ingatlah kemana kamu harus
pulang.
Tak lama smart phone-ku berkedip dan melaporkan
seseorang mengomentari status terakhirku. Mau tak mau aku tersenyum membaca
sebaris kalimat dari Nata.
Akan datang waktu, saat aku pulang kembali
menuju hatimu.
:::The
End:::
cerita yang menarik mbak @Citra Rizcha Maya follow back ya http://karangbelo.blogspot.com/
BalasHapus