(Rakendra)
Aku melihatnya kemarin, Gadis, tidak
pernah salah itu pastilah dia, seseorang yang aku rindukan. Bagaimana bisa
begitu dekat dengannya tapi tak bisa meraihnya. Sudahlah Rakendra, waktunya tak
tepat. Takkan ada lagi waktu yang tepat, tak bisa kumengerti, ketika ayahnya
memintaku untuk menjaganya dan berakhir ayahnya malah memintaku untuk
menjauhinya. Aku mengerti semuanya kesalahanku, tapi bisakah dipahami…tidak ada
satu orang pun yang sanggup menolak pesona putrinya, aku jatuh cinta sungguh di
luar rencana, dan mungkin aku juga harus bisa melihat dari sudut pandangnya,
tak ada satu orang tuapun yang akan rela putri yang dibesarkan dengan kasih
sayang dan penuh kemewahan berakhir di pelukan si miskin. Apa yang bisa
diandalkan dari cowok remaja tanpa pengalaman dengan masa depan suram? Tapi
setidaknya, Gadis telah mengajariku tentang satu hal, mempercayai cinta. Cinta
yang berbeda.
Aku menengok amplop bersampul coklat,
aku hanya sempat membuka buku itu sejak pertama buku itu ditanganku, otakku
sungguh tak dapat digunakan ketika hatiku merasa sedih yang teramat dalam
akibat kehilangan.
Aku mengelus bagian depan
buku bersampul kulit, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membacanya, tapi
tidak ada salahnya bila aku menengok bagian depannya.
Kubuka halaman pertama, ada wangi ibu
Lestari di sana, wangi penuh cinta dan kasih sayang tulus, aku seperti bisa
melihat beliau duduk di hadapanku, dengan tatapan penuh cintanya. Tak terasa
aku merasakan lagi ketidakpercayaan itu, ingin menyangkal bahwa beliau
sesungguhnya telah pergi.
Aku menyentuh lembut halaman yang
menampilkan tulisan indahnya yang terukir dari tinta berwarna hitam, ini
mungkin bukan buku harian, tapi lebih mirip kisah yang tertunda untuk
dikatakan.
Pernahkah
kau menyadari detik demi detik kehidupanmu? Pernahkah kau memikirkan bagaimana
kau akan mati?
Aku mungkin tak pernah
mempersiapkan apa yang harus kulakukan ketika kedatangan awalku di dunia, yang
kuketahui hanyalah bahwa kita tak mungkin bisa memilih keluarga mana tempat
kita ditakdirkan menjadi bagian darinya.
Ada yang mengatakan bahwa hidup ini
adalah tragedi bagi orang-orang yang menggunakan hati dan lelucon bagi yang
menggunakan otak untuk berpikir. Tidaklah sulit untuk mengetahui ke kelompok
mana aku dimasukkan, aku tau itu menyedihkan, tapi begitulah…hidup adalah
seperti sebuah layar film raksasa, dimana kita memilih peran yang akan kita
mainkan, dan aku memilih menjadi Lestari; anak perempuan malang, gadis penggoda
yang jatuh cinta pada pria yang salah, wanita yang menjadi ibu dari banyak
yatim-piatu, tapi tak bisa menjadi ibu bagi putra-putranya.
Apakah aku memilih peran yang
salah?
Entahlah!
Tapi jejak-jejak sejarah yang
kutorehkan tak pernah ingin kusesali
Dan padamulah kini kuberbagi.
Aku bukan siapa-siapa, hidupku
tidak terlalu menarik untuk disimak, tapi memang ada hal yang perlu kukatakan,
lebih karena aku ingin menyelamatkan kehidupan bagi mereka yang masih
menjalaninya.
Ada hal-hal yang harus diselamatkan
walaupun aku bahkan tak mampu menyelamatkan diriku sendiri. Ada kalanya kita
harus terjun dari sekoci untuk membiarkan mereka yang lebih pantas mendapatkan
tempat untuk menuju ke tanah seberang.
Mungkin aku takkan mengetahui
bagaimana aku mati, tapi jauh dalam hati aku ingin agar ketika maut
menjemputku, aku berada di tempat yang hangat dalam kedamaian jiwa dan hati
yang lapang.
Percayakah kau bahwa aku tak pernah
takut akan mati? Karena yang aku tau mati itu tak pernah mengerikan, mati itu
lebih mirip seperti menarik selimut hangat, memejamkan mata lalu terlarut
bersama mimpi. Jauh lebih mudah daripada memperjuangkan hidup, hidup bahkan
lebih susah untuk ditebak, bagaimana mejalani hari perhari, menyerah pada
takdir, merasakan berbagai emosi; menikmati luka menangisi bahagia, berjalan
dari satu titik ke titik lainnya, memilih bertahan atau menghilang, berlari
atau menghadapi. Belajar dan berdoa. Meggunakan hati ataukah pikiran. Bermimpi
atau menjalani realita. Memilih kecewa atau bahagia. Menjadi tinggi atau
rendah; terhormat atau terhina. Meyesatkan diri atau kembali pada kebenaran.
Menjadi pengecut atau menantang maut? Pengkhianat atau pemberontak. Hidup
bahkan lebih rumit daripada sakit menjelang maut yang datang mejemput;
percayalah bahwa dekapan hangat kehidupan serasa begitu cepat berlalu dan
ketika kau diujug waktu, tak ada lagi yang mampu kau lakukan, maka satu-satunya
cara adalah…kalaupun kau tak bisa menyelamatkan hidupmu, selamatkanlah
kehidupan mereka yang lebih layak untuk kau selamatkan. Ada hal-hal yang tak
semua manusia sanggup lakukan, dan itu seperti diriku, aku tau waktuku tak
lama, aku tau siapa orang yang tepat dan bisa kupercayai, denganmu, kubagi
kisah ini, agar kau bisa menyelamatkan mereka yang pantas diselamatkan.
Terima kasihku atas segala hal yang
patut untuk kuhargai, karena kebaikan hati, ketulusan tanpa pamrih dan untuk
hati yang penuh cinta. Tak banyak dari mereka mengetahui seberapa indahnya
dirimu, tapi aku tau jauh dalam lubuk hatimu, engkaulah manusia itu, manusia
istimewa yang tau bagaimana mencintai, benci juga kamu miliki, tapi sucinya
hatimu membuatmu mau memaafkan segala yang harus dimaafkan.
Bacalah kisahku, dan bawa pelajaran
berharganya untuk menyelamatkan mereka yang tersisa di dunia.
Terima kasihku untukmu, anakku
Penuh Cinta
Ibumu
Bahkan ketika membaca kata perkata
dalam tulisan tangannya yang indah membuatku melanggar lagi janjiku, aku
menumpahkan air mataku. Bagaimana bisa beliau menghargaiku dengan kepercayaan
sebesar ini?
Beliau mencintai setiap anaknya, tak
ada yang kurang dan tak ada yang lebih, dengan takaran yang sama, walau beda
cara penyajiannya. Beliau tau cara menghadapiku yang sungguh sangat keras
kepala, dan inilah yang beliau tinggalkan untukku, sebuah kepercayaan besar,
walau aku belum tau apakah itu.
Aku menghapus air mataku. Kali ini aku
sungguh tak bisa menahannya, aku seperti bocah cengeng payah, tapi aku tau ibu
pasti memahami, beliau tak pernah melarang setiap anak lelakinya menangis, aku
bisa mengingatnya, bagaimana cara beliau menghibur kami; ketika kecil dulu
beliau akan memanggilku ke kamarnya, memberiku beberapa keping kue kering
coklat dan segelas coklat hangat, serta membolehkanku untuk duduk dipangkuannya
selama beberapa saat, sambil beliau menyenandungkan lagu-lagu indah yang
membuatku lupa akan kesedihanku, dan di saat aku sudah mulai dewasa, beliau
selalu mengajakku untuk bicara berdua di teras belakang sambil menatap bintang,
mengajakku untuk mengagumi berbagai keagungan Tuhan, dan aku tau masalahku
sejak dulu, rendah diri karena aku hanyalah seorang piatu, dan nasehatnya hanya
satu “Tuhan sudah memilihmu untuk menjadi orang yang istimewa, itu karena kamu
sanggup, kamu istimewa” dan setelah itu sebuah tepukan di bahu, akan
menguatkanku.
Seharusnya dulu, aku tidak pernah malu
untuk kembali. Agar aku tak terlalu menyesal seperti ini ketika beliau pergi.
hah... terharu :')
BalasHapuswaduh tadi lupa nyediain tisssue de' :D
BalasHapus