Date a girl who reads

Date a girl who reads

Senin, 15 Februari 2016

[Cerpen] Ujian





Kamulah gadis itu, yang gampang bahagia tapi juga mudah gelisah. Bahagia, karena sekitarmu terdiri dari mereka yang bahagia―saudara-saudaramu, juga para sahabatmu. Mereka menularinya dan kamu hanya perlu merasakannya dengan instan dan tiba-tiba. Kamu bahkan tak perlu mengusahakannya. 
Lalu gelisah. Jika gelisah adalah warna maka dia akan bernama Magenta, sewarna darah yang mengering di tanah; memualkan, menakutkan, menjijikan―membuat tertekan. Apa yang membuatmu gelisah? segalanya, lebih seringnya memang karena ketidakpastian. Kamu terlalu takut dikejutkan oleh keadaan.
Kamu bahagia, ketika alarm-mu berbunyi, nyaring sekali, memaksamu terbangun dari mimpi. Namun, bagaimana kamu bisa bermimpi? bukankah sepanjang malam kamu gelisah sekali? Kamu tidak bermimpi, hanya berhalusinasi. Alarm itu hanya pertanda bahwa masih ada kesempatan lagi pagi ini. 
Kesempatan bertalian dengan harapan. Dan pagi berarti, kamu akan semakin dekat dengan apa yang begitu ingin kamu hadapi―apa yang sebenarnya, darinya kami ingin berlari. 
Dari meja kamu meraih botol plastik berwarna biru muda, seingatmu volumenya 1 liter, kemana beratnya? kemana airnya? tumpah? Iya ke dalam tenggorokanmu yang kering dan dahaga. Kegelisahan membuat dalam tubuhmu terbakar, kamu meredamnya dengan menyiramkan air seteguk demi seteguk. Kamu tak kehausan, kamu hanya perlu ditenangkan. Air berguna, sayang melalui keringat dia menguap entah kemana. Seandainya saja dia membawa kecemasan serta.
Kamu tersentak ketika pintumu menjeblak terbuka. Kepala ibumu dan rambut singanya muncul di sana. Kamu gembira dan gelisah di saat yang sama.
"Sudah bangun rupanya." Katanya sambil lalu disaat kamu mengharapkan kata, "Selamat pagi, sayangku. Raihlah hari baru!" Tapi, ibumu tidak seperti itu. 
Tak lama dari tempat ibumu berada, cinta telah menyebar ke seluruh rumah melalui wangi kopi untuk ayahmu, wangi susu cokelat untukmu, juga aroma roti-mentega dengan taburan gula. Cinta ibumu lebih praktis, dia bukan penggemar kata-kata manis.

Panas itu kembali terasa, keluar dari tubuhmu, menyelimuti kulitmu. Kamu mengguyur dirimu dengan banyak air, berharap dia mampu menyejukkanmu. Percuma, panas itu bersembunyi, seperti demam yang tak ingin sembuh. 
Dengan ujung jari berkuku rapi kamu menggosok tubuhmu cepat dan kasar, sakitnya membuatmu tersadar kamu melupakan sabun bayi batangan, bagaimana bisa? seperti kamu melupakan tujuanmu, bahwa yang harus kamu lakukan adalah menyingkirkan sel kulit mati bukan mengharapkan mereka dapat hidup kembali. Kamu kesal, lalu buru-buru menggosok gigi, caramu bisa membuat benda-benda putih mungil itu copot dari gusi.
Kamu menyambar handuk lalu menyelimuti dirimu, pura-pura menggigil. Iya kamu memang mengigil, tapi kamu menolak percaya itu terjadi padamu. Kamu mengeringkan sisa-sisa titik air yang kamu anggap keringat. 
Kamu berpakaian lengkap, bahkan jam tangan telah terpasang,  dan kamu menatap lama pada pantulan wajahmu di cermin. Kamu tersenyum, bibirmu kaku dan beberapa helai rambutmu jatuh dari ikatannya yang mengendur, kamu meraih sisir dan berusaha membuat mereka patuh dalam ikatan erat. Kepalamu sakit karena rambut-rambutmu tertarik dengan cara yang tak wajar. Kamu perlu merasa sakit agar kamu tahu bahwa kamu tak kebas. 
Kamu meraih tas yang telah kamu persiapkan sejak semalam, menenteng sepatu, menuju ruang makan untuk sarapan dalam diam.
"Siap?" ayahmu bertanya.
Kamu mengangguk seadanya, kamu bahagia atas perhatiannya. Tapi segera ada suara marah terdengar dari dalam kepalamu. "Seharusnya kamu menggeleng!" suara itu terdengar marah dan kesal juga terdengar seperti suaramu. Lalu, ada suara dari yang kamu tahu itu bisikan hati yang mencoba menenangkanmu. "Jangan membebankan orang tuamu atas ketidakmampuanmu. Mereka telah banyak berjuang untukmu." Tak lama hatimu kembali diselimuti kegelisahan hanya dalam tempo beberapa detik saja.
Gigimu mengunyah roti yang terasa seperti karpet lembab. Kamu mual, kamu meraih kopi di kirimu yang kamu pikir gelas susu cokelatmu. Tak menyadari hingga rasa tak biasa menyambangi lidahmu. Setelahnya kamu mengucapkan maaf pada ayahmu yang kini menggeser gelas susu agar berada berada dekat denganmu. 
"Terima kasih," ucapmu terbata, lalu membiarkan cairan hangat itu mengalir cepat. Kamu bahkan tak memberi lidahmu kesempatan mengecap.
Ibumu mondar-mandir, dengan seragam kerja yang belum terkancing, memastikan banyak hal telah berada di tempatnya, telah beres seperti standarnya, sesekali mendesah dan menarik napas dengan cara dramatis khasnya. Kamu memandang ayahmu dan iri padanya, iri pada sikap tenangnya. Apa karena kafein dalam kopinya? atau karena begitulah seharusnya seorang ayah bersikap.
Ibumu menarik kursi, duduk di bangku seberangmu sambil menyantap nasi dan sisa lauk semalam yang tak dihangatkan. Ibumu mengunyah, mungkin pas tiga puluh dua kali. Di akhir kunyahan setelah menelan ibumu bertanya. Kamu bahagia.
"Kartu peserta ujian?"
"Ada."
Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya.
"Pensil dan pulpen?"
"Iya, sudah ada."
Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya.
"Rautan pensil dan penghapus?"
"Ada, bu."
Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya.
"Papan ujian?"
"Ada." 
Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya.
"Penggaris ujian?"
"Sudah."
Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya.
"Tipe-ex dan tissue?"
"Hmmm." Kamu mengangguk.
Ibumu menyuapkan nasi dan lauk, mengunyah tiga puluh dua kali lalu bertanya lagi.
"Jam tangan?"
Kamu mengangkat lengan kurusmu, untuk menunjukkan bahwa kamu tak melupakan jam tangan karet hadiah ulang tahun dari ayahmu tahun lalu. 
Setelah suapan terakhir, dalam nada lembut ibumu berkata. "Jangan lupa berdoa." Kamu mengangguk dan mengulaskan senyum tipis pada ibumu yang telah berbalik mencuci piringnya di wastafel. Kamu gembira selama dua detik sebelum kembali diserang gelisah.
"Sebutkan ciri-ciri kalimat fakta!" Kamu gelagapan ketika ayahmu melempar pertanyaan. Ketika di sekolah dasar itu membantu tapi untuk siswi SMA soalnya tak lagi sesederhana itu. Bagaimana ayahmu tahu itu materi ujianmu? Bisa jadi dia membacanya sekilas ketika kamu lupa menutup buku dan tertidur di ruang tamu.
Tapi kamu menjawabnya cepat dan tepat walau tak terdengar bersemangat.
"Nyata, jelas, objektif, tak terbantahkan."
Ayahmu mengangkat jempolnya ke udara. 
"Ini putri, ayah." Kamu bahagia atas pujiannya tapi kemudian gelisah karena sesungguhnya pujian hanyalah bentuk lain dari ujian.
Kamu menunduk karena kamu tahu takkan ada soal sesederhana itu, jam pertama Bahasa Indonesia; kamu harus menemukan kalimat utama, kamu harus menunjukkan pesan moral dari sepotong cerita, kamu harus memilih kutipan tajuk rencana, kamu harus mengurutkan kalimat acak, kamu harus menjawab semua soal dengan benar. 
Kamu harus tenang!

***

Sambil mengikat tali sepatu di teras depan, kamu terkejut lalu menghentikan kegiatan menjalin temali berwarna hitam itu, dengan was-was kamu memeriksa isi tas. Takut jika perlatan ujianmu lenyap selagi kamu menghabiskan sarapan. Kamu menghela napas lega dan bahagia.
Kamu mampu mendengar suara sepatu pantofel mengkilat ayah melangkah di atas lantai sebersih jilatan naga. Kamu menunggunya untuk mengantarmu ke sekolah sebelum ayahmu berangkat kerja, kalian searah. Tapi, langkah itu berhenti karena suara ibumu.
"Jangan lupa transfer uang buat Surya." Suara ibumu terdengar lebih seperti memohon.
"Bukannya baru dua hari lalu?" Ayahmu bertanya. Ayahmu tak pernah bicara dalam nada marah, belakangan ini dia lebih sering bicara dalam nada kecewa, kamu sungguh tak tega mendengarnya.
"Dia ada perlu."
"Uang melulu, seharusnya dia sudah wisuda bertahun-tahun lalu."
Kamu memejamkan mata, seakan dengan menutup mata kalimat ayahmu takkan terdengar oleh telinga.
"Bulan sudah melahirkan, kapan kita menjenguknya?" 
Menurutmu, seharusnya ibumu tak usah bertanya. Kamu gelisah takut ayahmu bertambah kecewa.
"Aku tak punya kewajiban, anak perempuan yang lari dari rumahku bukan lagi anakku." 
Langkah ayahmu, makin dekat denganmu.
"Sudah jam enam tiga puluh, aku harus memastikan putriku sampai di sekolah tepat waktu." Kamu senang ayahmu menyebutmu begitu. Namun ada beban, kamu tak boleh mengecewakannya. Kamu harus lebih baik dari kakak-kakakmu.
Kamu hendak duduk di boncengan motor bebek ayahmu yang siap melaju. Sebelum ayahmu berbalik dan berkata, "Nak, tolong ambilkan berkas ayah di meja kerja." Kamu segera berlari dan di pintu ibumu buru-buru mengunci pintu, tadinya s!ebelum ke kantornya dia akan menyusul kamu dan ayahmu. Ibumu terlihat sibuk dengan tas kerja berat juga map yang dikepit di ketiaknya. Melihatmu, dia langsung menyerahkan map karton berwarna biru itu.
"Ayahmu mengajukan pinjaman Bank untuk biaya kuliah kedokteranmu."
Sebuah informasi yang makin membebanimu.

***
Kamu rindu kalimat penyemangat "Kamu pasti bisa, Bintang Kecil!" dari kakak-kakakmu, yang akan berguna untuk meredam gugup menghadapi hari ujianmu. Kamu kangen sahabat-sahabatmu yang tak satupun berada di ruang ujian yang sama denganmu. 
Kamu berharap bisa membawa mereka besertamu dalam tas slempangmu, lalu meletakkan mereka di meja sejajar dengan kotak pensil di sisi lembar ujianmu.
Seperti biasa kamu menjawab semuanya dengan mudah. Lima puluh soal mata pelajaran Bahasa Indonesia di jam pertama.
Kamu bahagia menutup lembar soal-soalmu. Kamu telah menyelesaikannya, menandai satu dari setiap lima pilihan di sana. Hanya saja, serangan gelisah datang, ketika bel berdering di luar sana, tak satupun jawaban itu sempat kamu pindahkan ke lembar jawaban ujianmu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar