Date a girl who reads

Date a girl who reads

Rabu, 11 Januari 2012

Broken Hearted Diaries: Lara Cintaku yang Lalu


Tre…tree.t…treet..
Hapeku bergetar, sengaja aku buat menjadi diam sebelumnya agar tak mengusik tidurku. Kuarahakan tanganku untuk mengambilnya di atas meja sisi kiri ranjang. Jam masih menunjukkan pukul 06.30 wib, tidak biasanya aku harus bangun awal ditanggal merah seperti ini, saat dimana tidak perlu masuk kantor. Kuhidupkan lampu tidur agar suasana lebih terang.

Ternyata ada pesan masuk baru di hapeku, tetapi tidak tercantum nama pemilik nomor tersebut. Ah… mungkin saja ini nomor baru yang mengenali diriku tetapi aku tidak menyimpan dengan memberikan namanya. Pelan-pelan aku baca pesan itu walaupun mataku agak berat untuk kubuka. Namun kupaksakan agar aku tau apa isi pesan tersebut.

“Kepada rekan – rekan sekalian, hari ini kita akan menghadiri pesta perkawinan, kumpul jam 9 di kantor, TTD, Kabag Humas”


Mengganggu tidurku saja, jika pesan tersebut bukan beratasnamakan Kabag humas di kantorku maka pasti segera kumaki pengirim pesan itu dengan kata kasar, toh dia mengusik tidurku saja. Aku tak segera beranjak dari tempat tidurku, aku masih saja berselimut hangat dengan sprei yang ku tutupi ke seluruh permukaan tubuhku. Sempat kutoleh di samping kananku, istriku juga masih tidur begitu lelapnya. Udara begitu sejuk, akhirnya kembali membawa ku ke alam mimpi.
Aku ikut terbawa suasana menuju satu kenangan masa lalu, kali ini aku bermimpi sesuatu yang aneh tetapi tidak asing bagiku. Aku berjumpa dengan mantan kekasihku yang bernama Lara, yang kutinggal beberapa bulan lalu. Sekarang dia tampak lebih cantik dengan pakaian putih, seragam khas seorang perawat. Ia memeriksa tekanan darahku dengan alat pengukur tensi yang dieratkannya pada lengan kananku. Dia terus memompa tensimeter itu agar mengetahui berapa tekanan darahku. Kemudian dengan tangan kanannya ia terus meraba menyusuri jantungku dengan stetoskop yang dipasangkan ke telinganya. Lara begitu konsentrasi mendengar tiap denyutan jantungku, memeriksa penyakit apa yang gerangan aku derita. Sementara degup jantungku kian tidak menentu…dia melemparkan senyuman manis padaku, akupun membalas senyumannya dengan bibir yang kubuka kecil.Cantik parasnya, sungguh menawan.. aku dibuat terkagum- kagum melihat wanita berseragam serba putih itu.
Duhft!, aku terbangun dari tidurku lantaran binaran matahari yang begitu menyilaukan tepat mengarah ke mataku, sengaja menyisipi dirinya melewati ventilasi jendela untuk menghentikan mimpi indahku. “Pantas saja matahari dan bulan tidak bisa akur, jelas cahaya mereka berbeda.  Jika bulan cahayanya dinanti sedangkan matahari begitu dibenci, ucapkan menepis kekesalan dihatiku”.
Aku segera menuju kamar mandi untuk membasahi tubuhku dengan siraman air supaya menyegarkan tubuhku. Sepintas angin lalu aku terbayang mimpiku yang tadi shubuh, tentang mantan kekasihku Lara. Ada apa gerangan?, bathinku. Orang mengatakan bahwa mimpi sebagai bunga tidur penghias alam mimpi. Namun jika mimpi pada saat pagi menjelang itu, apakah adalah satu kenyataan yang akan terjadi nantinya?. Terus apa maksud dia memeriksa tubuhku?, selama ini aku masih sehat-sehat saja dan tidak tidak ada penyakit serius yang aku derita. Ah.. ini pasti hanyalah bunga tidur ucapku.
Seusai aku mandi, aku bergegas ke kamar untuk mengenakan pakaian. Teringat akan pesan tadi pagi untuk menghadiri kondangan, maka aku mengenakan baju batik serta celana panjang berwarna coklat menambah kharisma seorang sarjana ekonomi tentunya, demikian pikiranku. Aku segera ke garasi, tak kuhiraukan  lagi sarapan yang ditawarkan istriku. Aku sudah hampir terlambat…
Kali ini aku tidak mengendarai mobil dan sengaja kupilih mengendarai motor untuk menghindari kemacetan selama perjalanan. Aku belum tau ke mana kondangan yang akan dituju dan pesan tersebut hanya mengarahkan kami untuk berkumpul di kantor.
Motor ini jarang ku gunakan, ketika aku nyalakan starter beberapa kali dia tidak mau menyala. Huft.. motor sialan !.
Aku mencoba kick starter tetap juga tidak mau menyala, lelah aku menunjangnya dengan paksa beberapa kali kemudian barulah motor sialan ini hidup. Memang jarang aku menggunakannya, jikapun aku pakai hanya untuk jarak yang dekat saja seperti ngopi di warung. Seingatku, motor ini dulu sering ku pakai pada waktu berkencan dengan Lara. Motor inilah yang setia menemani hari-hari indah memutari sudut-sudut kota
aku bersamanya. Ini bukan motor sialan, ini lebih tepat motor kenangan…
Kenapa aku terus memikirkannya ya?, bathinku.
Aku bergegas menuju ke kantor menelusuri jalanan yang sedikit dipadati oleh pengguna jalan. Setiba di kantor rekan-rekan kerjaku sudah berkumpul. Mereka tiba lebih awal daripadaku dan mereka sengaja menunggu kedatanganku.
“ kenapa lama sekali pak?”
“ motor ni, dari tadi gak mau hidup!”
“titip di parkiran aja pak, kita ke sana pakai mobil saya aja” seru seorang diantaranya.
Selama di perjalanan kami saling berbincang-bincang mengenai pekerjaan kami ke depan, tak terasa kami tiba di depan halaman rumah siempunya pesta tersebut. Suasana begitu ramai, terlintas di pandangan ku terlihat papan bunga bertuliskan nama Lara dan Aldy, lengkap dengan embel-embelnya. Aku semakin terkejut, “apakah ini Lara mantan kekasihku, ah.. di dunia ini banyak perempuan bernama seperti itu”. Kami dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah, guna menunggu kedatangan para pengantin yang nantinya didudukkan di atas pelaminan.
Sepasang pengantin mengenakan baju khas daerahnya mendekat ke arah pelaminan, muka sang gadis tertutupi oleh keramaian, susah bagiku memandangnya dengan jelas wajah. Siapapun para undangan laki-laki pasti ingin melihat sipengantin wanita dengan wajah seutuhnya. Suasana sedikit menyepi, kini sepasang kekasih tersebut duduk di atas pelaminan.
Sungguh kaget diriku melihat pengantin itu, lantaran ia benar mantan kekasih ku dulu. Sejuta perasaan merasuki jiwaku, senang melihatnya kini telah memiliki pasangan dan sedih dia harus menikahi lelaki lain bukan aku yang duduk di sampingnya. Galau merasuki jiwaku, lantas bagaimana caranya aku bisa menyalami mereka, apa yang akan ku bilang nantinya?.
Aku melangkah diam-diam keluar ruangan, sebatang rokok kuhisap dalam kemudian aku berpikir aku pulang saja, aku kembali masuk ke dalam dan ku pinjam kunci mobil temanku. Sesegera mungkin aku melaju cepat sampai ke rumah. Segera mungkin aku berlari masuk ke kamar, istriku menatap heran padaku. “Ada yang ketingglan ya mas?”,tanyanya. “iya nih, ada yang mesti diambil” jawabku sekenanya. Aku mengambil sesuatu di laci meja kerjaku di antara buku-buku, kemudian menyelipkan sepucuk surat di dalamnya tanpa terlihat oleh istriku. kemudian segera kembali ke tempat pesta dan kemudian berbaur di sana.
Kubuang jauh-jauh segala perasaan aneh dengan menyantapi makanan yang telah dihidangkan dihadapan kami, aku tak memperdulikan siapa Lara di masa laluku yang jelas kini dia telah menjadi istri sah seorang lelaki. Pandanganku tak pernah kuarahkan padanya, sesekali aku berusaha mengajak ngobrol rekan kerjaku untuk mencairkan deg-degan di hatiku, juga terus berusaha menghindari tatapan langsung dari arahnya.
“Ta kata allah, patah – patah kata jibrail, barang siapa khilat khianat kepada ku, selamanya tidak masuk padaku”.
Kubacakan mantra tersebut untuk mengusir sejuta kenangan masa laluku yang terbayang di saat aku harus berhadapan dengannya. Beserta rombongan, seusai makan kami kini berbaris hendak bersalaman dengan para pengantin dan keluarganya. Aku sengaja memposisikan diriku pada barisan paling belakang di antara beberapa rekan kerjaku.
Tak terasa kini giliran aku untuk bersalaman dengan pasangan pengantin baru itu. Aku mengeluarkan kado kecil yang tadi kuambil ke rumah, kupegang erat dengan tangan kiriku. Kusalami satu-satu keluarga mereka, sampai ke pengantin pria kemudian sampai pada pengantin wanitanya, Lara. Hal yang terasa amat berat kulakukan tentunya, menatapnya dan kukatakan selamat. Tanganku mendadak dingin, pasti Lara bisa merasakannya. Senyum yang kupaksakan tersungging untuknya, sementara hatiku merasakan satu kehancuran yang menyakitkan.
“ Selamat Lara, kau telah menemukan pasangan hidupmu” suaraku terasa bergetar, mengucapkannya.
“ Makasih, ini kamu mas rendy kan
?, kemana kamu selama ini”?, tanya Lara dengan binar mata yang sulit diartikan..tetap saja mata yang indah.
“ Tolong kado ini kamu simpan ya, jangan sampai ada yang tahu tentang kado special ini ya Lara..”
Selesai mengucapkan beberapa kata, aku langsung bergegas meninggalkannya, tanpa kutoleh lagi…air mataku hampir saja menetes namun sesegera mungkin aku usap dengan tangan kiriku. Tangan kananku masih terasa hangat setelah menempel dengan tangan Lara. Sepanjang jalan pulang, aku memikirkannya…entah apakah ia suka apa tidak kado yang kuberikan itu. Dalam kado itu kusertakan sepucuk surat yang buru-buru kutulis tadi pagi. Demikian bunyi surat itu:
”Selamat lara kau telah menemukan pasangan hidupmu, aku turut berbahagia”.
Namun perlu kau ketahui aku tak pernah mencintai pasanganku yang sekarang ini, aku dijodohkan oleh lantaran utang kami yang menumpuk pada sebuah keluarga kaya, yang dulunya sempat kupinjam untuk pengobatan kanker perut ibuku. Kami tidak sanggup membayarnya sampai pinjaman itu jatuh tempo.Keluarga pak Handoyo, membuat perjanjian dengan satu syarat aku harus menikah dengan putri keluarga mereka dan melunasi utang kami dengan cicilan 2 % tiap tahunnya. Aku tau alasan itu berat pastinya kau terima, setelah sekian lama baru kujelasi hari ini. Aku menempuh cara pengecut untuk tidak menyakitimu, namun pasti amat sakit juga ya Lara?.. tapi ketahuilah emas yang ada dalam kotak ini telah ku persiapkan jauh-jauh hari untuk melamarmu. Sesibuk apapun bisnis yang kujalani aku tak pernah melupakanmu, aku menabung uangku untuk melamarmu nanti, namun ternyata Tuhan merencanakan lain. Terimalah perhiasan tersebut dan aku amat senang tentunya jika Lara mau memakainya. Maafkan semua yang telah kuperbuat padamu .Bahagia selalu.., doaku selalu menyertaimu.
Salam manis
Rendy

Penulis: Rahmad Nuthihar + Delicia + Citra Rizcha Maya + Ratna Hermawati 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar