Date a girl who reads

Date a girl who reads

Jumat, 03 Juli 2015

Ketika Tuhan Mengabulkan Doaku





                "Apa yang kamu minta dalam doamu?"
                "Agar aku bahagia selalu?"
                "Misalkan, bahagia hanya mau datang padaku jika aku tanpamu."
                "Maukah kamu meninggalkanku?"
                Penggalan-penggalan kalimat tegas dari bibir Banu, masih teringat jelas. Seakan telingaku masih mampu mendengarnya. Kedua mataku seolah masih bisa melihat wajahnya, bahkan untuk detail terhalusnya. Dalam ingatanku yang seringnya kuragukan, ternyata peristiwa yang menancapkan luka terdalam sulit dihapuskan. Perempuan memang bisa melupakan kuncinya, tak pernah ingat dimana meletakkan kacamatanya, bisa juga terlalu lelah untuk memasukkan hal-hal kecil penting ke dalam kepalanya. Tapi, jika itu menyangkut perasaan, ingatan itu seakan abadi untuk selamanya.
***

                Di usia sembilan belas tahun aku jatuh cinta pada orang yang sungguh sempurna di mataku. Namun, ketika usiaku dua puluh dua tahun, yang kutahu aku telah jatuh cinta pada orang yang salah. Perlu waktu lama untuk menyadarinya. Tapi memang, siapa yang bisa berpikir benar ketika cinta meracuni kesadaran?
                Tumbuh remaja dengan kepercayaan diri yang rendah adalah sebuah bencana. Sulit bagi remaja yang ditelantarkan orang tua untuk mengenali apa itu cinta yang seharusnya. Dibesarkan oleh lagu, novel dan film yang mengatakan bahwa cinta mampu memenangkan segalanya. Dengan naifnya aku percaya saja. Dan kesimpulanku tentang cinta sungguh layak ditertawakan. Aku percaya saja pada kutipan yang mengatakan bahwa cinta adalah ketika kebahagiaan orang lain adalah sumber kebahagiaan kita.
***
                "Aku cinta padamu." Kata itu diucapkannya dalam tempo singkat, beberapa detik saja. Sementara untuk mendapatkannya, tahukah kalian apa yang harus kutukarkan? Malam-malam penuh kegelisahan ketika dia meminta satu hal yang sulit untuk kukabulkan; keperawanan. Di usia itu yang kutahu itu bentuk pengorbanan, sekarang yang kusadari bahwa dia tak menyukaiku, dia hanya tertarik secara seksual. Tidak lebih!
                Semuanya baik-baik saja saat aku dimabuk cinta. Aku tak merasa sakit ketika tamparan mampir di pipiku. Itu cuma caranya mengekspresikan cemburu, ketika ada pria lain yang bicara padaku. Kata-kata kasarnya tak menyakiti telingaku tak juga menggores hatiku, karena aku tahu akulah alasannya dia begitu. Ketika ada barang yang pecah, sesuatu yang dilemparkan atau hantaman yang mampir pada benda sekitar. Aku menyebut pacarku beraliran romantis brutal, dan hari ini, bagiku dia adalah seorang kriminal.
***
                Menikahinya di jelang usia dua puluh dipikiranku bahwa; Alina dan Banu memang tercipta satu dan lainnya― untuk selamanya. Otak tololku dengan bodohnya merangkum kisah cinta kami seperti ini; Jatuh cinta pada pandangan pertama, merayakan cinta dengan penuh suka cita―lupakan nilai moral, etika, apalagi agama. Hamil jadi alasan untuk menikah agar bisa bebas dari keluarga tak bahagia untuk membentuk keluarga baru yang sempurna. Usia muda? kita perlu membuat kesalahan yang menjadi penyesalan. Bukankah hidup guru yang tegas, ujian dulu baru ambil pelajarannya? Modal kami sederhana saja; cinta, cinta, dan cinta. Bukankah itu lebih dari segalanya?
***
                Segalanya berubah sejak kepalaku telah mampu berpikir secara dewasa. Aku yang tadinya hanya perlu meminta ketika menginginkan sesuatu kini harus berusaha. Dan segalanya berbeda ketika putri kami telah lahir ke dunia. Sementara Banu masih menganggap bahwa tanggung jawab hanya untuk mereka yang telah berusia senja. Kedua orang tua meminta kami mandiri, beberapa kali memberi modal usaha juga pinjaman ketika kekurangan. Tapi, tak lagi sejak orang tuaku tahu apa yang mereka berikan habis di meja judi dan narkoba dan orang tuanya juga lepas tangan.
                Kupikir aku tak bisa tinggal diam jadi kuputuskan aku harus berusaha dan hasil memang tak pernah menghianati setiap kerja keras. Toko online-ku yang menjual aneka kosmetik dan juga snack import cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami. Singkatnya, sekarang kami mandiri secara ekonomi. Namun, walau setiaku tetap terjaga tapi buat Banu tak ada lagi kehidupan cinta diantara kami berdua, rasanya hambar dan tak menyenangkan. Ya, akulah penyebabnya! Aku berusaha, hanya saja kami tak punya waktu yang banyak dan tak lagi menemukan minat yang sama. Sementara, bayi kami berada di orang tuanya, karena mereka tak percaya kami mampu membesarkan anak kami sendiri. Itu sedikit membantu karena aku harus fokus pada usahaku. Toh, agar Banu tak perlu meminta lagi pada orang tuanya untuk kebutuhan 'kebahagiaannya'. Banu hanya akan bahagia jika ada penunjangnya. Jika tak ada, akulah korbannya.
                Dan, semakin hari kadar kebahagiannya semakin minta ditingkatkan. Siapa lagi yang bisa mewujudkan kebahagiannya, jika bukan aku istrinya?
                Dengan berat hati aku mengambil keputusan. Banu harus mendapat perawatan untuk menyembuhkan kecanduannya. Sejauh ini aku sudah lelah melihatnya menderita dan hanya bahagia jika cairan 'kebahagiaannya' telah disuntikkan dan mengaliri venanya. Tapi sampai kapan? sampai dia terbunuh, dan aku harus menanggung luka fisik dan mental lebih dari ini? Tidak, cukuplah! Dan inilah pertama kalinya, sejak berbagai kejadian buruk itu, aku berdoa … Tuhan aku ingin Banu bahagia. Karena bahagianyalah sumber bahagiaku. Siapa yang tahu betapa bodohnya doaku. Dan Tuhan begitu mengasihi, Dia mengabulkan doaku. Tanpa kuketahui apa yang sungguh kubutuhkan aku malah meminta apa yang kuinginkan dan lihatlah apa yang kudapatkan.
                Kebahagiaan itu datang dalam wujud teman lama kami, namanya Shania. Shania baru saja kehilangan kekasihnya karena kecelakaan. Sadar bahwa kami tengah mencoba berdamai dengan masalah. Kami berbagi segalanya bersama. Shania bahkan membantu usahaku, mendengar kisahku, sedihku dan segala curahan hatiku. Shania membantu mengobati luka-lukaku. Luka yang kudapatkan ketika Banu terlalu sulit mengendalikan dirinya. Bodohnya aku, kepercayaan berlebihan bisa membutakan. Shania adalah sumber kebahagiaan Banu yang baru. Aku merasa terkhianati dan Shania sebaliknya malah menusukku dengan cara yang kejam sekali.
***
                "Apa yang kamu minta dalam doamu? Agar aku bahagia selalu? Misalkan, bahagia hanya mau datang padaku jika aku tanpamu. Maukah kamu meninggalkanku?" Banu dengan masih berbaring di tempat tidur kami malah melontarkan permintaan yang tak pernah aku pikirkan. Aku baru saja memergokinya membagi tempat tidur kami dengan Shania. Tiga tahun tamparan yang pernah mampir dipipiku bahkan jika disatukan, rasanya tak sebanding dengan tusukan yang sedang merobek hatiku. Sebaliknya Shania tak bicara. Dia hanya memunggungiku. Dengan mengenakkan kimono tidurku, dia duduk di depan meja riasku. Dari cermin yang memantulkan wajahnya yang kulihat tak ada sedikitpun penyesalan terlukis di sana, sebaliknya dia memberi senyuman ketika aku memutuskan meninggalkan mereka berdua.
***
                Setahun berlalu. Aku dan putriku meninggalkan kota kami yang lama, dan memutuskan untuk hidup baru―secepatnya setelah perceraianku dikabulkan.  Satu hal yang kutahu, jangan pernah meletakkan kebahagiaanmu pada orang lain. Letakkanlah kebahagiaanmu hanya pada Tuhanmu.
                Pagi ini aku mendapat telepon yang mengejutkan, dari Shania. Setahun ini kabar mereka―baik Banu atau Shania tak pernah kudengar. Shania memohon untuk dapat bertemu denganku sekali saja. Dengan enggan aku mengiyakan permintaannya.
                Tak ada lagi Shania yang kukenal, dia yang duduk di hadapanku lebih mirip dengan orang lain, seseorang yang jauh lebih tua. Seseorang yang terlihat jauh berbeda. Dia tersenyum padaku, tangannya menggengam erat tanganku.
                "Maafkan aku, karena aku membuat keputusan semauku." Dia berkata dengan suara parau.
                Alih-alih membicarakan pengkhianatannya, dia malah mengatakan seolah ini masalah lainnya. Aku membuang mukaku, tak ingin menatap wajahnya lebih lama. Aku takut rasa iba meluluhkanku.
                "Bukankah kita harus meluruskan masalah kita, bukannya memutuskan tali silaturahmi kita?" Kata-katanya terdengar seperti kata yang mungkin diucapkan oleh seorang sahabat. Tapi, mengingat perbuatannya sulit bagiku memaafkan.
                "Alina … sulit bagimu memaafkanku. Aku tahu." Kedua tangannya masih menggengam tanganku. Ingin rasanya aku menariknya dan pergi berlalu. "Kamu menceritakan semuanya, aku melihat semuanya. Sebagai sahabat kamu sungguh mempercayaiku. Sebagai istri kamu menempatakan suamimu di atas segalanya. Kamu tahu apa kesalahanmu? kamu tak menghargai dirimu dengan cara yang semestinya! Setelah begitu banyak hal yang kamu dapatkan kamu malah menginginkan suamimu mendapat kebahagiaan. Entah kebodohan entah cinta yang membutakan."
                Aku marah karena seorang pengkhianat justru menghakimiku.
                "Alina, aku berterima kasih padamu. Karena di saat terpurukku kamu ada untukku. Dan aku harus menghancurkanmu agar kamu bisa bangkit. Dan yang kulihat aku berhasil."
                Aku tidak membutuhkan motivasi dari orang seperti ini. Aku menarik tanganku dan ingin bergegas pergi, tapi kaki-kakiku yang gemetaran seperti membeku , terpaku di lantai.
                "Aku mengidap AIDS, aku mengetahuinya lebih dari setahun lalu. Maafkan aku jika membelamu dengan cara menyakitkan seperti ini. Inilah satu-satunya caraku untuk menyelamatkanmu dari hubungan yang bisa membunuhmu. Setelah beberapa saat berlalu kuungkapkan hal ini pada Banu dan yeah jika tak menularinya melalui aku, maka pasti melalui jarum suntiknya. Tapi jarum suntik tak bisa membuatmu terbakar cemburu." Shania berbicara dengan perlahan agar aku dapat mencerna kata-katanya. Aku tahu ini terdengar menyakitkan. Aku tahu ini sulit buat kuterima.
                "Selamat menikmati hidup barumu. Aku bangga melihatmu yang sekarang." Shania berbisik di telingaku. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku tak ingin melihatnya.
                Aku masih terpaku, dan sebelum Shania berlalu dia menyempatkan diri memberiku kecupan di pipi. Dari kejauhan barulah muncul keberanianku untuk sanggup memandangi langkah-langkahnya yang ringgih. Satu hal yang ingin kupahami, mengapa harus ada air mata lagi yang kini meleleh di pipi.
                

1 komentar: