Date a girl who reads

Date a girl who reads

Minggu, 01 Desember 2013

[Review Novel] A Thousand Splendid Suns

gambar : di sini


Judul           : A Thousand Splendid Suns
Penulis        : Khaled Hosseini
Translator  : Berliani M Nugrahani
Penyunting : Andhy Romdhani
Penerbit      : Qanita (Mizan Grup)
Penghargaan: Book Sense Book of the Year Award for Adult Fiction (2008), Exclusive Books Boeke Prize Nominee (2007), Abraham Lincoln Award Nominee (2011)


Blurb:
Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
"Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!"
Kalimat itu sering kali diucapkan ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak, Dan kenekatan Mariam harus dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui Jalil secara diam-diam, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri.
Sontak kehidupan Mariam pun berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah kepahitan sebagai anak haram. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun, dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.
***
          Aku ingin membuka review-ku dengan kutipan dari Fyodor Dostoyevsky dalam Catatan dari Bawah Tanah; “Mana yang lebih baik- kebahagiaan picisan atau penderitaan yang agung?” Sejujurnya harus kukatakan aku memilih kebahagiaan bahkan walaupun itu picisan, tetapi mengenal tokoh Mariam membuat aku memahami apa itu penderitaan yang agung.
Sebagai pecinta fairy tale yang menganggap bahwa idealnya suatu kisah harus selalu diwarnai dengan banyak hal indah dan penuh cinta di udara. Kupikir aku tak ingin tenggelam dalam kisah ini. Walau aku tak bisa memungkiri betapa luar biasanya tulisan Khaled Hosseini lewat The Kite Runner, tapi A Thousand of Splendid Suns memberi lebih dari sekedar sebuah kisah. Dan aku bahkan tak kecewa dengan ‘nyaris tak adanya kebahagiaan’ dalam kisah ini.
Terlahir sebagai anak haram, Mariam seakan tak ditakdirkan untuk mendapat kebahagiaan. Nana—ibunya selalu menganggap bahwa takkan ada seorangpun yang bisa menyayangi Mariam seperti dirinya. Dan di sinilah kehebatan Hosseini dalam menciptakan karakternya. Nana mungkin dibenci dan juga disayangi sama seperti pembaca seakan untuk diminta membenci dan juga menyayangi Jalil, ayah Mariam ‘sang penyebab’ penderitaan Mariam. Karakter yang seolah dilukis hitam-putih nantinya akan diubah dalam abu-abu dengan berbagai nuansa. Bagian pertama (dari empat bagian) novel berkisah tentang masa kecil Mariam, keinginan-keinginan khas anak kecil dari Mariam, penolakan menyakitkan keluarga ‘sah’ ayahnya, kematian tragis Nana yang menanamkan rasa bersalah yang dalam pada diri Mariam. Hingga pernikahannya dengan Rasheed yang semakin menambah daftar penderitaan Mariam di kemudian hari. Pada akhir halaman 54 aku tak bisa menahan air mata.

Menampilkan wajah Afganistan dengan segala tragedinya. Menununjukkan kesulitan dalam mempertahankan kehidupan. Bahkan mati tak hanya bisa terjadi sekali namun berkali-kali. Bagaimana peristiwa demi peristiwa dalam rentang waktu yang tak disadari dapat mengubah sesuatu, bahkan manusianya. Fariba, salah satu contohnya. Wanita dengan kebahagiaan yang berpendar bak mentari mampu meredup bagai mayat hidup ketika anak-anaknya harus berperang dan syahid dalam kematian yang membanggakan namun juga begitu menyedihkan. Membuat suami dan gadis kecil bungsunya harus mandiri tanpa fungsi istri dan ibu. Laila, di bagian kedua kisah inipun menuturkan tentangnya.
Gadis kecil dari keluarga disfungsional yang memulai kisah tentang persahabatan manisnya dengan anak lelaki berkaki satu korban ranjau bernama Tariq. Bagian ini seakan seperti malam berbintang dengan udara sejuk, kesedihan tetap mengancam namun senyuman masih bisa dirasakan. Tapi, seperti sudah kukatakan bahwa penderitaan dan kesedihan selalu membayangi dan muncul dengan tiba-tiba membuat aku sebagai pembaca diharapkan waspada dan ya tetap saja ada bagian yang membuatku terkejut dimana, si gadis kecil Laila harus kehilangan orang tua disaat dia baru saja mengucapkan selamat tinggal pada Tariq, cinta sejatinya yang mengungsi menuju Pakistan  dan bagai malam kelam, datanglah kabar lebih buruk yang  menghantamnya, saat seseorang memberitakan bahwa Tariq-pun telah tiada. Sebatang kara dan terluka, keadaan pahit membuat dia merasa seperti seperti kejatuhan bom! Laila harus menikahi Rasheed (yang lebih layak menjadi kakeknya) dan bermadu dengan Mariam. Mau tak mau dengan anak Tariq yang ada di rahimnya. Lailapun dipaksa menerima realita.
Segalanya memburuk dan terus memburuk hingga kelahiran Aziza dan kecurigaan Rasheed bahwa Azizah bukan darah dagingnya. Kekerasan daam kehidupan rumah tangga yang sebelumnya selalu menjadikan Mariam korban, kali ini membuat Laila bahkan Aziza menjadi korban selanjutnya. Dan di sinilah dimulai, bahwa Tuhan memberi cahaya-Nya dalam bentuk cinta tanpa syarat. Perjuangan Mariam dan Laila dimulai. Dibatas ini aku berhenti untuk bercerita.

Dan di sinilah aku ingin mengatakan bahwa ada cinta yang agung dan suci.Cinta yang sangat megah tak mesti melalui pertalian darah. Cinta tanpa syarat yang hadir setelah menghadapi berbagai macam cobaan berat. Cinta dan pengorbanan dari Mariam untuk Laila, cinta Mullah Faizullah dari masa kecil Mariam yang memberi kekuatan bertahan hingga cinta polos dari Aziza bahkan Zalmai.
Untuk Mariam aku ingin mengatakan betapa malunya aku pada hidupku, mempermasalahkan hal sesepele warna hijab atau model sepatu, mengkambinghitamkan PMS-ku tiap bulan sebagai penyebab penderitaanku, merasa benar dan berhak atas tindakan yang kulakukan dan demi oh Tuhan menghadapi perselisihan dengan sahabat akibat seorang cowok yang datang dan pergi dalam hidupku. Apa yang kualami tak sebanding dengan dirinya walau dia adalah tokoh fiksi tapi aku percaya di suatu tempat di sana tak menutup kemungkinan terdapat Mariam-Mariam yang begitu menderita. Hidup tak mudah baginya, betapa keinginannya begitu sederhana dan betapa dukanya seakan bertahan untuk selamanya. Membaca kisah ini pada akhirnya membuatku bersyukur pada hidupku.
Di halaman terakhir buku ini aku menuliskan beberapa baris kalimat; Terima kasih Khaled Hosseini untuk membiarkanku menangis dengan cara yang indah dan alasan yang benar. Bersyukur menjumpai Mariam dalam kisah ini, lebih-lebih bersyukur bahwa aku terlahir sebagai perempuan dan bangga atas apa yang kulakukan.


*kabar baiknya, si feminis radikal dalam diriku, tidak mengacau saat aku membaca kisah ini*


1 komentar:

  1. yap , cerita yang menarik nek , di boomark dulu ntar dilanjutin bacanya :)

    BalasHapus