Kadang sugesti kuperlukan untuk menipu
diri
Bukan untuk lari, tapi hanya
menenangkan hati
Bahwa aku takkan mati secepat ini
***
Terlalu
lama menipu diri, mungkin hari ini harus kuakui , aku akan mati, sama seperti
yang lain. Mati lebih alamiah dibanding kehidupan, tidak semua bisa hidup, tapi
semua yang hidup pasti berujung mati. Apa yang harus kutakutkan? Aku hanya
perlu menghadapinya. Mati tak lebih sulit dari pengabaian ayahku selama ini,
mati tak lebih menyakitkan dari ibu yang lari dengan pemuda gimbal tukang tattoo yang (dulunya) berkeliling
menjual jasanya di pantai dekat Villa kami. Kini aku sendiri, menghadapi
sel-sel kanker yang menggerogoti, dan mati.
Seperti
malam-malam biasa, bersama pacar dan sahabatku, aku mendatangi salah satu club malam favorite kami. Malam, ini segalanya berbeda di diriku, aku
menyadarinya, dan sangat sadar saat menatap wajahku di cermin yang memantulkan
penampilan terbaruku; tidak ada lagi rambut cokelat keemasan warisan ayahku
yang berdarah Eropa, tidak ada lagi semu merah dipipiku yang kini memucat
seakan tak lagi dialiri darah, tak ada lagi tanda bahwa aku bisa hidup lebih
lama.
Aku tersenyum pada bayanganku yang tak lagi
berwajah seperti seindah malaikat surga, karena telah berganti dengan wajah
pasrah seorang gadis malang yang menanti datangnya malaikat pencabut nyawa.
Tidak
ada lagi yang perlu aku takutkan, jadi aku melepas scarf yang menutupi kepalaku, malam ini telah aku putuskan untuk merusak pesta dan mengejutkan
mereka! Aku harus katakan…aku menderita kanker darah, parah dan kita akan
berpisah, mungkin aku akan memberi sedikit joke
diakhir pengakuan tragisku nanti, dengan berkata “sampai jumpa di neraka, para penggila pesta”
***
Aku
berharap semoga mereka hanya akan tertawa- menganggapku kebanyakan minum, dan melakukan bunuh diri fashion, dengan menciptakan gaya
mengenaskan; perpaduan dua makhluk horror,
gaya gothic konyol Tuyul yang botak
dan Vampire yang pucat, anggap saja
aku sudah bosan dengan gaya Feminim-Metal khas Blake Lively; summer dress dan boots seksi, yang kini kuganti dengan kostum berkabung serba hitam
dan riasan dramatis; smookey eyes
juga lipstick warna gelap, shit! Eye liner-ku meleleh dan membentuk garis hitam tak sempurna.
Kuabaikan, aku siap berpesta dan siap untuk mengatakannya… mengakui bahwa
hariku nyaris tak bersisa, tapi mampukah?
***
Mereka
di sana, di bawah cahaya warna-warni lampu yang menari-nari, ditengah rasa bahagia,
yang kita tau bersama, tidak alamiah! Dimana logikanya saat aku akan mengatakannya
di tengah pesta, membuat pengakuan bahwa aku akan mati sebentar lagi?
Jawabannya
lebih karena, aku hanya ingin mengatakannya tanpa harus di dengarkan oleh
telinga mereka yang ditulikan musik yang menggila, tanpa harus disadari otak
mereka yang sudah terbius euforia pesta, aku hanya ingin merasa lega. Itu saja.
Aku
mendekati mereka; Winda, Angga, dan Dharma, dan bergabung bersama dan larut
dalam pesta. Hatiku merasa berdosa, bahkan saat kutau menuju mati aku malah
makin memperlebar langkah ke neraka.
Tak ada yang peka diantara mereka,
apalagi menyadari apa yang terjadi; aku, wajah pucatku, penampilan baruku, yang
kudapatkan hanya pujian betapa kerennya aku, dan Angga berkali-kali mengecup
kepala licinku.
Kupikir,
inilah waktunya, karena aku sudah tak bisa menunggu,
akhirnya aku bicara, bukan tapi berbisik…”aku akan mati” bahkan telingaku hanya menangkap getar lirih, karena
dalam hati aku tak sanggup mengatakannya pada mereka, tak tahan lagi, aku pergi.
Sejujurnya aku ingin mereka menyadari
bahwa aku tengah bersedih, tapi yang kurasa bahwa mereka tak merasakan perasaan
apapun, hati kami tak terkoneksi emosi, apalagi tersentuh rasa empati.
Apa
yang pikiran picikku lakukan? Aku sendiri, dan mati sebentar lagi? siapa yang
peduli!
***
Aku
keluar dari ruang yang tak pernah kunikmati, itu cuma tempat yang kudatangi
untuk membunuh sepi, tak ada yang kudapat disini, teman, hanya ikatan tanpa
rasa, kekasih? Tak pernah terikat dengan hati!
TIGA BULAN KEMUDIAN
“Bolehkah kukatakan betapa aku
membencimu?” Angga berteriak frustasi kepadaku, aku tak menjawabnya, hanya
menatapnya wajahnya yang tak lagi terlihat jelas, seakan dia berada di tempat
yang hanya memiliki cahaya temaram, seakan aku melihatnya dari balik kaca
berembun, seakan dia orang yang kuintip dari balik lubang kunci, tapi dia
disini, dihadapanku, tengah menggengam tanganku, sementara aku terbaring kaku
di tempat tidur tak nyaman, terkurung di ruang putih yang kubenci. “Kenapa
memilih menderita sendiri?” Dia menyalahkanku, kupikir itu bijaksana,
meninggalkannya dengan dunia yang disukainya, karena orang yang kucinta tak
ingin kuajak dalam derita.
“Aku tak ingin merusak pesta” aku
mencoba tertawa dalam sisa tenaga yang makin melemah.
“Idiot!”
“Panggilan sayang yang indah”
“Aku merindukan Ratu Pestaku”
“Tapi aku tak merindukanmu”Aku melepas
tanganku dari genggamannya. “Boleh minta sesuatu?”
“Apapun” kini tangannya seolah tak
peduli, sekali lagi dia menggenggam tanganku.
“Boleh berhenti mencintaiku?” aku
memaksa diri menciptakan seulas senyum di bibir keringku.
“Takkan pernah” dia marah. “Aku
mencarimu! Kemana-mana! Dan setelah bertemu dengan mudahnya kamu memintaku
berhenti mencintaimu!”
“Aku tak bisa lagi berpesta…tak dapat
lagi hidup lebih lama”
“Apa yang kamu rasa?”
“Aku akan pergi sebentar lagi”
Angga tak menatapku saat kata-kata itu
membunuh harapannya, dia memalingkan wajahnya dan memilih menatap ke arah
jendela. Sejujurnya aku tak menyadari sejak kapan dia di sini, karena aku baru
saja menyadarkan diri.
“Boleh minta satu hal?” pintaku lagi “Temani
aku menatap matahari pagi ini” aku tau Angga takkan mengecewakanku.
***
Aku selalu suka matahari terbit,
membawa harapan, pertanda datangnya hari baru, aku selalu bahagia saat aku
masih bisa merasakan indah cahayanya dari sela-sela jendela kamar perawatanku,
tapi hari ini, aku dan orang yang kupikir akan kutinggalkan dan takkan pernah
merasa kehilanganku tengah bersamaku, menunggu datangnya bola cahaya raksasa
itu…
“Kita sudah melewatinya…” bisikku lirih
“Apa?” tanya Angga, sekarang tangan
kami saling menggenggam seakan tak ingin terpisahkan, dan dia membiarkan
kepalaku bersandar di bahunya.
“Waktu tergelap” Jawabku pelan lalu
kami terdiam karena mata kami tengah menikmati guratan perak di ujung timur,
yang entah mengapa kini terasa begitu dekat.
“Waktu tergelap terjadi tepat sebelum
matahari itu datang, sebelum dia membawa cahayanya yang terang” aku berkata
lagi, tapi suaraku terdengar semakin melemah, tapi aku tau aku mampu
mengucapkan hal-hal yang ingin kukatakan.
“Aku sudah melewati saat itu” Ada nada
bangga seakan aku bocah kecil yang berhasil pertama kali menyuapkan makanan
pertama tanpa tumpah kemulut mungilnya.
Angga mempererat genggaman tangannya seakan
takut aku akan melepaskannya.
“Pernah menyadari bagaimana hidup ini
berjalan?” Aku merasakan bahu Angga terguncang, dan aku merasakan ada cairan
hangat yang meleleh dipipiku yang kuabaikan, aku merasa telah kehilangan
seluruh tenagaku, tapi aku harus mengatakannya, aku menguatkan diri dan memaksa
untuk terus bicara.
“Kita menyimpan sebuah harapan yang
kita harap nanti agar terkabulkan… walau kadang ada keraguan, seakan harapan
itu takkan pernah terwujudkan, tapi pada akhirnya harapan itu menjadi nyata…
seperti saat aku menunggu seseorang yang tepat yang kupikir takkan pernah
datang, kamu tau itu siapa? Itu kamu!” Kali ini Angga melepaskan genggamannya
dan mendekapku, seakan aku ingin dijaga selamanya “Kemudian setelah hal itu
terjadi segalanya seakan berakhir, seakan…hanya ada satu hal yang paling kamu
inginkan, melebihi apapun, mengulangnya lagi, seperti memutar memori itu ke
belakang, dan memutarnya dari awal, kembali pada peristiwa sebelum harapan itu
termiliki…tapi aku tau tak ada waktu untuk mengulangnya lagi”
Aku terengah seakan kata-kata itu
menghisap habis tenagaku, tapi aku tau aku telah mengatakannya, dan merasa
bahagia saat menatap kemilau keemasan indah di saat terakhir dibatas waktuku,
di tempat ternyaman di dunia, dalam pelukan orang yang kusayangi, tak ada
penyesalan hanya ada senyuman karena aku pergi dengan tenang.
:::The End:::
Waah, Citra berbakat sekali... Suka deh sama tulisanmu. =)
BalasHapusterima kasih sudah membaca :)
Hapus