Date a girl who reads

Date a girl who reads

Senin, 10 November 2014

Cerber: Saudara Sejiwa (2)


Seteluk, Maret 2009- Pertengahan 2012
Mulai pertengahan Maret 2009, Agit seolah tak lagi memiliki kehidupan nyata. Ralat. Kehidupan nyatanya hanya sebatas sembilan puluh menit di sore hari pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Itu jadwal mengajarnya, di sebuah SMA baru yang masih menumpang di gedung SMP dan hanya memiliki tiga kelas, dan setiap kelas berjumlah tak lebih dari dua puluh anak. Secara pendidikan dia seharusnya mengajar Pendidikan Kewarganegaraan tapi pada prakteknya dia mengajar Sosiologi, hanya karena dia anak bawang dan pendatang, belum lagi karena kepentingan mereka yang berstatus guru profesional dan bersertifikasi jadilah dengan tidak rela tapi pura-pura memasang sikap ‘Okay nggak masalah’ karena ... siapa coba yang nggak mengalah kalau mereka sudah mengeluarkan mantera pamungkas “Kan, mbak Agit belum menikah, belum ada tanggungan, ya bantulah saya, ya cuma ini caranya supaya tunjangan sertifikasi saya dibayar.” Ya, semua orang butuh uang tapi Agit butuh belajar tentang kehidupan, dan itu adalah pelajaran kecil yang didapatkannya.
Agit hanya hidup secara nyata untuk siswa-siswanya, selain itu dia akan menyembunyikan wajahnya di balik buku, handphone, atau netbook-nya. Bukannya Agit anti sosial atau semacamnya, dia hanya merindukan mereka yang ada di kejauhan, karena orang-orang yang berada di sekitarnya, menganggapnya seperti makhluk hologram.
Kos-kosan pertama Agit di kampung itu hanya sebuah kamar kecil yang dulunya adalah garasi yang beralih fungsi menjadi toko dan perubahan terakhir resmi menjadi kamarnya. Bagian kecil dari rumah yang dijaga oleh seorang janda yang dipanggil Aya —yang berarti bibi dalam bahasa halus Sumbawa bagi mereka yang berdarah biru. Aya ini memiliki seorang putri yang hanya dua tahun lebih tua dari Agit, namanya Tanti dan seperti ibunya, perkawinan usia mudanya juga kandas. Pemilik rumah tersebut adalah Gyan, anak berumur tiga belas tahun, yatim piatu malang yang bahkan juga kehilangan ibu angkatnya. Ibu angkatnya yang dipanggil mami adalah pemilik asli rumah bergaya semi oriental itu. Tapi, mami meninggal saat umur Gyan sebelas tahun tinggallah Gyan diasuh oleh sepupu mami itu. Mami memiliki seorang putri tunggal yang sekarang tinggal di Maumere bersama suaminya yang berkebangsaan Jepang. Karena itulah mami akhirnya mengangkat Gyan sebagai anak. Mami adalah pribumi asli, tapi mami yang eksentrik itu tergila-gila pada berbagai hal yang berbau oriental, dari foto-foto yang menampakkan wajahnya di tembok rumahnya bisa disimpulkan bahwa beliau mengidentifikasi dirinya seperti wanita keturunan Cina atau Jepang, obsesi yang akhirnya diwujudkan oleh Memey putrinya.
Agit berusaha beradaptasi di rumah itu, tapi keadaan tak memungkinkan. Tidak ada kesamaan antara dirinya dengan penghuni lain di tempat itu, termasuk dengan Ninda yang dulu satu SMA dengannya yang juga menyewa kamar di sana atau dengan Oni, cowok pemalu yang langsung menutup pintu tiap kali bertemu muka dengan Agit. Jadi, untuk mengatasi kesepiannya Agit mengubah jadwal hidupnya. Dia akan terjaga sepanjang malam dan mulai tidur setelah sholat Subuh, jam dua belas siang barulah dia bersiap-siap ke sekolah, mengajar sepenuh hati jika dia ada kelas dan menjadi Zombie sesudahnya karena kehidupan sekolah seakan tak mengundangnya untuk bersosialisasi dengan jajaran rekan kerja lainnya.

Betapa dia merindukan sahabat-sahabatnya yang masih betah berstatus mahasiswa, Agit kesal kenapa harus wisuda lebih dulu dan menghadapi kehidupan penuh tanggung jawab terlalu cepat. Tapi, Agit anak pertama dia punya tanggung jawab yang tidak harus dipikul oleh teman-teman lainnya. Kadang Agit berpikir dia bisa lebih nyaman berada diantara sahabat-sahabatnya dibanding di tengah keluarganya, di rumah dia merasa terintimidasi karena harus selalu berprestasi dan berprestasi atau melakukan sesuatu yang berarti, “Jangan menyia-nyiakan hidupmu! Lihat apa yang terjadi kepada orang tuamu!” Dari cerita yang diketahuinya bahkan ketika dia masih begitu belia, orang-orang selalu berkata betapa ayahnya ketika semasa sekolah begitu cemerlang, cerdas dan luar biasa tapi begitu suka menikmati segala hal yang ditawarkan kehidupan—salah satu penyebab kegagalannya. Sementara, ibunya adalah tipikal gadis dengan banyak teman, kreatif dan aktif. Orang tuanya adalah pasangan yang terlihat sempurna bersama, tapi pernikahan usia muda harus mereka tukarkan dengan kandasnya impian dan keberhasilan yang harusnya menjadi milik mereka. Dan, itulah hal yang tak boleh diulangi oleh Agit, walau Agit berpikir betapa menyenangkan seandainya bisa sukses di usia muda dan menemukan jodoh di saat usia bahkan belum menginjak dua lima, tapi ... namanya kehidupan, kamu tidak bisa mendapatkan semua keinginan di saat yang bersamaan.
Agit memang pantang menyerah dan pantang menyesal. Agit akhirnya mengubah banyak hal dalam hidupnya. Pertama-tama dia mulai pindah kosan, menata hidupnya, belajar jadi vegetarian tapi hanya bertahan beberapa bulan karena Agit terserang demam tifus. Agit menghabiskan banyak waktu untuk membuat banyak cerpen juga novel. Agit menghubungi teman-teman yang pernah ditemuinya, sebagian besar sibuk, sahabat terbaiknya malah menghindarinya dengan cara yang tak dimengertinya, sejujurnya itu membuat Agit terluka. Dan, satu-satunya yang masih tersisa  adalah dia si ‘biangnya masalah’ mbak Arika namanya.  Entah karena kasihan atau memang peduli Agit memilih merangkulnya. Kebutuhan akan ikatan persahabatan antar perempuan mengubah hubungan mereka jadi ikatan persaudaraan.  Sedikit pesan, karena darah masih lebih kental daripada air, seharusnya Agit memiliki alasan untuk waspada.
 Hal lain yang Agit lakukan adalah membuka dirinya, menambah jalinan pertemanannya yang baru, bukan terus menerus mengharapkan mereka yang seolah tertinggal di masa lalu. Agit tahu pasti manusia adalah makhluk sosial tapi seiring berjalannya waktu dan sekolahnya sudah memiliki dua belas kelas. Agit  tak banyak lagi memiliki banyak waktu untuk bersosialisasi di dunia nyata. Maka, dia memutuskan untuk mengikuti jejak Marsha— adiknya, dia membuat akun di CouchSurfing yang dia aktifkan di saat liburan semester. Minimal dia bisa memperkenalkan pulau kecil kurang terkenalnya kepada dunia, dan yeah bertukar pengalaman dan menambah teman bisa jadi bonusnya. Selain itu ... Agit memang bosan kesepian. Ini tahun keempat dia menjalani hidup di tempat orang, dia seharusnya melakukan sesuatu agar tidak bosan. Namun, seperti yang kita tahu setiap keputusan memiliki sesuatu untuk ditukarkan. Dan Agit mungkin menukarnya dengan sesuatu yang menjadi sebuah kesalahan.
***
Mataram, Agustus 2009- Pertengahan 2012
Setelah Agit wisuda, Retta memutuskan untuk pindah, mencari suasana baru. Memang masih ada teman-teman lain di kosan itu, tapi tanpa Agit ada yang kurang di hidup Retta. Retta memutuskan untuk pindah di kos campuran, kos yang hanya berisi para perempuan memiliki lebih banyak masalah dan yang pasti kurangnya kebebasan. Tapi, kebebasan seperti apa lagi yang Retta butuhkan? Retta merindukan saat dia dan Agit harus menyusun siasat buat bisa ‘minggat’. Senin, Rabu dan Jumat malam, kadang di saat bosan mereka akan manjat gerbang untuk menikmati ladies night di sebuah club di Sengigigi. Bukan buat apa-apa hanya untuk menjadikan insomnia mereka lebih berkualitas saja. 
Kehidupan Retta mulai membosankan, putus nyambung dengan pacar berbeda, perkuliahan yang mulai membuatnya tak betah, info jurusannya yang mau dihapuskan lah, sampai dosennya yang tiba-tiba ke luar negeri ngambil gelar doktornya, apalagi komentar teman-temannya yang kebanyakan cowok yang tidak menghormati kesetaraan gender. “Alah, kuliah tinggi-tinggi entar juga berfungsinya di kasur, dapur sama sumur.” Sumpah Retta gerah dengarnya, Retta berhak jadi wanita karier sukses dan Retta juga punya kemampuan lainnya. Retta adalah penari yang hebat dan Retta yakin Retta pasti dapat menggapai mimpinya. Setiap keinginan memerlukan kesabaran dalam proses pencapaiannya, hanya saja sayangnya ... Retta kadang menyepelekan kekuatan kesabaran.
Retta pada akhirnya mengambil keputusan yang sebenarnya tidak buruk tapi juga kurang bijaksana. Ya, Retta berkuliah di Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah, dia yang berjurusan IPS di SMA terang saja merasa berada di tempat yang salah. Retta juga bukan tipe orang yang antusias terhadap ilmu pengetahuan. Apa yang memusingkannya dia coba sederhanakan menjadi sesuatu yang bisa disubstitusi dengan hal lainnya. Tapi, ternyata dalam pendidikan itu tidak berlaku, eiiiiits belum tentu, sekarang Retta belum menemukan pintu untuk keluar dari masalahnya. Pintu mungkin saja tertutup tapi jangan sepelekan jendela yang terbuka lho ya. Retta memilih cuti dan bekerja di sebuah perusahaan finance. Retta malu sama mamanya yang harus banting tulang, jadi dia berusaha mendapatkan penghasilan untuk membiayai, minimal kehidupannya. Cuma Retta belum bilang kalau dia cuti kuliah jadi mamanya masih saja membiayai kehidupannya, dan menurut Retta anggap saja itu bonus. Bukankah pesan mamanya dulu bukan “Cepat wisuda, ya nak!” tapi “Kuliah yang bener, ya nak.” Paham perbedaannya kan? Retta ‘masih kuliah bener’ sepanjang mamanya nggak tahu kalau dia cuti dan sudah bekerja.
***
Seteluk, Pertengahan  2012
Berdiri di atas kaki sendiri, merasakan bagaimana menjadi mandiri. Bukan hal mudah bagi Agit yang kadang manja dan perlu didengarkan, dia selalu membutuhkan teman bicara, walau apa yang dikatakannya bukanlah hal penting untuk didengar. Sementara hal remeh temeh bikin dia nggak berhenti ngoceh, Agit memiliki banyak energi ketika bicara, bahkan olok-olokan di rumahnya mengatakan bahwa Agit hanya akan diam ketika tidur, eh tapi nggak juga sih. Agit sering kali mengigau. Agit itu aneh, hal-hal penting justru tak pernah dia bicarakan dengan siapapun yang dikenalnya tapi dia suka membicarakan hal yang sangat penting sampai rahasia terdalamnya kepada orang yang tidak dikenalnya secara nyata, dia selalu memiliki teman virtual yang dikenalnya dari media sosial atau seseorang yang datang sebentar lalu pergi, dia nyaman mengatakan hal-hal itu kepada mereka, karena yakin mereka akan melupakannya dan yang terpenting, Agit takkan bertemu mereka lagi.
Seharusnya energi bicara banyak itu disalurkan untuk sesuatu yang berarti, mungkin jadi penyiar radio misalnya. Tapi, tempat Agit tinggal sekarang hanyalah kecamatan kecil, nggak ada stasiun radio. Lagipula, kalaupun ada Agit tentu nggak diterima. Pengalaman ketika cari kerja tambahan pas kuliah dulu, Agit mencoba melamar di sebuah radio baru, merasa selera musik bagus, punya pengetahuan yang yeah cukuplah, serta energi berbicara yang tak ada habisnya membuat Agit pikir dia bisa mendapat pekerjaan itu. Anak-anak jurusan Bahasa Inggris di kampusnya banyak juga yang jadi DJ di radio, padahal mah selera musik mereka menurut Agit payah, karena masak penyiar nggak bisa membadakan lagu Summer Night-nya Olivia Newton-John  dan John Travolta sama Summer Sunshine-nya The Corrs. Agit yang sudah over pede dapat pekerjaan itu harus mendapat pukulan kekecewaan. “Antusiasme di musiknya si okay, cuma suaranya mbak tuh yang ... berasa kayak dengerin suara anak manja yang kolokan, terlalu tipis suaranya.” Mereka nggak tega bilangin Agit cempreng. Tapi, bukan Agit namanya kalau kecewa terlalu lama.
Karena itu kadang ketika Agit ingin berbicara tapi tak ada teman bicara maka dia mulai menuliskannya di tembok facebook, karena kalau ngomong sama tembok beneran bikin dia merasa gila. Sementara di facebook, minimal dia dapat tanda jempol, itu sebelum ada tanda jempol kebalik dan juga dapat komentar-komentar yang aneh. Hampir sebagian besar waktu Agit buat menulis apa isi otak dan hatinya, tapi dia males chatting, lebih suka update status, dan enggan juga memberi komentar ke teman-temannya. Di media sosial Agit itu egois, pengen direspon statusnya tapi cuek dengan milik orang lain.
Agit sadar bahwa dia bersifat kayak gitu gitu setelah dapat pesan dari mas-mas yang jadi temennya gara-gara mereka sekelas pas ikut diklat prajabatan. Mas-mas itu protes karena berandanya dipenuhi status nggak jelas dari Agit, mas itu nyaranin, daripada bikin status sepanjang artikel koran. Kenapa nggak bikin sesuatu yang bisa dinikmati dan dibaca? Jadilah, Agit berprinsip tak bisa dikatakan maka akan kutuliskan. Dia membuat novel tentang remaja, bukan hasil dari imajinasinya yang luar biasa sih tapi dari kumpulan pengalaman-pengalaman  dalam hidupnya yang diceritakan dengan lebih menyenangkan dan berakhir lebih bahagia. Itu jadi semacam terapi buat jiwanya yang agak nggak beres. Setidaknya itu membuat perasaannya lebih baik dan siapa yang menduga pada akhirnya penerbit nasional menawarkan untuk menerbitkan novelnya setelah dia iseng mengikuti lomba. Agit seringkali beruntung.
***

Mataram, awal 2012
“Retta, aku kangen .... “ Suara Agit di seberang, seandainya tadi dia tak mengangkat teleponnya. Dia tahu Agit akan berbicara panjang lebar tanpa henti.
“Aku baru bangun Git, telpon nanti, boleh?” jawab Retta yang masih mengantuk, padahal itu jam lima sore. Belakangan Retta lebih banyak teler daripada sadarnya, itu bukan keinginan Retta tapi pengaruh pacarnya memang begitu luar biasa.
Dan telepon di seberang mati. Agit dan Retta biasanya saling menelpon setiap hari atau berkirim pesan disaat mereka hanya punya paket SMS gratisan. Tapi, itu dulu-dulu sekali, hanya beberapa bulan di saat awal mereka berpisah. Retta berpikir bahwa Agit begitu sibuk dengan ‘pekerjaan penting-sombong-mencerdaskan –kehidupan-anak-bangsanya’ juga jadi penulis novel remaja yang ... Retta memang membeli buku bikinan Agit, tapi buku itu menurut Retta sama sekali nggak spesial, biasa aja. Buku itu menjadi ‘penting’ hanya karena Agit yang adalah temannya adalah si penulisnya, selebihnya ... biasa aja. Terlalu remaja! Atau apa karena dia telah dewasa dan Agit ... masih terjebak dengan pikiran umur belasannya! Agit memang tidak akan pernah dewasa di mata Retta, Agit ya Agit, gadis childish yang memang begitulah adanya.
Tapi, kalau mau jujur Retta berpikir bahwa memang susah untuk ikut menikmati kebahagian yang diraih sahabatnya di saat dia begitu ingin lepas dari hidupnya yang serba berantakan. Keengganan Retta berhubungan lagi dengan Agit adalah karena Agit kini punya teman-teman baru. Retta melihat foto-foto Agit, di pantai, hutan, pulau, gunung, tempat hang out, dengan orang-orang baru. Ada orang-orang yang Retta kenal, tapi kebanyakan Retta sungguh tak tahu. Bagaimana bisa kehidupan sosial Agit bisa meluas dengan cara yang tak dipahaminya. Retta kenal Agit, sangat mengenalnya. Tak mudah bagi Agit untuk membagi hidupnya dengan orang yang baru dikenalnya, siapa cowok-cowok bule itu? Siapa cewek-cewek eksotis itu? Siapa mereka yang bisa membuat Agit tertawa dan tersenyum lebar? Agit tengah berbahagia, dan di sini Retta merasa sangat merana.
Belum lagi Retta harus menerima bahwa hantaman ini membuatnya nyaris menyerah. Kampus akan mengeluarkan surat DO, dia sudah harus mencari pekerjaan baru, pacarnya yang membuat hidupnya seolah menjadikan dia sebagai semesta dari masalah, serta rasa bersalah kepada mamanya. Bagaimana Retta harus menghadapinya? Untuk saat ini dia merasa seakan sendiri.
            Ada keinginan untuk menelpon teman-temannya, sekedar berkeluh kesah, tapi ... Retta tahu apa yang akan terjadi, mereka akan menyalahkannya. Sulit sekali bertoleransi apalagi berusaha memahami masalah yang tengah dia hadapi. Sebenarnya Retta tahu solusi masalahnya tahu bagaimana menyelesaikannya. Hanya satu masalahnya, dia tidak ingin mengakui betapa langkah yang diambilnya adalah langkah terburuk yang pernah dipilihnya. Retta tahu ini bodoh, mengharapkan waktu berputar seperti sedia kala. Andai dia kuliah benar, andai dia memilih pacar yang bertanggung jawab, andai dia tidak pernah merusak kepercayaan mamanya. Andai, betapa menyedihkan kata itu.
***
Mataram, Akhir 2012
Retta sungguh merindukan Agit, tapi bagaimana? Selama itu Retta nyaris menghilang. Retta menghabiskan waktu hanya dengan pacar brondongnya, dunianya hanya sebatas Arden, Arden, dan Arden! Apalagi belakangan Retta nggak ada pas Agit membutuhkannya. Sesekali Retta tahu keadaan Agit ketika Retta melihat status facebooknya. Dan masalahnya— Retta tak tahu harus menimbang yang mana untuk dibela. Agit adalah sahabatnya dan mbak Arika adalah sepupunya. Bahkan Retta yang memperkenalkan keduanya, Retta-lah yang menghubungkan keduanya dulu pas dia dan Agit masih kuliah semester satu, hingga mereka memiliki hubungan seperti saudara dan sekarang mereka bermusuhan karena ... Agit belum memberitahu masalahnya, Retta paham Agit bukan orang yang akan menceritakan masalah seriusnya, tapi dari pihak mbak Arika, Retta seakan diminta untuk ikut serta membenci Agit dan siapapun yang mendengar cerita dari versinya akan berkesimpulan bahwa Agit adalah cewek murahan yang putus asa. Retta tak ingin percaya.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar