Aku
sadar apa yang kulakukan tak lebih dari usaha sia-sia, mencintai sesuatu yang
telah pergi, mencintai mimpi, mencintai hal yang tak lagi bisa kumiliki, aku
tak ingin terus-terus begini. Mungkin Joe benar, sudah saatnya untukku bangkit
dari tidur panjang ini… bagaimana bisa aku bangun dan menghadapi dunia ini? Aku
tak bisa…tapi mungkin lebih karena kutak ingin.
Anganku
melayang jauh, pada kisah cinta masa kecilku, tentang para Putri yang
diselamatkan dari kematian, dari tidur panjang, dari kehilangan harapan, dan
tahu apa yang menyelamatkan mereka? Sebuah ciuman, terdengar konyol kurasa,
bagaimana aktifitas bertukar liur berisi ribuan bakteri itu mampu menyelamatkan
seseorang? Tapi ditengah keputusasaan, kubiarkan logikaku tak lagi berkuasa, aku tak bermaksud untuk bercanda,
tapi mungkin aku akan mencoba membiarkan Joe menghadiahkan sebuah ciuman
untukku.
Dan rupanya
itu hampir terjadi tadi malam. Tiba-tiba saja Joe sudah mendekatkan wajahnya
padaku. Tapi aku buru-buru membuang pandanganku. Ya, Tuhan. Aku merasa detak
jantungku meningkat ribuan kali lipat. Something
is wrong.
“Oke, Aku
tidak akan memaksamu," ujar Joe.
“Maafkan aku,
Joe."
“Tak perlu
minta maaf, Belle. Kau tidak salah."
Hening, kembali
merajai percakapan kami.
“Joe…”
“Ya…”
“ Apa
yang membuatmu bertahan menemaniku selama 5 tahun ini?!"
“Kupikir kamu tahu” kata Joe datar,
dia bangkit dari sampingku, berdiri dan membelakangiku.
“Joe… “
aku memanggilnya dengan hati-hati, ada yang berubah dari sikap Joe, apa dia
tersinggung dengan pertanyaanku?
“Belle…” dia ingin bicara tapi entah mengapa
terhenti kemudian, dia menghela nafas panjang, hendak pergi, tapi aku secara
refleks mencegah kepergiannya, tanganku menahannya, sejujurnya aku tak ingin
dia pergi.
“Aku tau,
aku tau kenapa Joe, dan bodohnya aku tak mau mengakui alasan kamu bertahan
denganku, thanks a lot Joe…” Joe
menatapku, sejujurnya aku benci tatapan teduh seperti ini, tatapan yang
kurindukan itu nyaris sama seperti ini, tatapan penuh cinta, tatapan yang
berbicara tentang jutaan rasa sayang, aku tahu dua bola mata indah ini bukanlah
mata Dave yang kusayang, tapi bolehkah malam ini aku sedikit larut dalam
tatapan semacam ini? Larut dengan tenang tanpa disertai rasa bersalah yang
nantinya hanya akan membuatku menyesal karena menyakiti Dave, yeah walau secara
tak langsung. “Boleh minta satu hal?”
“Apapun”
jawab Joe, selembut biasanya.
Aku ragu untuk mengatakannya, tapi
memang harus kukatakan, aku tak lagi ingin menyiksa diriku dengan selalu,
selalu, dan selalu terbayangi Dave, sungguh aku menyayanginya tapi kadang aku
juga ingin bangun dari mimpi dan mengahadapi realita menjalani hidup yang
digariskan untukkku, menerima seseorang yang menyayangiku, bukan seseorang yang
telah pergi jauh.
“Cium aku sekali saja…” aku bicara
pelan, tak yakin apa yang kukatakan, tak yakin apa Joe mendengarkan. Aku
tertunduk dan memejamkan mata, tak sanggup menatap wajahnya.
Aku merasakan Joe memelukku, pelukan
yang berbeda dari pelukan lama itu, tapi kehangatannya sama-sama menenangkanku.
“Jangan sekarang Belle, ada waktu yang
tepat untuk semuanya” Dia mengusap pipiku dan berlalu.
***
Sudah berhari-hari setelah kejadian memalukan itu,
aku belum bertemu lagi dengan Joe. Ia juga tidak mengirim sms seperti biasanya.
Jujur saja, kali ini aku benar-benar takut Joe meninggalkanku begitu saja.
Jarum jam belum tepat menunjuk pukul
lima sore ketika ponselku berbunyi.
“Belle”
Itu suara Joe
“Ya…”
“Bisa ke rumah,
sekarang?” tak biasanya, dia yang lebih sering mengunjungiku
"Ya...."
"Ada apa, Joe?"
“Hmmmmmm, mama mau ngomong sama kamu”
“Okay, aku ke sana sekarang”
Kami
bertetangga dan bersahabat sejak kecil, Joe dan aku biasa saling mengunjungi,
tapi memang Joe lah yang lebih sering mengunjungiku, lima tahun terakhir
barulah hari ini aku menginjakkan kaki lagi, ditempat, dimana aku menghabiskan
banyak waktu di masa kecilku dulu. Segala sesuatunya terasa berbeda sekarang.
“Joe..mama
kamu mana?” tanyaku curiga
“Sorry, aku membohongimu” Joe tak
menatapku dengan penuh, sesekali dia lebih banyak menatap lantai, pertemuan
terakhir kita menyisakan banyak kecanggungan kurasa.”Aku takut kamu nggak mau
kemari tanpa ada alasan yang jelas”
“Joe..kamu
tahu itu nggak bener kan?”
“Yeah, Kita ke
balkon yuk, I wanna show you something”
Kupikir Joe akan menggenggam tanganku dan menuntunku ke sana, merasa malu hati
aku menggengam tanganku sendiri.
Pemandangan
yang sudah lama tak kunikmati, pelangi di sore hari. Seperti biasa selalu indah
dan penuh warna.
“Kamu tahu Belle, kapan pelangi itu muncul?”
pertanyaan bodoh, tentu saja dia tau jawabannya, Joe mungkin hanya mengujiku.
“Setelah hujan” jawabku pelan dan
mendadak bosan, aku pikir aku akan dikejutkan dengan hal yang luar biasa
berkesan.
“Aku tahu sekarang kamu lebih
mencintai bintang daripada pelangi” Joe membaca pikiranku. “Masih ingat komik
yang pernah kita baca jaman SMP dulu? Legenda Pelangi? Tentang gadis yang
menyimpan bunga di bawah bantalnya saat langit berpelangi, masih ingat kan?”
ada yang bilang jika kamu menyimpan bunga dibawah bantal tepat saat langit
berpelangi kamu akan tau siapa yang akan menjadi kekasih masa depanmu” Joe
memberikanku seikat bungan Daisy, bunga favoritku. “Jika ada aku di mimpimu
malam ini, aku janji akan memberikanmu sebuah ciuman, tapi jika aku tak ada di
sana, mungkin aku harus menyerah dan berhenti menyayangimu.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar