Date a girl who reads

Date a girl who reads

Kamis, 20 November 2014

Cerpen: November to Remember



Aku ingin selamanya berada di tengah hutan.
Berbaring di atas dedaunan kering keemasan.
Diiringi suara alam dan angin yang membelai pepohonan.
Aku ingin menjadi bagian dari hutan.
Berkawan dengan keliaran dan menikmati ketakutan akan peradaban.
***
“Merasa bersalahlah pada pepohonan yang telah mati sia-sia, karena kau menggunakan berlembar-lembar tisu secara percuma untuk menangisi pria sialan yang mencampakkanmu!” Lusi seolah mendengar suara dramatis Desi, berkacak pinggang, dan menyorot dengan matanya yang besar dan galak. Tapi, pada akhirnya Desi akan berada bersamanya dan memeluknya. Membuatnya merasa tenang. Lusi tak ingin menangis lagi. Jadi, dia melepas tisu kusut di genggamannya dan menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangannya. Sekarang, Desi mencampakannya setelah Lusi menukar persahabatan mereka dengan lelaki yang tidak mencintainya.
“Apa yang kau tangisi, Lusi?” Dia bertanya pada diri sendiri. “Kau mendapatkan apa yang kau inginkan, seharusnya tidak ada penyesalan.” Gadis itu mengenakan kacamata Jackie Onnasis-nya dan memasuki mobil sesudahnya, sebuah perjalanan dengan sea plane dan dia tiba di surga’. Sejujurnya, jauh di dalam hatinya dia begitu merindukan perjalanan sebelumnya, setahun yang lalu saat semuanya masih baik-baik saja. Mereka bertiga menumpang di atas perahu nelayan sederhana, sekitar satu jam di tengah lautan bertukar kata dan tawa. Tapi, satu hal yang disadari Lusi yang tak ingin dibenarkan oleh kepalanya Desi dan Emile saling bertukar tatapan yang bemakna lebih dari jutaan kata. Lusi ingin menyangkal ingin melupakan.
“Hutan atau lautan?”Tanya Lusi pada mereka.
Dan, mereka  menjawab hutan secara bersamaan dalam nada yang terdengar harmonis yang entah kenapa memiliki kekuatan magis. Mereka bertatapan, lalu bertukar senyuman, ada aura romantis yang manis.
“Sebuah tenda di tengah hutan. Ketika hampir menutup mata, telingaku yang nyaris tersentuh tanah akan mendengar langkah-langkah rusa, kerik jangkrik, nyanyian malam pepohonan.” Dengan mata berbinar Lusi bercerita tentang keinginannya.
“Bukankah diving dan snorkeling lebih menyenangkan? Lusi tak mencoba mempengaruhi  Desi, tapi ia berusaha membuat Emile tergoda tak hanya dengan kata-kata tapi juga  dengan  kerlingan mata dan bahasa tubuhnya yang seksi. Okay dia bertahan tapi takkan lama, lelaki... Lusi percaya mereka gampang ditipu daya. Adam tergoda Hawa.”Bagaimana dengan bikini dan cahaya matahari?”
Ada tawa renyah dalam durasi yang tak lama, demi kesopanan yang pantas.
“Yang aku herankan...” Desi seolah sedang berpikir “bagaimana bisa seekor domba bertanduk begitu ingin berenang sementara dua ekor ikan ingin menjadi umpan para binatang buas?”
Lusi menganggap itu lucu sekali, menggunakan zodiak sebagai perumpamaan...dia tak percaya pada  kata zodiak, karena dia  lebih yakin bahwa sifat-sifat kebinatangan itu tak selalu melekat pada si pemilik bintang yang menanunginya.
“Hmmm....sulit dijawab sepertinya, walau tak sedilematis. Kira-kira seekor kucing akan memilih ikan goreng atau tikus?” tanya Lusi kemudian.
“Aku memilih Whiskas,” jawab Emilesang kucing.
Lusi bersungut dan otaknya memutar rangkaian kata ‘Seharusnya dia membidik makhluk indah di depannya bukannya  pemandangan di kejauhan— biru dan kehijauan yang terekam dalam memori kameranya’. Desi mulai membuatnya benci karena dia mulai menggoreskan pena ke kertas, entah apa yang dia tuliskan.  Lusi mulai berjalan ke sisi Emile mengambil topi di kepala pria itu, memakaikan pada kepalanya sendiri  dan bersandar di sisi Emile. Dengan ekor matanya Lusi melihat, Emile dan Desi  saling bertukar pandangan. Lusi menyangkalnya dengan mencoba terlelap.

***
Emile masih mengingat bagaimana hari itu bermula. Gelak tawa itu serta merta mengubah dunianya. Dua gelak tawa yang indah dari sepasang sahabat, Desi Lusi, disilusi, disillusion—kekecewaan. Memilih satu di antaranya untuk dimiliki, memilih satu di antaranya untuk dicintai. Kecewa, sudah pasti.
Mata Emile memandang keduanya secara sama pada awal, tapi tak lama dia tahu harus memberi pandangan lebihnya ke mana. Gadis itu tertawa parau dan tak lama air mata mengaliri pipinya. Dia tak bisa menghentikan tawanya. Emile melihat sesuatu yang tak biasa yang pernah dia alami dan dia sesali, “haruskah sekali lagi?” Batinnya. Dan, nasib mengatakan ya’.
Perjalanan untuk membunuh kebencian membawanya pada luka baru yang mulai berdarah. Kesalahannya adalah dia menganggap ayahnya bukan manusia biasa, hingga ketika ayahnya khilaf tak ada lagi maaf dari putranya yang keras kepala. Dia bertemu dua gadis itu, tapi menjalani lebih lama waktu dengan gadis yang satu. Gadis yang melumuri wajah dengan jus tomat dan lemon. Gadis yang mengelola internet cafe dan rental buku di garasi dan ruang tamu rumah tuanya. Gadis yang memiliki taman gantung di atap rumahnya. Gadis mungil dengan wajah cerah, bersuara seperti penyanyi Jazz yang tak mengenal nada, sengau karena berbicara dengan hidungnya yang seperti orang tengah mengigau. Gadis tangguh yang ternyata rapuh. Gadis yang menyewakan kamar kosong pada backpacker kumal yang baru saja mewarisi uang jutaan dollar dari ayah yang dibenci juga disesali karena meninggalkan dia dan ibunya yang sekarat dan putus asa di masa remaja.

***
“Pernahkah kau merasa bersalah?” Suara sengau itu tak cocok untuk wajah manisnya. Emile selalu berpikir itu bukan suara asli si gadis. “Aku dihantui rasa bersalah atas apa yang kulakukan.Dia menarik kacamata bacanya ke atas, tepat di atas poninya yang mulai berminyak. Dia menyesap kopi instan yang baru saja diseduhnya.
“Apa yang paling kamu sesali?” Emile bertanya, dan pertanyaannya butuh jawaban, untuk dia bandingkan dengan penyesalan terdalamnya.
Si gadis menatap langit yang berbintang, berpikir sejenak dan mulai bicara ketika dia menemukan jawabannya.
“Ini idiot, tapi aku menyesal terlahir sebagai manusia.” Sinar matanya yang menatap tepat pada mata Emile yang menggelap menunjukkan betapa gadis itu yakin dengan setiap kata yang diucapkannya.
“Kenapa?”
            “Menjadi manusia, begitu merepotkan.” Dia tertawa kecil.
            “Jika bukan manusia, kau mau jadi apa?” Emile menatapnya, sambil membelai dagunya yang kasar.
            “Sebatang pohon, di tengah hutan.” Wajahnya cerah dan bibirnya membentuk senyuman.
            “Ada alasannya?”
            “Jika pohon adalah seseorang dan hutan adalah rumah yang sangat besar. Apakah pohon akan pergi meninggalkan hutan?” Wajah si gadis tak lagi cerah. Dia seolah mengingat beberapa episode yang terlewat. “Ayahku meninggalkan ibuku, di saat aku masih setinggi ini.Tangannya melayang di udara sejajar dengan pinggangnya.Usiaku sepuluh tahun saat ibuku menjadi buruh migran di Hong Kong.Dia menikmati jeda, tapi dengan segera melanjutkan bicaranya.” Aku butuh mereka yang menyayangiku, tapi mereka pergi untuk kepentingan yang tidak kumengerti. Jika aku adalah pohon, yang aku butuhkan adalah air dan cahaya matahari.Matanya basah, tapi dengan cepat dia mengerjap-ngerjapkannya, berharap air matanya tak sempat dilihat lawan bicaranya. Tapi, kesedihan terdengar jelas dalam kata-katanya. “Jika aku menjadi pohon, maka aku hanya bisa memberi tanpa berhak menerima.”
            Emile sadar, gadis di depannya perlu pendengar. Khas, perempuan mereka memulai menanyakan lawan bicaranya, tapi pada akhirnya merekalah yang berbicara panjang lebar.
            “Suatu hari nanti aku ingin meminta maaf pada pepohonan.Gadis itu tersenyum pahit. “Aku minta maaf untuk banyak stik es krim yang telah kupakai seumur hidupku. Saat sedih, es krim mengobati hatiku. Aku ingin minta maaf untuk kertas-kertas yang pernah kutulisi, kertas-kertas berisi kata-kata yang kubaca. Tisu untuk menghapus air mata juga udara segar yang diberikan cuma-cuma. Aku tak pernah mengucapkan terima kasih padanya.”
            Gadis aneh.
            “Sekarang, aku tahu alasannya, kenapa kau menangis ketika kita melewati lahan yang baru dibuka untuk pembangunan hotel di pulau kemarin,”
            “Salah! Aku menangis karena melihat pandangan jatuh cinta Lusi padamu.” Teriak hatinya.
“Lusi mencintaimu.” Dengan mata berkaca, Desi meyakinkan pria yang tengah memandangnya dengan frustasi.
            “Bukan berarti aku juga harus mencintainya, hati seharusnya berhak memilih.” Emile mengatakan apa yang hatinya sampaikan.
            “Jika hati memiliki hak untuk memilih. Ayahku akan mencintai ibuku. Ibuku pasti bersamaku, bukan pergi ke negeri orang dan menjaga orang tua jompo yang ditelantarkan anak-anak mereka, demi masa depan putri tunggalnya yang malang. Sekarang, aku sendiri dan ditinggalkan, bukankah seharusnya aku terbiasa? Dan, beruntunglah mereka yang menemukan seseorang....
            “Aku menemukanmu,”
            “Dan, tak lama kamu juga akan kehilangan aku!”
            Emile merosot pada dinding, kaki-kakinya seolah tak lagi bisa menopang badannya.”Katakan apa yang kau inginkan, akan kulakukan,”
            “Hidup dengan mengidap Amyotrophic lateral sclerosis [1]tak mudah, sayangku. Jadi, untuk gadis sekarat ini, maukah kamu menjadi Jin Aladdin?” Permohonan yang tak mudah.
            Emile menggeleng pelan, tak habis pikirnya dengan gadis yang berusaha kuat di saat dia sekarat. “Akan kulakukan jika kamu mau menjalani pengobatanmu.”
            Ada senyum pahit yang dipaksakan.
            “Pertama, nikahi sahabatku. Dia membenciku karena aku berusaha membuatnya begitu. Aku lebih suka dia keluar dari hidupku dan tak melihat bagaimana aku menderita. Aku lebih suka dia mengenangku dengan wajah bahagia.” Desi mengatakan hal itu dengan mudah, lidah mungkin gampang berencana. Tapi, bagi yang diminta untuk menjalaninya?
            Emile ingin membenci gadis keras kepala yang tak mengasihani dirinya sendiri.
            “Kedua. Jangan pernah mencintaiku. Berusahalah untuk membenciku.” Emile menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Gadis itu berontak dan menunjukkan wajah menantang yang membuat siapa pun kesal.
            “Ketiga… ”
            “Jangan membuatku melakukan sesuatu yang tak bisa kulakukan!” Marah dan kecewa membuat suara Emile bergetar lemah.
            “Kalau begitu, jangan memaksaku menjalani rangkaian terapi, obat-obat tak berguna dan pandangan kasihan dari orang-orang yang dibayar untuk kesembuhanku.  Aku ingin menikmati sakitku dan mati secepat mungkin sebelum penyakit ini membunuhku!”
            “Itukah yang paling ingin kau lakukan?” tanya Emile yang mata hijaunya kini menggelap dan seperti terlapisi kaca.
            “Kamu tahu bukan itu, tapi apa dayaku?” Gadis itu menghela nafas, menatap lekat-lekat pada sosok yang membuatnya sedih, dan ketakutan, tapi juga membuatnya merasakan kehangatan di dalam dirinya. Gadis itu memasrahkan dirinya dan tersenyum. “Kadang kita harus menuruti hati, tapi kebanyakan kita lebih memilih untuk melindungi hati dengan cara yang salah; mengkhianatinya. Salah bagi kita, tapi benar bagi kehidupan lain yang lebih baik. Mengertilah jika kamu sungguh-sungguh menyayangiku.  Dia menghela nafasnya, sekarang bernafas begitu berat untuknya. “Kita hanyalah dua orang asing sebelumnya, tapi... aku akan tetap menjadikanmu satu-satunya pengisi hatiku.”
            “Apa yang kamu bicarakan?”
            “Bisa kukatakan permintaan ketigaku?” Matanya yang memohon membuat pintu pilihan tertutup bagi Emile. Dengan berat dia mengangguk.
            “Masih ingat pulau yang kita kunjungi bersama? Aku, kamu, dan Lusi. Itu kenangan terindahku. Saat dua orang paling kusayangi menghabiskan waktu terbaik dalam hidupku, di tengah hutan. Aku ingin mati di sana, di pelukanmu. Jangan menolakku.”
            Bahu Emile bergetar dan air mata tak lagi mampu untuk ditahan. Emile memeluk Desi, tak ada kata-kata untuk waktu yang lama. Pelukan berarti pengertian, menjadi hal yang paling dibutuhkan di saat seribu kata tak lagi bisa dikatakan.
            “Aku hanya tak ingin hidup dalam rasa kasihan,”
            Emile menguatkan pelukannya. Tubuh ringkih Desi bisa saja remuk, tapi itu lebih baik dibanding jika Desi melepaskan diri.
            “Tambahkan dosis morfinku, hanya itu yang perlu kamu lakukan. Tidak ada rasa sakit, hanya kematian yang menyenangkan.”
***
            Dua puluh satu November. Hari pernikahan, hari ulang tahun, dan sebuah peringatan. Sebuah hari yang juga dipilih untuk menghadapi kematian.
            Alih-alih memilih tenda di pantai seperti mimpinya, Lusi memilih tenda di tengah hutan. Tidak ada bikini ataupun kilauan senyumannya di bawah sinar matahari. Melewati bulan madu seorang diri. Sedih.
            “Kau berhak memilih tanggal pernikahan kita dan aku berhak untuk tak bersamamu melewati malam harinya. Hanya hari itu, tapi setelahnya aku milikmu selama yang kau mau. Keputusan bodoh yang kini disesalkan, tanggal pernikahan di hari ulang tahun sahabatnya. Bermaksud menyakiti tapi, Lusi justru menghujamkan pisau ke jantungnya sendiri.
            Kurang dua kilo-meter dari tenda mewah Lusi, di bawah langit berbintang, dua anak manusia lainnya berbagi tempat dalam kemah mungil sederhana. Surga, memiliki dua sisi yang berbeda.
            “Terima kasih,” lirih dan nyaris tak terucap, Desi kehilangan hampir segalanya kecuali satu hal; Emile. Dia melihat segala keindahan, pengaruh morfin, pengaruh cinta yang besar. Tak lama semuanya akan berubah akan merampasnya dari kehidupan, tapi tak ada penyesalan.
            “Kau akan jadi Bristlecone-ku, pohon abadiku.” Emile menahan diri untuk tak sedih, menguatkan diri dengan menghangatkan Desi di saat dia begitu menggigil ketakutan. Dua kali mengantarkan dua wanita yang paling dicintainya pada kematian bukanlah pengalaman indah.
            Detik-detik seakan berganti begitu lama. Tapi, setidaknya mereka bahagia. Akan ada hutan milik Desi di sana, hutan yang berhasil diselamatkan, petisi mereka mendapat dukungan, tidak ada pembangunan hotel baru di tanah yang kini terasa dingin, sedingin raga di pelukan Emile. Seperti inginnya, nanti setelah dikremasi, abunya akan bersama tanah memberi nutrisi pada pohon-pohon baru. Dan, satu di antaranya, mungkin saja Desi yang telah bereinkarnasi.

 :::Selamat Hari Pohon Sedunia:::



[1] penyakit saraf yang menyerang neuron yang mengendalikan otot lurik. Sel-sel saraf motorik atau saraf yang bekerja memerintah otot sesuai otak tersebut menjadi tua sebelum waktunya. Hal ini terjadi terus hingga keadaan otot makin memburuk. Gejala ALS ditandai oleh melemahnya otot-otot pergerakan yang bekerja atas perintah otak


3 komentar:

  1. Aku gak nyangka endingnya bakal kayak gini Kak. Kasian Lusi ya.

    BalasHapus
  2. terharu baca ceritanya,ending ceritanya menyedihkan sekali :)

    BalasHapus
  3. Cerita Bagus....
    www.sewamobilbox.biz

    BalasHapus