Date a girl who reads

Date a girl who reads

Jumat, 13 Februari 2015

Valentine Milik Krisna dan Nena


"Tidakkah kamu merasa konyol untuk memenuhi janji kepada gadis enam belas tahun, dengan bersedia menjadi valentine-nya?" Lelaki dua puluh delapan tahun dengan sorot mata serius dan bertubuh tegap yang tak terlihat seperti orang dengan pengidap Lolita Complex Syndrome itu, seakan ingin menghantamkan tinju pada lelaki yang berdiri di hadapannya. Dia ingin mematahkan hidungnya dan merobek bibirnya yang memasang senyum mengejek. Lebih dari segalanya dia ingin membungkam mulutnya agar pertanyaan yang diajukannya berhenti mengema di dalam kepalanya. Pertanyaan itu membuatnya seperti merasakan bisikan yang ditakutkan oleh para penderita schizoprenia.
      Alis lelaki di depannya meninggi, ekspresinya seolah berkata bahwa dia sudah tak sabar untuk menunggu jawaban yang dituntutnya. Akal sehatnya berusaha memenangkan diri dengan menunjukkan apa gambaran  yang akan terjadi bila dia melukai lelaki itu. Iya akan ada perasaan puas yang melegakan tapi dia tahu dia akan dikalahkan bukan hanya oleh dirinya yang gagal mengontrol diri, tapi dia tahu sekali bahwa dalam perkelahian ini dialah yang akan terluka. Kulitnya tergores bahkan terkoyak dan juga dialiri darah yang membuat lukanya terasa kian pedih. Sementara lelaki yang hanyalah bayangannya akan menjadi sang pemenang yang bukannya semakin lemah tapi dia akan memperbanyak dirinya― sebanyak kepingan pecahan cermin yang dihantam tangannya.
      Untuk sesaat Krisna merasa dirinya gila. Dia menghela nafas tapi dengan segera dia menyesalinya, itu tak lebih dari bahasa tubuh mereka yang menyerah. Krisna ragu pada dirinya, apakah dia sedemikian putus asanya untuk bisa mencicipi sedikit cinta di hari yang kata mereka adalah hari kasih sayang. Hari yang dihiasi cokelat, bunga, boneka beruang dan aura merah muda di udara. Dia mengenyahkan keraguannya dengan segera, seakan hanya dengan berkata dalam hati semua akan baik-baik saja maka segalanya akan sedemikian adanya. Ini lucu dan dungu, ada sosok mengejek dari dalam dirinya yang kita terbahak, saat Krisna selesai mengancing kemejanya, meraih sekotak cokelat praline khusus yang dipesannya, dan melangkah menuju gadis centil yang kini tersenyum manis dalam kepalanya.

***
      Nena mengerucutkan bibirnya lalu melebarkan bibirnya yang membentuk senyum merekah yang membuatnya kecewa karena tak lama, dengan marah dia menghapus lipstik berwarna merah menyala dari bibirnya dengan tissue yang kini bernoda sewarna darah. Gumpalan tissue itu kini bergabung dengan gumpalan-gumpalan tissue yang bernasib sama, yang menyebar hampir di seluruh lantai kamarnya yang dihiasi karpet berbulu. Tanpa perlu efek dramatis dari lipstik itu dia tahu bahwa sebuah lipstik tak mampu menipu. Pulasan lipstik tak bisa menyamarkan usia seorang perempuan.
      Kekesalannya memuncak manakala dia membuka lemari pakaiannya dan dia menyadari betapa miskinnya dia. Tak ada satupun gaun yang bisa dipakai untuk kencan malam valentine-nya yang tinggal satu jam lagi. Secara membabi buta Nena menarik belasan gaun miliknya yang tergantung untuk dihempaskan ke tempat tidur. Kekesalan berubah menjadi kemarahan yang berakhir menjadi keputusasaan saat Nena menyerah dan menelpon adiknya yang hanya berada di kamar sebelah untuk meminjamkan Nena floral mini dress yang bulan lalu Nena berikan sebagai hadiah ulang tahun.
      "Tapi aku belum sempat memakai gaunnya," rajuk Nilam. "Bukannya mbak Nina punya jutaan gaun lainnya?" Tambahnya dalam nada kesal yang berlebihan.
      Nina menghela nafas panjang, dia berusaha menggunakan akal sehat dan berkompromi dengan dirinya dan setelah dirasa keputusannya tepat, akhirnya dia mengajukan penawaran untuk adiknya yang dia tahu tak bisa menolak kertas bernominal.
      "Ya atau tidak, seratus ribu untuk nyewa gaunnya...." Nina memejamkan mata saat mengucapkannya, dia masih merasakan sisa kekesalan menyiksa dirinya.
      "Dua ratus lima puluh ribu ditambah stiletto dan clutch bag yang serasi." Tak ada pilihan lain bagi Nena selain membiarkan adiknya memerasnya, dan dalam hati dia memaki mereka yang membenarkan ungkapan bahwa darah lebih kental daripada air. Jika menyangkut uang saudaranya bahkan bersedia menjadi penghisap darah.
***
      "Entah bagaimana gadis itu sekarang...." Krisna menerka-nerka dengan bimbang dan seseorang dalam dirinya berusaha menghiburnya dengan menyuruhnya bersabar sebentar lagi. Sulit baginya untuk bersabar karena waktu menunjukkan gadis itu sudah seharusnya tiba dan saat ini mereka mungkin sedang menukar senyuman, berbalas tatapan dan saling memberi pujian. Apakah harapannya terlalu berlebihan? Krisna tertawa kecil, menyadari kekonyolannya. Makan malam valentine, tak lebih dari sebuah ide konyol yang pernah dia lakukan. Seorang Krisna bahkan rela meninggalkan tumpukan pekerjaannya dan berdandan dandy, demi janji. Janji?Janji yang telah dibuatnya dulu sekali. Janji? banyak lho yang tak menepati janji.
      Krisna mengedarkan pandangan dan berusaha menemukan gadis bermata bulat besar, berponi lebat dan bibir mungil yang senyumannya membuat Krisna menggigil. Gadis itu masih belum tampak oleh matanya yang lelah, dan kali ini dia memutuskan untuk mengenakan kacamatanya. Kesan serius dan membosankan langsung menyelimutinya. Dia meletakkan kacamatanya di meja dan memutuskan untuk membiarkan si waiter menuangkan wine ke dalam gelasnya. Krisna mulai menghiburnya dengan kalimat sarkastik untuk memotivasi dirinya; Satu-satunya alasan kenapa kamu tak bisa mendapatkan gadis itu, adalah karena kamu tak pernah mau melakukan sesuatu yang diharapkan oleh gadis itu. Hari ini dia melakukannya dan gadis itu belum tiba dihadapannya. Dia menatap arlojinya dan jika jarum panjang tiba diangka 12, tak ada pilihan selain meningalkan tempat ini dengan segera.
***
      Nena menyesali keputusannya meminjam gaun milik adiknya; terlalu sempit di bagian dada dan terlalu panjang lima centi hingga ke bawah lututnya. Di menginginkan sesuatu yang nyaman yang membuatnya bebas bernafas tapi bisa memperlihatkan lebih banyak kakinya yang jenjang dan berkulit keemasan. Stilletto ini sungguh menyiksa dan entah bagaimana kulit kepalanya tiba-tiba memproduksi minyak secara berlebihan yang menyebabkan rambut ikalnya seperti sulur layu tanaman merambat di rumah tua dalam film horror. Nena berusaha tersenyum, terlalu takut kekhawatirannya bisa menjadi pemicu timbulnya kerutan di wajah secara tiba-tiba.
      "Aku masih Nena," dia mengingatkan dirinya sendiri dan berusaha meredakan ketegangannya. "Aku memiliki senyuman yang membuat siapa saja terpesona." Kepercayaan dirinya meningkat hingga delapan puluh persen. Dengan segera dia menjepit kedua sisi rambutnya yang lepek ke puncak kepala dengan sirkam berwarna perak, memperlihatkan kilau mungil di kedua telinganya dan beberapa tahi lalat di leher dan dadanya seolah mempermanis penampilannya. Setidaknya gaun ini berfungsi benar untuk memperlihatkan keindahan bahu dan leher jenjangnya. Sekarang dia siap untuk memperlihatkan wajah di depan kencannya. Dengan segera dia keluar dari toilet dengan perasaan lebih baik. Sayang, alih-alih ke tempat dia yang tengah menunggu, Nena justru kembali ke mobil menambahkan cardigan berwarna lilac pucat di atas gaunnya, mengganti stiletto dengan flat shoes, dan menambahkan kacamata minusnya. Dengan cemas, dia melangkahkan kaki menunju pria yang bisa saja telah pergi karena menunggunya selama ini.
***
      Sepuluh tahun berlalu dan hari ini keduanya bertemu. Rasanya baru kemarin gadis enam belas tahun centil itu melemparkan senyuman kepada remaja kikuk yang sering tersandung karena pandangan rabun atau kepalanya yang terlalu berat dipenuhi rumus dan solusi dari masalah yang berisi angka-angka yang nantinya akan ditukar nilai sempurna dari gurunya, kepala 'besarnya' tak mampu menopang tubuh kerempengnya. Ketika itu keduanya berbeda, si gadis centil adalah dancer sekolah yang cantik dan ceria, sementara si pemuda, perlu diperbaiki dibanyak tempat untuk bisa dilihat keindahannya.
      Di hari valentine sepuluh tahun lalu, si gadis mengungkapkan perasaannya namun diabaikan oleh si pemuda. Dan, tepat minggu lalu si pemuda yang telah dewasa menemukan sebuah kartu valentine lama, yang seharusnya dia kirimkan dulu untuk gadis yang begitu dia inginkan tapi begitu ketakutan untuk dimilikinya. Krisna mengingat telah mengganti kartu valentine itu dengan sepucuk surat bernada sombong yang mengatakan; 'Aku mau menjadi valentine-mu―tapi tidak hari ini namun sepuluh tahun dari sekarang'. Menurutnya, jika perasaan remaja mereka itu benar maka mereka akan bertemu lagi dalam versi dewasa dalam versi lebih baik dan siap untuk kisah cinta, karena si pemuda merasa remaja tak boleh jatuh cinta. Masa remaja adalah waktu yang tepat meraih cita-cita. Si gadis menurut dan menunggu hingga minggu lalu secara misterius email itu dari si pemuda datang dan akhirnya menjawab keraguannya sepuluh tahun ini.
      Nena merasa lega namun juga gelisah di saat yang sama, tapi setidaknya dia percaya percaya bahwa selama ini Krisna hanya butuh waktu untuk mematangkan diri seperti halnya dia yang membutuhkan waktu untuk... bukan mencari tapi membangun jati diri.
***
      Keduanya berjabat tangan, bertukar senyuman dan beberapa saat kemudian mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Krisna sibuk mengingat saran teman-temannya dan Nena tak bisa berhenti memikirkan tips-tips percintaan dari allwomenstalk.com. Mereka payah karena tak bertanya pada hati tentang apa yang dirasakannya saat ini. Keduanya lupa tentang makan malam valentine yang seharusnya atau juga tentang sepuluh tahun penuh terkaan. Hari ini mereka bertemu dan berjarak sedekat ini namun keduanya masing-masing membangun tembok perbatasan.
      "Hmmm, adakah buku bagus yang kamu baca belakangan ini?" Hebat Nena, setidaknya begitulah cara menghadapi pria kutu buku, seingatnya.
      "Hmmmm... hanya majalah Esquire." Sialan, Krisna berdusta. Padahal dia baru saja membaca What If dari Randall Munroe. "Kamu?"
      "Hanya sedang membaca ulang Therese Raquin." Dia menyebut novel yang sedang dibaca Nilam, kalaupun Nina membaca itu hanya antara Vogue atau Cosmopolitan.
      Ada lebih banyak  jeda daripada kata-kata, hingga mereka memutuskan menyibukkan diri dengan mulai makan dan memuji makanan, hanya basa-basi tak berarti. Sepuluh tahun menanti dan ternyata hanya begini, keduanya dikecewakan oleh ekspektasi. Nena benci tak melihat pria bertampang serius dengan kacamata dan dahi berkerut. Ada banyak pria semacam ini yang dikenalnya. Jika begini tak ada bedanya Krisna dengan Adam atau Ryan, dia ingin pria yang melengkapinya. Begitupun Krisna, dia pikir dia akan dibuat bersemu merah oleh gadis yang akan menggodanya dengan tatapan seksi juga tawa tawa manja yang membelai telinganya. Makan malam valentine dengan gadis yang sebagian besar isi kepalanya tertinggal di novel klasik― justru mengingatkannya dengan versi perempuan dirinya yang membosankan.

      Tak lama mereka mengakhiri malam itu, dan di mobil, di tengah perjalanan pulang mereka masing-masing mengutuk sepuluh tahun panjang penuh harapan yang sia-sia. Mereka membuka topeng, kembali menjadi apa adanya mereka; Krisna, pria kutu buku payah yang memiliki pesona misterius dalam dirinya dan Nena gadis seksi yang bisa menggoda pria mana saja.

2 komentar: