(Tiara)
Apapun
derita yang kau alami harus membuatmu tetap tegar dan berusaha untuk tak pernah
putus asa, saat kamu punya sebuah alasan untuk berduka, ingatlah jutaan alasan
lainnya yang bisa membuatmu bahagia, buka mata, ada banyak bahagia yang
disebarkan Tuhan pada seluruh jagad raya, yang kau harus lakukan hanyalah berusaha melihatnya dengan
lebih seksama
***
Bukannya aku tak pernah bahagia, hanya
saja aku sudah terlalu akrab dengan derita dan airmata. Usiaku sangat belia
saat pertama kali mengenalnya.
Hari itu mamaku terlihat sangat
jelita, memasang wajah paling bahagia, melakukan segalanya hanya untuk
membuatku tertawa; mengajakku bernyanyi dan berdansa, membelikanku banyak
sekali hadiah, hingga memasakkan hidangan
makan malam istimewa, hidangan ulang tahunku yang kelima, tak ada perayaan
besar, tak ada balon atau teman-teman sebaya, hanya acara keluarga kecil kami,
aku, mama, dan papa, papa adalah pria egois yang hanya mengunjungi keluarga
kecilnya hanya semau hatinya, kapanpun sesukanya, kadang sebulan sekali atau
tak tentu sama sekali.
Papa, bagaimana aku bisa menyebutnya
dengan panggilan itu? dia adalah lelaki yang tak pernah mau memelukku,
menggendongku, apalagi mau menciumku. Aku hanya anak-anak kala itu, dan saat
aku menangis menginginkan bentuk kasih sayang seorang ayah, aku cuma mendapatkan
pengabaian.
Aku mendengar mama memohon kedatangannya
ditelpon di hari itu, demi aku, putrinya, tapi dalam hati aku tau, papa tak
pernah mencintaiku. Beliau memang datang dengan hadiah kecilnya, sebuah kotak musik
yang indah, yang sedang kumainkan berulang-ulang, sampai kusadari ada perang
amarah di ruang sebelah, waktu itu sudah lewat tengah malam. Perang amarah dan
jeritan makian membuatku ketakutan, papaku tak bisa berbahasa layaknya seorang
manusia, lama-lama ibuku putus asa, walau berkali-kali bertahan dengan
mengatasnamakan cinta, tapi selalu ada titik batas untuk segalanya, adalah keputusan
yang tak mudah saat jalan itu dipilihnya, langkah salah untuk bisa membebaskan
diri dari derita.
Aku merasa bahwa dunia lebih suka
melihatku berduka, malam itu di ulang
tahunku yang kelima, puncak dari segalanya, papaku yang tak pernah menjadi papa
untuk pertama kalinya menyentuhku, memberiku sebuah pelukan, itu bukan sebuah
penghiburan buat seorang anak yang baru saja melihat ibunya membakar diri di
depan matanya, dan sejak saat itulah aku memilih membisu tak bicara tak
menganggap diri manusia.
Aku hanya boneka, yang tercipta dari
malaikat dan iblis, tak sulit untuk menyatakan siapa malaikat dan iblisnya;
mama dan papaku, berasal dari dunia yang berbeda, bagaimana bisa mereka menyatu
dalam sebuah ikatan perkawinan? Itulah misterinya yang tak pernah kunginkan
jawabannya, aku lebih suka sendiri dan menjadi gila sesudahnya.
***
Bahagia itu datang, bersama dengan
seorang pemuda bertahun-tahun kemudian. Pemuda yang dengannya aku diajari suatu
hal berharga, bahwa setiap orang bisa dengan mudah untuk bahagia asal berani
mencobanya. Kusadari memang ada ketakutan di hati tentang setiap kali
bahagia itu datang, apapun caranya aku mencoba untuk membuat rasa itu
menghilang, terlalu lama bersedih membuatku terasa nyaman dengan rasa pedih.
Tapi dengan caranya yang istimewa dia membuat pertahanan diriku runtuh, dia
membuatku jatuh cinta, mengajariku tertawa, dan mengajakku mencicipi bahagia.
Ardian, nama yang indah dengan paras
wajah yang sempurna, seperti para pangeran tampan yang agung dalam
dongeng-dongeng yang dibacakan ibuku, dongeng yang tak pernah kupercayai lagi,
tapi dengannya keyakinan untuk mempercayai keajaiban itu datang lagi.
Dulu, dia selalu datang menemuiku,
membawakan setangkai bunga Lily, dia bilang aku seindah bunga itu, yah, Lily,
dalam bahasa bunga Lily bermakna kesedihan, bagaimana bisa dia menggambarkanku
dengan cara begitu indah?
Tapi mungkin bahagiaku memang tak bisa
kunikmati lama, dia menangis hari itu, datang padaku dengan air mata dan
penyesalan yang sangat dalam. Dia mengatakan tak sanggup meninggalkanku tapi dia
harus pergi, dia hanya memberiku sebuah nasehat yang sangat berharga“ Tolong
jaga dirimu agar selalu tetap bahagia, apapun derita yang kau alami harus
membuatmu tetap tegar dan berusaha untuk tak pernah putus asa, saat kamu punya
sebuah alasan untuk berduka, ingatlah jutaan alasan lainnya yang bisa membuatmu
bahagia, buka mata, ada banyak bahagia yang disebarkan Tuhan pada seluruh jagad
raya, yang kau harus lakukan hanyalah berusaha
melihatnya dengan lebih seksama” dan aku mempercayainya kata-katanya.
Ketika dia pergi derita itu datang
lagi, satu persatu, menghantamku; pemerkosaan keji yang kualami, meninggalkan
trauma dan luka yang mendalam, tapi juga menimbulkan perasaan jatuh cinta luar
biasa saat ada sesuatu yang tumbuh dalam diriku, bayi mungil yang dengan
sedikit penipuan diri kuanggap sebagai peninggalannya yang berharga, aku harus
selalu berusaha bahagia, walau dengan cara yang sangat gila, tapi saat bayi
malangku lahir ke bumi, dia memilih meninggalkanku juga, tak mau menderita
seperti ibunya, tapi pergi ke surga bersama ayahnya, setidaknya mereka berdua
disana menjagaku dari tempat terindahnya.
Hari demi hari terlewati aku percaya
dia tidak benar-benar pergi, saat kata-kata cinta dan Lily putih itu menyapaku
setiap pagi, hingga beberapa minggu berlalu, saat tak ada lagi Lily dan pesan cinta
itu, aku masih berusaha untuk tak lagi bersedih, Rakendra datang, walau tak mau
mengungkapkan siapa di balik pesan cinta dan bunga indah, tapi kuanggap saja
dia anugerah yang dikirimkan untukku agar tetap bahagia.
Rakendra datang siang ini, dengan wajah
panik dan kebingungan memintaku sebuah bantuan.
“Ibu tolonglah, aku nggak tau mau
minta bantuan pada siapa lagi” bagaimana aku bisa menolak permintaan darinya?
Aku menuliskan jawaban di secarik
kertas seperti biasa
APAPUN
Dan saat itu walau wajah putus asanya
terlihat nelangsa, saat kuberikan sebuah anggukan sederhana padanya, aku
melihat secercah harapan mengembang dalam senyumnya.
Tak pernah menyangka walau selalu mengharapkan
sebuah keajaiban, apa yang Rakendra harapkan dari pertolonganku, ternyata
memang bukan hal biasa, dia membawaku ke sana, ke bukan tempat yang indah, ke
dalam sebuah ruangan perawatan, tempat asa menjadi satu-satunya hal yang
dipercaya.
Taukah kau itu apa? Aku melihat wajah
yang sangat kurindukan, berbeda dari yang kuingat, lebih matang, lebih dewasa
walau sedikit memar di wajah, aku tau itu dia, takkan pernah salah. Waktu yang
dulu berjalan sangat lama, saat ini seperti membawa dari kejadian masa lalu,
seperti sebuah detik dalam sekejap mata. Aku berada di sini, menatap Ardianku,
terbaring kaku dan yang kulakukan hanyalah satu, memeluknya untuk menumpahkan
segala kerinduan yang mendalam. Inilah keajaiban yang tak bisa kupercaya,
keajaiban itu ada dengan cara tak terduga, tak ingin bertanya-tanya, aku hanya
ingin menjaganya saja.
Menatap lama pada wajah yang sangat
kurindukan, dan harus selalu percaya bahwa kejaiban itu ada, walau tak mudah, seperti
yang pernah diajarkannya.
makinpenasaran eh tokoh Tiara, sama malangnya kayak ibu Lestari yah u,u
BalasHapustunggu lanjutannya yak :D
Hapus