Date a girl who reads

Date a girl who reads

Rabu, 01 Juli 2015

[Cerpen] Pertemuan dengan Gadis yang Ada Dalam Pikiran




Aku pernah bertemu dengan seorang gadis. Gadis yang setelah beberapa minggu setelah kami berpisah mengirimiku pesan. Gadis yang mengaku bahwa dia jatuh cinta padaku dengan sangat mendalam. Isi pesannya membuatku kebingungan, dia menyampaikan perasaannya dengan cara yang muram dan dia merasa perasaan itu membuatnya tertekan. Tak seperti perempuan kebanyakan dia bahkan, tak menginginkan sebuah hubungan atau bahkan kesempatan kencan. Jadi, pesannya tak pernah kukirimkan balasan.

            Aku ingin melupakan gadis itu― gadis yang ditangannya selalu menggenggam buku. Tapi apa dayaku, ada hal dari dirinya yang menarik tapi juga mengganggu, nama gadis itu ... Bolehkah hanya jadi rahasiaku?

            Kupikir aku sedikit menyukai gadis itu karena, sepertinya dia dilengkapi dengan pengertian langka yang bisa dimiliki oleh seorang gadis. Selang beberapa waktu setelah pertemuan singkat kami yang hanya kurang dari seminggu. Sekarang, aku bahkan sudah berada di benua berbeda. Di sebuah negara yang memiliki kota kecil tempat kelahiran kelompok musisi yang menjadi legenda. All You Need is Love adalah salah satu lagunya. Nah, mungkin gadis itu tahu aku akan pergi jauh jadi otak realistis miliknya mengajukan pertanyaan, "Apa yang bisa kuharapkan dari lelaki yang baru kukenal yang akan meninggalkanku beribu-ribu kilometer jauhnya?"


            Sebut aku egois atau ungkapan apapun yang mungkin akan terdengar sadis. Tapi buatku, seorang lelaki harus memiliki seperuh waktu dari hidupnya untuk mengejar mimpi. Mungkin kebanyakan orang berpikir cukup untuk menjadi seorang analis bisnis di sebuah perusahaan negara, namun tidak buatku. Jadi, ketika peluang beasiswa itu datang, kupikir ada yang harus dikorbankan untuk gelar MSc di bidang Digital Business Enterprise Management. Termasuk, kesempatan menggunakan perasaan. 

            Sepanjang hidup yang kulakukan hanya menggunakan otak. Ya, belajar, belajar, belajar dan nyaris belum pernah jatuh cinta. Cinta? Pada akhirnya seorang lelaki butuh untuk menikah, baik dengan dan tanpa cinta. Jadi, buatku itu nyaris tak berguna. Rencanaku, mungkin menikahi seorang gadis Denmark untuk memudahkanku memperoleh kewarganegaraan di Eropa. Aku berniat untuk berkarier di sini, di kota yang terencana baik, dengan arsitektur menarik dan yang jelas memiliki pemandangan matarhari tenggelam yang cantik.

***

            Setelah perkuliahan melelahkan juga membosankan dari dosen tamu asal Prancis yang sulit kumengerti. Kusempatkan diri mampir ke perpustakaan publik yang tak jauh dari flat-ku. Aku menatap jam tanganku dan memperkirakan masih ada kurang dari dua jam sebelum tutup. Aku mempercepat langkahku dan kumasuki bangunan bata yang telah lebih seabad usianya. Di lorong aku bertemu teman sekampusku, Patricia―gadis cantik-eksentrik asal Ekuador yang menatapku dengan pandangan mencela namun prihatin.
            "Kau tampak seperti Zombie kelelahan. Kau butuh tidur dan berhentilah memburu nilai A." Dia memutar bola matanya lalu mendengus, " pergilah ke tempat yang tak terlihat orang lain, mintalah pintu maka akan dibukakan untukmu." Lama bagiku untuk mengerti apa yang dibicarakannya, entah lelucon, entah omong kosong. Tapi, beberapa orang tahu bahwa Patricia tergila-gila pada sihir Wicca.
            "Wow, thank you Professor Trelawney." Kataku dalam nada bercanda.
            "Aku serius dengan perkataanku. Jangan sampai kau mati konyol dan mayatmu kembali tanpa gelar ke negaramu." Dia berbicara dalam nada sarkas yang keras dan berlalu dengan diiringi bunyi gemerincing dari gelang kakinya.
            Aku tersenyum dan melambaikan tangan di udara pada punggungnya. Mungkin dia benar, bercangir-cangkir kopi memang bisa mengurangi keinginanku akan tidur tapi sekarang tubuhku seakan melayang dan tak ada yang lebih kurindukan selain tempat tidur nyaman yang sebaiknya kulupakan demi esai dan nilai A kebanggaan.

***

            Aroma buku mengingatkanku pada gadis yang tengah memanggilku dari dalam kepala. Di pertemuan pertama kami, gadis itu tengah mengulang novel The Great Gatsby, kupikir itu bacaan bagus sebagai dongeng sebelum tidur.
            Sialan, aku tak bisa menahan kantukku. Dan otak tengah mengkhianatiku, karena tengah mempertimbangkan saran dari si aneh Patricia. Aku berjalan menjauh dari pandangan orang yang lebih fokus pada buku yang dicari atau tengah mereka baca. Jadi, kusentuh dinding yang dingin dan berharap … entah bagaimana bisa kupercaya ketika kenop pintu berada dalam genggamanku dan aku tengah memutarnya?

***

            "Hai," sapa gadis yang selalu ada dalam pikiran tapi terus menerus kuabaikan. Dia bangkit dari kursi kayu pink berbantal mungil dengan motif bunga.
            Aku memandang sekelilingku, kami berada di sebuah tea room dengan wallpaper bunga dan beberapa rak buku di dindingnya. Ini mungkin bukan tea room, ini seperti perpustakaan mini dan ruangan pribadi.
            "Aku mengikuti kelinci dan terperosok di sini. Aku bukan Alice!" Dia menjelaskan dalam nada heran.
            Aku mengusap mataku dan memandangnya lekat-lekat. Dia seperti yang kuingat, tak bisa dikatakan cantik tapi menarik. Dia berkulit keemasan, menggunakan gaun hitam sebatas lutut, dan rambut dikepang ke samping, bersepatu datar, dan ada rasa antusias juga kegembiraan terlukis di wajahnya. "Aku suka tempat ini," dia berjinjit dan berbisik di telingaku, setelahnya dia duduk di kursinya, menyesap tehnya dan kembali membaca.
            "Kau boleh duduk kalau mau," katanya tanpa mengangkat wajah dari bukunya. Dia tengah membaca novel remaja berjudul Before I Die karangan Jenny Downham. Sekarang wajahnya terlihat sedih dan muram.
            Aku memilih duduk di sofa depannya. Kupikir sebaiknya aku berbaring dan mengabaikan godaan cream tea dan juga red velvet, yang kubutuhkan adalah tidur dan melepas lelahku. Tapi, ada gadis yang mencintaiku dan dia bertingkah tak acuh. Ini membingungkanku. Aku bangkit dan menatapnya, sebaliknya dia malah membalik halaman bukunya dan meneruskan membaca. Sekarang di tangannya bukunya berubah menjadi Pride and Prejudice. Aku menggeleng dan berpikir apa yang tengah terjadi di sini. Hingga aku mengajukan pertanyaan terbodoh yang bisa otakku pikirkan.
            "Kau mencintaiku?" Kuharap gadis itu menatap wajahku dan menjawab dengan malu-malu.
            "Tentu, tapi tak sebesar cintaku untuk Mr. Darcy." Dia mengabaikanku. Dia bahkan tersenyum malu justru pada si buku.
            "Bagaimana bisa kau ada di sini?" Aku menatap pada puncak kepalanya yang tengah menunduk.
            "Si kelinci mengatakan bahwa kamu terus menerus berpikir tentangku. Bisakah itu disebut rindu?" Dia mengajukan pertanyaan yang sulit untuk kujawab.
            Aku menghela nafas dan kesulitan untuk tetap sadar. Kantuk menyiksaku tapi mungkin inilah kesempatan satu-satunya untuk bisa bertemu gadis yang selama ini hanya selalu ada dalam kepalaku.
            Sebuah ide melintas di kepalaku dan tak lama musik mengalun, sebuah lagu Real Love dari The Beatles.
            "Mau berdansa denganku?" Jujur, aku malu saat mengatakannya.
            "Itu lagu favoriteku," katanya masih tanpa menatapku. "Tapi aku harus menyelesaikan bukuku." Sekarang dia tengah membaca Oliver Twist.
            "Apa maumu?" aku terdengar tak sabaran.
            Kali ini gadis itu mengangkat wajahnya dan menutup buku lalu meletakkannya di pangkuannya. Kali ini adalah The Casual Vacancy.
            "Aku juga tak tahu. Mungkin bertemu denganmu cukup untukku." Katanya ragu.
            "Apa kau ingin aku membalas pesanmu?"
            Dia menggeleng
            "Apa kau mau aku membalas perasaanmu."
            Dia tersenyum namun menggeleng.
            "Sulit mencintaimu yang terlalu sibuk mengejar mimpi yang bahkan lupa bahwa dirinya sendiri juga butuh dicintai." Dia berkata lirih dan memandangku dengan sedih. "Tolong jaga diri. Kamu kadang terlalu menyiksa diri sendiri."
            Aku tertawa, mengejek diriku, mengejek dirinya yang sok tahu. Tak lama yang kutahu aroma kopi mampir di hidungku dari gelas plastik yang masih mengepulkan uap panasnya―membangunkanku dari atas tumpukan tugas kuliahku. Samar-samar kudengar gemerincing gelang kaki perlahan menghilang di kejauhan yang berganti dengan pengumuman bahwa jam kunjung perpustakaan akan berakhir dengan segera.


1 komentar:

  1. Wow! AMazInG! Keren banget promptnya bisa jadi seperti ini. :D

    BalasHapus