Went
From Being “Single” To “In a Relationship”. Kalimat sederhana itu, tak lagi sederhana, saat di sana ada
seseorang yang terluka.
***
(Raia)
Minimal aku ingin menyapamu di sana,
sebagai teman lama yang tak pernah berjumpa, yang telah berpisah belahan dunia,
tapi mungkin kamu akan menganggap itu cuma basa-basi biasa. Saat kucoba untuk
menyapa, tak lagi terpampang nama dan kotak kecil yang menampilkan fotomu itu
di sana, tak biasa. Aku tahu siapa kamu, my
social butterfly, nyaris tak pernah offline, aku tahu, kamu mengalahkan jam
kerja warnet yang 24 jam non stop
untuk kegiatan dunia maya yang menurut banyak orang tak berguna, tapi aku tahu
di sana, kamu menjadikan jejaring sosial sebagai mata-mata sama sepertiku yang
sengaja membuat account Facebook
dengan tujuan memantau kegiatanmu.
Kucoba
memasukkan nama yang selalu membuat hatiku tergetar ke dalam kotak pencarian, tak kutemukan dan hanya ada sebuah
kesimpulan. Kamu memblokirku! Untuk alasan apa? Hanya sepenggal kalimat
sederhana di wall-ku; Went From Being “Single” To “In a
Relationship”. Apa hatimu patah? Apa hatimu terluka? Dan sekarang kamu
tengah meneteskan airmata di sana? Hey kita tak pernah ada hubungan apa-apa!
Baiklah
jika aku harus mengakuinya, maaf, untuk hati yang kecewa, maaf untuk tetesan
air mata. Aku juga merasakan yang sama. Hidup terus berjalan, dan kita tak bisa
sama-sama. Bagaimanapun juga hati memerlukan bahasa, dan kita justru memilih
mengabaikannya. Alana, kamu selalu menjadi teman lamaku, gadis manja yang
selalu kucinta. Waktu terus berjalan dan kita tak bisa menanti sesuatu yang tak
pasti, ada seseorang yang menawarkanku hati.
(Alana)
Aku
tak percaya aku menangisi sebaris kalimat. Bodoh, tolol, idiot, atau entah
apalagi. Aku ingin memaki diri tapi yang kulakukan hanyalah seperti para
pecundang lainnya di dunia; menangis dan mengasihani diri sendiri. Apa yang
seharusnya aku tangisi? Pertanyaan yang ingin diingkari hatiku! Aku menangis
untuk kebahagiannya, seorang cowok yang diam-diam kucintai, seorang cowok, yang
jauh dalam hatinya kuyakin pernah menyimpan namaku di sana, walaupun kita tak
pernah memiliki hubungan apa-apa, payah!
Jangan
bertanya bagaimana aku mengetahuinya, bahwa dia juga memiliki rasa yang sama!
Aku percaya bahwa hati itu punya koneksi, aku merasakannya, itu saja. Tak tahu
harus berbuat apa, aku malah memilih langkah salah, menghapus account Facebook-nya. Ingin tertawa dan
menggila, bagaimana bisa, jejaring sosial inilah yang kujadikan mata-mata untuk
mengawasinya. Mengecek statusnya, melihat foto-fotonya, mengawasi segala yang
dipublikasikan di wall-nya. Tak
menyangka hari ini tiba sebaris kalimat membuatku meneteskan air mata.
***
Terpisah
batas benua, ada dua orang di sana, sama-sama terluka untuk sesuatu yang tak
pernah diungkapkannya, padahal sama-sama mengetahuinya. Kebodohan yang pantas
ditertawakan. Mereka menatap lama pada layar di depannya, setelah menjadikan
jejaring sosialnya sebagai mata-mata sekian lama.
Alana,
dengan penuh penyesalan memblokir daftar pertemanan, kini malah memilih
mengapus account yang selama ini jadi
bagian dari waktunya, dan di sana Raia melakukan hal yang sama. Nyaris
bersamaan jari-jari mereka seolah bekerja tanpa perintah dari sang otak yang
mulia. Masing-masing memilih menutup media yang selama ini jadi mata-mata
rahasianya. Ada berat hati tapi kemudian setelah layar memerlukan password untuk menuntaskan akhir yang
tak bahagia, masing masing jari mereka memasukkan nama orang yang tengah ada
dalam pikirannya Alana mengetikan nama Raia Ragasta dan Raia mengetikan nama Alana
Alexandra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar