Date a girl who reads

Date a girl who reads

Sabtu, 21 Januari 2017

[REVIEW] A Untuk Amanda: Menjadi Sempurna Bukanlah Segalanya



Keterangan Buku:
Judul : A Untuk Amanda
Penulis : Annisa Ihsani
Editor : Yuniar Budiarti
Proofreader : M. Aditiyo Haryadi
Desain Sampul : Orkha Creative
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit : Jakarta, 2016
ISBN : 978-605-03-2631-3
Jumlah halaman: 264

Blurb :
Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.
Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bias beruntung setiap saat, kan?
Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.
Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya. Amanda harus menerima bahwa dia tidak bias mendapat nilai A untuk segalanya.


Review:
Menurut saya ketidaksempurnaan itulah yang menjadikan kita manusia. Tapi gadis tokoh utama dalam kisah ini berpendapat sebaliknya.

Amanda gadis remaja yang merupakan tokoh utama dalam buku ini merupakan tokoh yang saya sebagai pembaca menaruh perhatian besar padanya. Untuk membahasa buku ini saya akan memandang Amanda sebagai seorang guru, seperti profesi saya yang sebenarnya. Kenapa saya menggunakan sudut pandang ini? Karena sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari, salah satu kesalahan para pendidik adalah cenderung kurang memperhatikan kesehatan mental peserta didiknya.
Kebanyakan orang pada umumnya, barangkali berpendapat bahwa tokoh Amanda ini adalah gadis remaja yang tidak bersyukur, dimana seperti yang diceritakan dalam bukunya bahwa Amanda adalah gadis jenius dengan IP nyaris selalu 4.00, masuk di Klub Komputer yang bergengsi, Ibunya menyayanginya, gurunya meletakkan harapan besar padanya, memacari cowok cute (tidak ada cowok yang suka diberi label cute, tapi bagi saya Tommy sungguh cute! Se-cute hubungan mereka yang telah terbangun sejak mereka masih anak-anak) memiliki Helen/Helena gadis populer di sekolah sebagai seorang yang bisa dikatakan nyaris sebagai sahabatnya. Akan tetapi, si Amanda ini tak percaya dengan apa yang dimilikinya itu. Dia merasa bahwa dia hanya beruntung, itu saja. Selain itu Amanda adalah seorang agnostik juga feminis, pendapat-pendapat pribadi Amanda cukup meneguhkan bahwa dia adalah seorang agnostik-feminis-yang-hidupnya-adalah-untuk-mencapai-impiannya-sebagai-seorang-ilmuan.
Sebagai guru, saya tahu bahwa apa yang dialami Amanda adalah hal yang alami bagi anak dengan bakat di atas rata-rata. Pernah mendengar istilah, “orang bodoh (maaf, sebenarnya bagi saya kata bodoh sungguhlah kasar) terlalu percaya diri dan orang pintar selalu diliputi keraguan.” Begitulah yang kira-kira ingin penulis sampaikan melalui novel ini. Ketidakpercayaan tokoh Amanda atas apa yang dimiliki dalam hidupnya. Dan yang saya lihat selama nyaris tujuh tahun menjadi guru, sindrom ketidakpercayaan diri dan kecenderungan terobsesi akan prestasi kerap menjangkiti anak-anak semacam Amanda ini.
Tokoh Amanda menurut saya seperti versi remaja Sylvia Plath. Penulis lumayan berhasil mengajak pembaca menjadi sedepresif Amanda dengan cara yang mampu dicerna pembaca remaja. Saya suka idenya untuk “menciptakan” setting yang merupakan di negera tropis entah bernama apa, ataukah saya melewati Negara mana tempat Amanda ini berada. Berdasarkan cara penuturan novel ini semacam novel terjemahan yang khas negeri Paman Sam, namun dari pemilihan nama tokoh merupakan campuran nama lokal, Barat, dan Timur Tengah. Walau menurut saya agak ‘nanggung’ tapi tak menjadikan kekurangan dalam buku ini.
Pesan moral yang disampaikan kisah ini jelas merupakan pembelajaran yang baik bagi pembaca terutama pembaca remaja yaitu tentang ‘betapa tertekannya menjadi sempurna dan menjadi pribadi yang ambisius’ pada akhirnya yang seseorang perlu lakukan adalah memaafkan kekurangan dan berdamai dengan hal-hal yang tak bisa diubah. Remaja yang tengah “membangun” jati dirinya perlu membaca buku ini (saya menyuaki kata “membangun” dibanding “mencari” jati diri)
Sebagai seorang pendidik, agaknya tekanan yang dialami oleh Amanda lebih karena sistem pendidikan yang ’lupa’ bahwa pengetahuan bukanlah tentang mengejar “capaian” tertentu, tapi bagaimana menjadikan siswa mau memenuhi dirinya dengan pengetahuan yang bermanfaat sebagai modal untuk kehidupan di masa depan mereka. Beban anak-anak sekolah jaman sekarang sungguh mudah menjadikan mereka terserang depresi. Tuntutan orang tua dan sekolah kadang menyiksa anak-anak kita, mari kita kembalikan peran keluarga dan sekolah seperti yang dibutuhkan oleh mereka, anak-anak kita.
Hampir saja lupa mengatakannya, bahwa saya menyukai sampulnya. Tekanan yang dialami Amanda terlihat jelas di sana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar