Date a girl who reads

Date a girl who reads

Senin, 10 November 2014

Cerber: Saudara Sejiwa (3)


Sumbawa Besar, Akhir Oktober 2012
Agit sebenarnya ingin membenci, tapi menurut Agit membenci adalah emosi yang tak boleh dimiliki, karena itu menyakitkan sekali. Dan, nantinya hatilah yang paling merasakan pedih. Agit sungguh tak mengerti kenapa bisa begini.
Memutuskan ikatan persahabatan hanya karena seorang pria? Agit jarang menggunakan kata pria, lidahnya lebih sering mengucapkan kata cowok untuk menyebut gender tersebut. Namanya Devon dan sekarang Agit berharap tidak pernah bertemu dengannya. Devon itu berusia dua puluh sembilan tahun, tiga tahun lebih tua darinya, itulah kenapa dia menyebutnya pria, itu bukan karena jumlah umurnya yang menjadikan dia layak disebut pria, tapi sikapnya. Devon adalah pria pertama yang membuat Agit nyaman berdiskusi dengannya, dan juga orang pertama yang membuat Agit merasa dipandang sebagai seorang perempuan bukannya cewek.
Eits sepertinya kita harus meluruskan sebelum kesalahpahaman menjadi sebuah persoalan besar. Karena hubungan Agit dan Devon benar-benar menjadi masalah yang besar. Agit tidak memiliki perasaan ... semacam suka atau sayang atau sejenisnya kepada Devon. Agit hanya merasa Devon adalah orang yang tepat untuk diajak berdiskusi, walau harus Agit akui mereka memiliki kendala, bahasa Inggris Agit tidak terlalu bagus, belum lagi indera pendengarnya sering kali berfungsi tidak maksimal, dan logat Swiss-Jerman Devon terlalu kental. Sekedar informasi Devon adalah seseorang yang Agit dan Marsha kenal dari situs CouchSurfing, dan mereka memberi Devon tumpangan di rumah orang tua mereka.
Bertemu seseorang yang menunjukkan wajah antusias ketika mendengarnya bicara dan mereka memiliki hobi yang sama serta adanya ‘unsur pemanfaatan’ Agit yang menjadikan Devon sebagai narasumber di kelasnya yang sungguh seperti sebuah kesempatan langka yang menjadi kenyataan. Di kelas XII Agit sedang membahas materi Sistem Pemerintahan di Dunia dan kebetulan negara si Devon ini satu-satunya negara yang bersistem referendum. Terdengar sederhana, kan? Tapi tidak bagi Arika. Arika, Agit, Marsha, Devon dan beberapa teman lainnya menghabiskan waktu bersama selama liburan, hingga di penghujung liburan, sepulangnya mereka dari Pulau Moyo, masalah itu seolah berguling menjadi bola salju yang membesar, membesar dan menghantam!

Agit awalnya cuma minta ijin untuk merekam Devon dengan meminjam kamera Marsha. Dia hanya akan meminta Devon untuk menceritakan beberapa fakta tentang pemerintahan negaranya. Tapi, Devon berpikir akan jadi ide bagus jika dia berkunjung ke sekolah, dia bahkan bercerita bahwa ibunya adalah guru. Sayang, ayah Agit nggak suka Devon mengikuti Agit pulang ke kosannya.
“Apa kata orang kalau kamu membawa-bawa orang asing dan memberi tumpangan di tempatmu? Kamu itu ngekos bukan punya rumah pribadi, apa kata orang?” Ayah Agit mengulangi kata apa kata orang dua kali, seakan itu adalah penegasan yang tak boleh dibantah, dan memang begitulah adanya.
“Kenapa sih kita harus selalu mikirin kata orang, pak?” khas Agit, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Ayahnya terdiam sejenak dan mulai mengeluarkan kata yang tak boleh dibantah. “Pokoknya nggak boleh, titik.” Betapa orang tua bisa menjadi seorang diktator kejam tanpa ampunan. Agit tak mengerti kemarin ayahnya sangat ramah pada Devon dan sekarang ayahnya bahkan menunjukkan ekspresi permusuhan, mereka bahkan merayakan Idul Adha bersama. Ayahnya bahkan tak ingin berjabat tangan ketika Devon pamit, hari itu rencananya Devon dan Agit akan berangkat ke kosan Agit tapi rencana berubah, Devon akan menyusul nanti. Untuk sementara Devon tinggal di tempat Arika.
***
Seteluk-Maluk-Seteluk, Oktober 2012
Agit itu nggak boleh capek, badannya emang payah, dan imunnya sangat manja. Agit sakit, tapi dia kasihan ketika besoknya Devon memenuhi janjinya. Devon muncul di sekolahnya, padahal dengan mempertimbangkan sikap ayahnya Agit, dia  berharap Devon tak usah datang menemuinya. Walau sebenarnya Agit sangat berterima kasih pada ‘kehebohan kecil’ yang diciptakan Devon di kelasnya, cekikikan-cekikikan genit anak-anak cewek dan pandangan tak bisa di jelaskan di wajah anak-anak cowok. Belum pernah pelajarannya mendapat antusias seperti itu sebelumnya. Bahkan, bahasa dan pemahaman tak menjadi kendala.
Agit memang nggak enakkan, tadinya dia hanya akan berterima kasih atas kebaikan Devon dan mereka akan saling mengucapkan selamat tinggal sesudah Devon mengunjungi sekolahnya. Tapi, tidak begitu. Devon malah mengajak Agit untuk mengunjungi pantai Maluk, terakhir kali ke Maluk adalah ketika Agit KKN, Agit KKN di tempat bernama Sekongkang dan untuk mencari hiburan Agit dan teman-temannya kadang ke sana. Tapi, Agit benci pantai. Agit nggak suka suasana pantai, Agit suka laut! Pantai terlalu sering dikomersilkan dan jadi sasaran dari mereka yang tidak bertanggung jawab. Sementara laut selalu memberi efek menenangkan buat Agit. Agit selalu bahagia saat berada di lautan.
Mereka duduk di kursi yang saling berhadapan. Ada meja kayu diantara mereka, masih terlalu panas untuk duduk-duduk di pasir. Devon yang pertama kali dikenalkan Agit dengan mangga beberapa waktu lalu, kini menjadikan mangga sebagai favoritnya, dia menikmati jus mangganya. Sementara Agit memilih larutan penyegar. Badannya demam dan terasa ada yang membakar di dalam tenggorokkan. Mereka diam untuk beberapa saat, mengacuhkan betapa indahnya lautan, karena masing-masing suara dalam kepala mereka sebenarnya ingin membicarakan apa yang seharusnya mereka bicarakan. Tapi, Agit akan lebih suka kalau seandainya bisa melupakan apa yang ingin dia bicarakan. Apa yang ada di otaknya menjadi semacam beban yang membuat dia bisa melihat bintang-bintang berputar seperti halo di sekeliling kepalanya.
“Mau membahas kenapa ayahmu bersikap buruk padaku?” Devon menatap dalam pada mata Agit, Agit memilih untuk mengalihkan pandangan dari mata berwarna biru kehijauan itu. Matanya membuat Agit teringat banyak hal indah, biru dan hijau dua warna alam yang membuat nyaman. Namun, sinar matanya membuat Agit tak ingin menatap mata itu lama-lama.
“Entahlah,” Agit mengangkat bahu. Agit sungguh-sungguh tak tahu dan kalaupun Agit tahu Agit takkan mengatakannya.
“Apa itu semacam proteksi untuk anak gadisnya?” Pertanyaannya bernada tuntutan akan sebuah alasan. Dia tak memerlukan jawaban sesederhana ya atau tidak, apalagi sebuah kebisuan.
“Mungkin,”
“Aku tak ingin kata mungkin.”
“Jadi?”
“Apa kita harus membahasnya?” Agit terdengar tak sabaran, apalagi beberapa SMS dari Arika membuat dia sedikit kerepotan. Arika bercerita tentang betapa begonya Devon yang bersikap terlalu sopan pada perempuan. Dasar Arika, memangnya dia mau lelaki mesum kurang ajar? Tapi yeah Arika adalah jenis orang yang suka tantangan, malah terlalu berani hingga rela menanggung resikonya dengan suka cita. Arika menikmati hidup dengan cara dan aturannya sendiri, tapi ketika dia mendapat masalah dia selalu menyeret orang-orang dalam hidupnya dan itulah yang kurang disukai Agit.
“Menurutku harus, apa dia khawatir? Aku tak berniat jahat, sungguh.” Agit mulai merasa tak nyaman, dia mengambil majalah dari tasnya dan memutuskan untuk membaca. Agit tahu itu adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan, dia benci menjawab apapun yang tak bisa atau tak ingin dijawabnya. Masalahnya sekarang Agit tak melihat kesempatan untuk bisa menjawab pertanyaan Devon dengan ‘pertanyaan’.
“Aku ingin membaca dan sepertinya laut memanggilmu untuk berenang.” Agit bahkan tak mau mengangkat wajahnya, padahal itu majalah lama dan dia sudah pernah membaca isinya. Tadi, Agit asal saja mencomot majalah dari rak bukunya. Dia sengaja mengabaikan Devon dan menunjukkan wajah antusias tak alamiahnya pada artikel berjudul (Not) Just a Geek yang berisi profile singkat para cowok nerd yang menurut Agit itu seksi, Agit selalu suka pada cowok bertampang cerdas dan sedikit malu-malu. Apalagi cowok-cowok itu adalah mereka yang berada di belakang layar kesuksesan sosial media, yeah si famous Mark Zuckerberg salah satunya, tapi Agit lebih suka pada David Karp, si founder dan CEO Tumblr. Dari sini harusnya kita bisa menebak bahwa Devon bukan tipe Agit, apalagi Devon berasal dari dunia politik. Agit tak punya alasan untuk memberi kepercayaan padanya.
Sayang, Devon sepertinya tak ingin menyerah.
“Kamu tahu, kadang aku merasa kamu seperti ibuku ... “
Hah? Agit nyaris naik darah! Agit dipikir kayak emak-emak?
“Kalian sama-sama guru, suka sekali membaca. Seharusnya kamu tak terjebak di sini. Kamu harus tinggal di tempat kamu bisa menemukan banyak buku. Toko-toko buku, perpustakaan, juga galeri seni. Aku tahu kamu adalah tipe yang tertarik kepada seni. Matamu berbinar ketika melihat sesuatu yang indah.”
Agit lama bisa mencerna dan mengerti apa yang Devon katakan, tapi setelah itu dia mengangguk-angguk pelan. Entah apa yang harus Agit katakan untuk merespon kata-kata Devon, dia sungguh tak punya ide.
“Kamu dan ibuku pasti akan cocok satu sama lain. Devon mengambil majalah dan menutupnya. Kalian akan membahas Les Miserables, The Great Gatsby, Anna Karenina. “
“Hey Devon, kamu lihat gadis di arah jam tiga? Dia memperhatikanmu.” Gadis sintal berkulit cokelat dengan anting sebesar gelang yang menurut Agit tidak cocok dengan suasana pantai, nampak tengah memperhatikan Devon. Gadis-gadis seperti itu banyak di sekitar pantai dan seseorang seperti Devon adalah target mereka. “Berikan senyummu,” Agit setengah berbisik, tapi Devon malah memandanginya dengan antusias. “Kamu kemarin dan hari ini berbeda.”
“Kamu hanya melihatku dengan sudut pandang berbeda, kemarin di rumah aku adalah si gadis yang memakai tank top dan hotpants, dan kamu terkejut ketika aku di sini. Aku bekerja di sini, memakai jilbab dan baju sopan. Dan sekarang...” Agit merentangkan badannya dan mengamati tunik merah hitam casual lengan panjang dan legging sebatas mata kakinya. “Di saat kerja aku berjilbab, semacam seragam.” Dan di luar walau tak berjilbab tapi aku berusaha sopan. Di rumah, selamanya aku dianggap gadis kecil orang tuaku. Di sini, aku tak boleh begitu. Aku sedang berusaha untuk mengubah pola pikirku, ini bukan soal fashion. Ini kenyamanan dan yeah, mungkin aneh buatmu dan jangan bertanya ... kumohon... aku tak ingin menjelaskannya.”
“Bukan itu, tapi sikapmu. Bukan yang kamu kenakan yang menjadikan siapa kamu ... Brigitta ... kamu sedang tidak menjadi dirimu sendiri.” Agit benci ketika seseorang menggunakan nama utuhnya bukan panggilannya. Di rumah, jika orang tuanya memanggilnya begitu, itu berarti dia ada dalam masalah, dan sekarang nampaknya itupun akan berlaku sama. Agit melipat kedua tangannya di dada dan wajahnya tak lagi memiliki ekspresi. Devon berdiri, mengambil ransel pinjaman Agit yang berisi barang-barangnya, karena ranselnya sendiri terlalu besar. Devon mengeluarkan dompetnya dan meminta Agit untuk ke kasir. Dia mengeluarkan kain pantai Bali berwarna kuning dan menyerahkannya ke Agit. “Aku akan ganti baju, dan sebaiknya kamu menungguiku berenang.” Agit memutar bola mata.
***
Maluk-Seteluk, Oktober 2012
Agit minta pulang cepat. Dia tidak ingin berlama-lama di pantai. Jangan sampai mereka melewatkan sunset bersama. Agit tak mau melewati moment romantis bersama seseorang seperti Devon. Sebenarnya dua hari lalu mereka menikmati sunset bersama di perahu sepulangnya mereka dari pulau Moyo. Agit masih bisa mengingat dengan jelas, bagaimana Arika tertidur dan bersandar di lengan Devon. Arika mencari-cari kesempatan. Sementara dia dan Devon duduk saling berhadapan dan berbagi sebuah papan. Marsha dan teman-teman lainnya, duduk agak jauh dari mereka. Agit merasa terintimidasi duduk berhadapan dengan Devon, apalagi dia mulai mengajaknya bicara. Berbicara dengan keras dan setengah berteriak, melawan suara mesin perahu yang bising.
“Aku suka namamu! Dalam bahasaku Brigitta berarti kekuasaan, kamu adalah gadis yang kuat. Itulah yang dibutuhkan oleh perempuan, menjadi kuat dan memiliki kekuasaan.”
Agit kurang suka arti namanya menurut versi orang Swiss. Brigitta, bukan nama yang dipilih oleh orang tuanya karena mereka kebule-bulean. Brigitta adalah dua kata dalam bahasa Sumbawa yang digabungkan. Bri berarti senang dan Gitta artinya melihat. Yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang senang dilihat atau diperhalus menjadi sesuatu yang senang dipandang karena keindahannya. Agit tak mau repot-repot menjelaskannya pada Devon. Agit memilih untuk mengalihkan pandangannya dari pria yang ekspresinya menjadi cerah karena hampir dua menit sekali bibirnya membentuk sebuah senyuman. Agit memutuskan memandang matahari terbenam yang tampak memberi efek ajaib pada langit yang berwarna jingga keemasan. Agit bahagia karena laut selalu memberinya alasan untuk bahagia. Sementara tanpa Agit sadari, bahwa Devon mengambil kameranya dan membidik gambar Agit yang setengah bersandar pada badan perahu dan memandang ke mentari terbenam. Ada dua hal indah terekam di sana.
Di sepanjang perjalanan pulang, beberapa kali Devon mengajak Agit mampir di pantai-pantai yang mereka lewati. Agit sedang dalam mood jelek lagipula demam Agit semakin tinggi. Dia tak ingin menunjukkan betapa dia sedang sakit, mereka akhirnya mampir di sebuah tempat makan sederhana. Agit bahkan tak menyentuh makanannya. Sebenarnya Agit kasihan pada Devon, karena dia merasa telah merusak perjalanannya. Tapi, mau dikatakan apalagi, kesehatannya sendiri toh tak ingin bersahabat dengannya. Mereka akhirnya pulang ke kosannya Agit, tak seperti Agit yang biasa dia tak banyak bicara walau Devon mengajukan banyak topik yang sebenarnya menarik.
Agit duduk di sofa tiupnya yang seperti sebuah balon bundar, sementara Devon bersandar pada sofa itu, itu membuat Agit risih, apalagi dengan postur jangkungnya Devon dan mengingat betapa mungilnya Agit, mereka sekarang tampak dekat dan sejajar dalam posisi ini.
Mereka terdiam dan pura-pura tertarik pada televisi yang memutar film horror lama, The Sixst Sense. Setidaknya bukan drama romantis dimana adegan ciuman dan saling menggoda nyaris menjadi menu utamanya. Untuk pertama kalinya Agit bersyukut televisinya payah karena televisinya tak lagi berfungsi sempurna, layarnya hanya berwarna hijau, itu membuat semua orang tampak seperti monster atau alien. Devon bertanya kenapa televisinya seperti itu, dengan cuek Agit menjawab bahwa televisinya aktif melawan Global Warming—salah satu usaha mendukung program Go Green
Di adegan ketika ibu si Cole tampak sangat frustasi, Agit menggunakan moment ini, dia meniru dialog yang sudah dihafalnya—Agit sudah menonton film ini belasan kali karena Fox Movies memang memutarnya sering kali.
God, I am so tired, Devon. I'm tired in my body. I'm tired in my mind. I'm tired in my heart. I need to sleep.” Suara Agit terdengar serak, ketika Agit bangkit tak sengaja Devon menyentuh lengannya dan dia merasa badan Agit terlalu panas, kekhawatiran terlukis di wajahnya.
“Kamu sakit?”
“Aku akan baik-baik saja, aku harus pergi sekarang, aku akan numpang tidur di tetangga.” Agit tak berbalik, dia hanya menyambar dua handphone-nya. Biasanya dia akan mengecek handphone-nya, tapi malam ini dia bahkan lebih lelah dari ibu yang memiliki anak laki-laki berindera keenam. Mengambaikan sejumlah SMS dan missed call di handphone-nya. Agit memakai mode silent, dia hanya ingin tidur tanpa terganggu, walau menumpang tidur di kamar tetangga sebelah saat sakit tidak memberi kenyamanan, tapi tidak ada pilihan lainnya. SMS-SMS di handphone-nya bertambah banyak dan itu berasal dari satu orang. Di suatu tempat di sana, ada kecemasan seorang Arika, yang berpikir kejadian romantis kemarin malam bersamanya tengah terjadi antara Devon dan Agit. Bukti bahwa dia bukan sahabat sejati Agit, karena jika dia mengenal Agit secara baik, maka dia tak perlu berpikir picik.
Agit tak mungkin jatuh cinta pada orang yang baru ditemuinya. Tidak ada orang waras yang berniat jatuh cinta pada orang yang dia tahu takkan pernah lagi bisa dia temui.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar