Aku
lebih suka mengingkari bahwa bintang itu adalah api, dan lebih suka menipu
diri, mencoba menganggap kilauan cahaya indah itu adalah sebuah celah dari
Surga. Celah untuk mengintip kami, orang-orang yang masih tertinggal di bumi. Ketika
malam tiba, sebelum aku akhirnya menyerah pada lelah, di ujungku terjaga, aku
selalu menyempatkan diri mengkhayalkan tatapan teduhmu menatap jauh di balik
langit biru kegelapan di waktu menjelang subuh, menjagaku dari jauh.
Sempat
aku seperti mendengar suaramu yang lembut memanggilku. Mengajakku untuk
mengunjungi sebuah taman bunga di atas sana, yang kau bilang penuh dengan bunga
jepun putih favoritku. Kau memanggilku berulang-ulang dan lambaian tanganmu
benar-benar menggodaku untuk segera melompati dunia ini. Tapi sekali lagi,
setelah berulang-ulang mengalami hal itu, aku tetap tidak mau mengakui kalau
aku tengah bermimpi dalam lelapku.
“Bells, jika
aku tak lagi bisa bersamamu, jangan berhenti ya untuk mencintai aku, karena
cinta itu yang akan menjagamu” itu kata-kata terakhirmu, gombalan terakhirmu!
Sebelum kamu benar-benar pergi.
“Kalo
kamu pergi aku cari pacar lagi!” jawabku asal, dan seperti biasa kamu mencium
keningku lalu mengacak poniku, tersenyum dan pergi, tapi senyummu berbeda malam
itu …sayangnya aku tak lagi bisa mengingat jelas senyuman itu.
Segalanya
tak lagi jelas sejak hari itu, hari saat kuterima kabarmu mati sia-sia, karena
mereka tak mau lagi mendengar apa yang kamu suarakan, apa yang kamu inginkan,
apa yang kamu harapkan, apa yang kamu cita-citakan, sebenarnya apa yang kamu
utarakan adalah apa yang semua orang ingin utarakan tapi memang tak ada yang
seberani kamu, sayangku, mereka memilih bungkam, karena takut terabaikan.
Aku
menangisi kehilanganmu tapi disaat yang sama aku juga marah pada semuanya, karena mereka mencacimu
dan menganggapmu pahlawan kesiangan yang mati karena kebodohan.
***
"You need to wake up, Bells," ujar Joe ketika
kami berdua tengah duduk dibalkon rumahnya.
“Am I sleeping right now, Joe? I don't think so," jawabku sekenanya. Joe, seorang sahabat yang agak gila menurutku. Mengapa? Karena sampai sekarang ia masih saja mau berteman denganku, seorang gadis - yang menurutnya - lebih gila dari gadis manapun di dunia ini.
“Dave, sudah pergi 5 tahun yang lalu. Sampai berapa
lama lagi kau akan hidup dalam khayalanmu?" tanya Joe.
“Sudahlah, Joe! Sudah berulang kali
aku katakan. Ini khayalanku sendiri. Kau tidak berhak ikut terjun ke dalamnya.
Cukup kau berdiri di situ saja. Jangan kau lewati border line warna merah itu."
"Belle....!"
"Ya...."
“Kamu harus membuka kembali pikiranmu. Aku yakin Dave tak suka kamu menjadi seperti ini”
"Seperti
apa?
"Menurutku kau seperti zombie yang terlalu banyak mengkonsumsi jus otak rasa coklat."
"Hei..., itu kalimatku, Joe."
Lalu kami pun tergelak tanpa henti sampai perut kami sakit.
Dalam gelak tawa yang tak kuduga itu,
kusadari aku tak bisa terus begini, tawa yang kubagi bersama orang lain akan
membuat Dave terluka di sana, seperti biasa aku pergi begitu saja, meninggalkan
Joe dan tawanya, dan mencoba untuk tak merasa bersalah.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar