Aku mengunci diriku di kamar, meratapi
semua kisah cintaku dengan mas Rendy. Minggu depan seharusnya adalah saat
terindah bagi kami, saat di mana pada tanggal 17 Desember tahun lalu aku
menerima cintanya.
Hari ini tanggal 10 Desember, setelah
aku pulang dari rumah sakit tempatku bertugas, aku menerima sepucuk undangan
yang di kirim ke alamat kost ku.
Setelah menanggalkan sepatu dan
meletakkan tasku di atas tempat tidur, aku buru-buru membukanya “sebuah
undangan berwarna hijau pupus”. Mataku terbelalak, tanganku bergetar
setelah melihat nama yang tertulis di sana “Rendy Rumah Dona, SE & Rina
Rumah Dona, SH”. Aku mengeja berkali-kali nama yang bertinta emas itu,
bahkan nama orang tua mempelai laki-laki yang tertera di sana pun tidak asing
bagiku. Sudah tidak salah lagi, dialah mas Rendy kekasihku yang hampir setahun
ini menjadi tempat cintaku berlabuh.
Hatiku sesak, kepalaku terasa amat
berat, air mataku terus saja mengucur membasahi bantalku, aku tidak
henti-hentinya bertanya “apa salahku, kenapa kamu melakukan ini padaku??”
Pantas saja 2 minggu ini ia tidak
pernah memberi kabar atau menerima telponku ataupun membalas smsku, rupanya
alasan sibuk keluar kota kali ini adalah sibuk menyiapkan pernikahannya.
Sungguh terlalu…aku benci!!!
Aku bahkan telah menyiapkan satu kado
kecil untuk merayakan hari jadi kami minggu depan, tapi kenapa ia harus berbuat
begini padaku?.Selama ini aku selalu menjadi wanita yang paling pengertian
baginya, alasan sibuk urusan bisnis di luar kota selalu kumaklumi. Rayuan tanpa
cacat selalu indah ku dengar darinya, tapi kenapa apa alasannya ia berbuat
begini??
Aku ingat betul, beberapa kali mas
Rendy menemani ibunya ke poli rawat jalan bagian penyakit dalam sebuah rumah
sakit swasta tempatku bertugas, ia selalu tidak pernah melewatkan kesempatan
untuk mencari tahu tentang aku. Ia bahkan berani mengajakku berkenalan setelah
keempat kalinya ia menemani ibunya ke sana. Bahkan ia menitipkan salamnya
kepada temanku disana, katanya “tolong sus, sampaikan salamku buat suster Lara,
katakan dari Rendy”.
Setelah pertemuan kedelapan kalinya
dengan mas rendy aku diajaknya untuk berjalan ke sebuah mall yang baru buka di
kota kami. Walaupun aku ragu saat itu untuk menerima ajakan itu, namun
teman-temanku sangat mendukung dan mereka beranggapan mas Rendy adalah lelaki
yang baik dan menarik, katanya aku tidak boleh lama-lama menjomlo.
Setelah hari itu, kami kerap bertemu
beberapa kali, kadang hanya sekedar makan siang, bercerita lalu ia mengantarkan
aku pulang ke kostanku. Tepat dua bulan kemudian bertepatan tanggal 17 Desember
aku menerima cintanya. Ia memang pria baik dan menarik, ia juga amat mengerti
profesiku, kami saling memaklumi pekerjaan masing-masing dan tidak pernah
terkendala dengan waktu yang padat di antara kami.
Keesokan harinya dengan tubuh yang loyo
akibat tidak bisa tidur dan meratapi pengkhianatannya, aku tetap memaksakan
diri untuk bekerja. Setelah pasien kedelapan belas aku menerima sebuah pesan
singkat di hp ku. Aku merapatkan tubuhku menghadap ke dinding dan membuka pesan
itu, hatiku berdegup kencang dan ku baca tulisan itu:Lara…maafkan aku,
engkau pasti kecewa padaku. Harapanku Lara akan mendapatkan orang yang lebih
baik dariku, sekali lagi maafkan aku Lara, salam sayang –Rendy.
Air mataku tidak terasa mengalir di
pipiku, segera ku hapus agar tidak seorangpun melihatnya. Mudah sekali ia
mengirimkan sms ini, apakah ia pikir ini bisa menghapus segalanya??.
Benar-benar konyol sekali.
“Lara, ada apa??, kalau kamu kurang
enak badan, istirahat sajalah..”. Suara Dr. Aldy S, Sp.PD membuyarkan
lamunanku.”Oh…nggak kok dok, pasien kita tinggal 3 orang lagi di ruang tunggu,
setelah itu saya bisa istirahat”. Dokter Aldy tersenyum dan kembali memeriksa
pasiennya.
Dr.Aldy S, Sp.PD seorang internist yang
berdedi kasih tinggi, penuh wibawa dan selalu perhatian kepada siapa saja,
tentu akan bertanya apa yang kualami demikian pikirku. Benar saja, setelah ia
usai dengan semua pasiennya ia bertanya tentang penyebab aku loyo dan sembab di
mataku hari ini. Mau tidak mau aku bercerita padanya, dia menghiburku dan
berkata “Patah satu tumbuh seribu, untuk apa pikirin si Rendy itu, kalau
hanya membuat sakit di hatimu”. Kata-kata itu, membangunkan semangat
bagiku, betul juga untuk apa mikirin dia, dia saja mungkin lagi
bersenang-senang saat ini dengan calon pengantinnya.
Tanggal 28 Desember, hari pernikahan
mas Rendy tiba juga, aku tidak akan ke sana. Aku tidak akan sanggup melawan
perasaanku, dan hanya akan membuat diriku kehilangan muka saja. Dokter Aldy
menanyakan apa aku akan hadir di sana, dan kukatakan “tidak Dok, saya sudah
melupakan dia…saya tidak ingin melihat lagi mukanya”. Dokter itu lagi-lagi
tersenyum. Malam harinya dokter Aldy mengajakku keluar, katanya ingin mencari
udara segar di luar denganku. Aku terima ajakan itu, toh di kostan aku juga
hanya bisa meratap dan memikirkan mas Rendy. Kami menikmati jagung bakar di
pinggir jalan, dan dengan jiwa humornya dokter Aldy membuat ku tertawa
melewatkan malam itu.
Semakin hari aku semakin dekat dengan
dokter Aldy, ia selalu bisa mengusir kepedihanku ditinggal mas Rendy. Kemudian
aku dan dokter Aldy sepakat melangkah lebih jauh dari sekedar hubungan kerja.
Setelah 6 bulan kami merajut kasih, dokter Aldy melamarku dan kami pun
kemudian menikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar