Reuni
mewah di rooftop sebuah café seperti
drama menyedihkan yang harus kujalani, yeah aku di sini tanpa prestasi, kecuali
jika baru lepas dari panti rehabilitasi masuk dalam hitungan di sini. Siapa
aku sekarang? Hanya pecundang payah, dengan gelar Kapten Cheer Leader dan Prom Queen
yang kini jadi kenangan, apa aku harus mengutuk diri, mengasihani diri sendiri,
dan aku di sini, seperti sampah, di depan teman-teman yang dulu kuanggap
pecundang tapi sekarang terang benderang, di depan mantan kekasih lama yang
dulu pernah kutinggalkan dengan cara yang menyakitkan.
“Lupita…”
suaranya masih sama saat memanggil namaku, aku menatap pada wajahnya. Raya, masih
setampan yang kuingat, hanya saja bila dulu dia terlihat seperti Prince
Charming, sekarang dia terlihat seperti Mr. Right dalam drama Hollywood.
Aku
mengabaikannya, mempercepat langkah, menjauh darinya.
“Lupita…”
Dan
yeah, aku menyerah saat langkahku tertahan, ketika tanganku berhasil
tergenggam.
“Mau
apa?” aku menantangnya “Mengasihaniku?” entah apa yang kupikirkan, aku
menengadahkan wajah dan menatapnya tajam, di saat yang sama aku ingin melepas
kerinduan. Ada air mata yang ingin tumpah, tapi kutahan demi sebuah harga diri
yang tak berguna.
“Aku
prihatin mendengar kabarmu” suaranya membuatku menumpahkan air mata yang sedari
tadi kutahan, bagaimana bisa kuhadapi seseorang yang pernah kusakiti?
***
Aku
tak ingin peduli pada meriah suasana, tak ingin peduli pada musik yang
menggema, suara tawa, euforia pesta telah mengabur bersama mataku yang berkaca.
Bukan salahku bila kupikir bertemu teman lama akan mengurangi deritaku, derita
menunggu kematian yang akan datang, vonis kematian datang terlalu dini di usia
25, tapi itulah yang kudapatkan atas apa yang telah kulakukan, berapa banyak
dosa yang membuatku tak termaafkan?
***
Raya
mengajakku menepi pada tempat yang lebih sepi, kami duduk di kursi besi dingin
yang membuatku menggigil, aku benci membayangkan bagaimana diriku saat ini,
seperti Zombie; pucat, jelek, tak terawat, jauh dari wajah Lupita beberapa
waktu lalu, HIV AIDS merebut diriku yang dulu.
“Maaf…”hanya
itu yang bisa kukatakan atas kesalahan kelam yang harusnya tak terampunkan.
“Aku
tak pernah membencimu” Raya menatap dalam kemataku, binarnya masih sama seperti
dulu, kini kedua tangannya menyentuh tangan kurusku, menggenggamnya, dan lalu
menciumnya, penuh cinta, yah…aku merasakannya.
“Bagaimana
bisa? Setelah semua yang terjadi?”suaraku bergetar dan terasa menyakitkan. “Kamu
memang punya pilihan untuk pergi, tapi aku yang memberikanmu alasan untuk
meninggalkan aku” mengingat kesalahan membuatku merasakan penderitaan dalam ini
lebih menakutkan dibanding ancaman kematian. Sekarang sedikit berbeda ketika
menyadari Rayalah yang di depanku, menggenggam tanganku, menenangkanku. “Sekarang
kamu adalah mimpi bagiku” menyadarinya membuatku rendah diri, aku hanya gadis
tragis yang akan mati.
“Aku
masih menyayangimu” suaranya juga bergetar “Tak ada satu haripun aku berhenti merindukanmu”
dia menghapus air mataku. Sentuhannya terasa seperti selimut hangat di hari
hujan.
“Tidak
bisa kembali, tidak bisa seperti dulu lagi” ucapku lirih, dia menyandarkan
kepalaku pada bahunya membiarkanku merasa nyaman. “Aku akan mati, dan kamu
hanya mimpi” suaraku parau. “Boleh minta satu hal?” seperti permintaan terakhir
yang ingin kusampaikan, karena entah mengapa, saat mengetahui Raya masih
menyayangiku segala ketakutanku seolah menguap begitu saja.
“Apapun”
dia menatapku dalam mencoba meyakinkanku, aku tau dia tak berdusta.
“Bila
kau adalah mimpiku, maukah kau tetap di sana…tanpa menghilang saatku terjaga?”
saat mengatakannya, air mataku tertumpah, dia membiarkannya, seperti membiarkan
air matanya menetes juga. Disaat itulah dia mengecup keningku begitu lama, lalu
membenamkanku dalam pelukannya dan membiarkanku tidur selamanya dalam kedamaian
sempurna.
Gambar : Kitty Gallannaugh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar