Date a girl who reads

Date a girl who reads

Minggu, 22 Januari 2012

Rahasia Gadis (36)



(Rakendra)

          Aku melihatnya kemarin, Gadis, tidak pernah salah itu pastilah dia, seseorang yang aku rindukan. Bagaimana bisa begitu dekat dengannya tapi tak bisa meraihnya. Sudahlah Rakendra, waktunya tak tepat. Takkan ada lagi waktu yang tepat, tak bisa kumengerti, ketika ayahnya memintaku untuk menjaganya dan berakhir ayahnya malah memintaku untuk menjauhinya. Aku mengerti semuanya kesalahanku, tapi bisakah dipahami…tidak ada satu orang pun yang sanggup menolak pesona putrinya, aku jatuh cinta sungguh di luar rencana, dan mungkin aku juga harus bisa melihat dari sudut pandangnya, tak ada satu orang tuapun yang akan rela putri yang dibesarkan dengan kasih sayang dan penuh kemewahan berakhir di pelukan si miskin. Apa yang bisa diandalkan dari cowok remaja tanpa pengalaman dengan masa depan suram? Tapi setidaknya, Gadis telah mengajariku tentang satu hal, mempercayai cinta. Cinta yang berbeda.

          Aku menengok amplop bersampul coklat, aku hanya sempat membuka buku itu sejak pertama buku itu ditanganku, otakku sungguh tak dapat digunakan ketika hatiku merasa sedih yang teramat dalam akibat kehilangan.
                   Aku mengelus bagian depan buku bersampul kulit, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membacanya, tapi tidak ada salahnya bila aku menengok bagian depannya.
          Kubuka halaman pertama, ada wangi ibu Lestari di sana, wangi penuh cinta dan kasih sayang tulus, aku seperti bisa melihat beliau duduk di hadapanku, dengan tatapan penuh cintanya. Tak terasa aku merasakan lagi ketidakpercayaan itu, ingin menyangkal bahwa beliau sesungguhnya telah pergi.
          Aku menyentuh lembut halaman yang menampilkan tulisan indahnya yang terukir dari tinta berwarna hitam, ini mungkin bukan buku harian, tapi lebih mirip kisah yang tertunda untuk dikatakan.
Pernahkah kau menyadari detik demi detik kehidupanmu? Pernahkah kau memikirkan bagaimana kau akan mati?
Aku mungkin tak pernah mempersiapkan apa yang harus kulakukan ketika kedatangan awalku di dunia, yang kuketahui hanyalah bahwa kita tak mungkin bisa memilih keluarga mana tempat kita ditakdirkan menjadi bagian darinya.
Ada yang mengatakan bahwa hidup ini adalah tragedi bagi orang-orang yang menggunakan hati dan lelucon bagi yang menggunakan otak untuk berpikir. Tidaklah sulit untuk mengetahui ke kelompok mana aku dimasukkan, aku tau itu menyedihkan, tapi begitulah…hidup adalah seperti sebuah layar film raksasa, dimana kita memilih peran yang akan kita mainkan, dan aku memilih menjadi Lestari; anak perempuan malang, gadis penggoda yang jatuh cinta pada pria yang salah, wanita yang menjadi ibu dari banyak yatim-piatu, tapi tak bisa menjadi ibu bagi putra-putranya.
Apakah aku memilih peran yang salah?
Entahlah!
Tapi jejak-jejak sejarah yang kutorehkan tak pernah ingin kusesali
Dan padamulah kini kuberbagi.
Aku bukan siapa-siapa, hidupku tidak terlalu menarik untuk disimak, tapi memang ada hal yang perlu kukatakan, lebih karena aku ingin menyelamatkan kehidupan bagi mereka yang masih menjalaninya.
Ada hal-hal yang harus diselamatkan walaupun aku bahkan tak mampu menyelamatkan diriku sendiri. Ada kalanya kita harus terjun dari sekoci untuk membiarkan mereka yang lebih pantas mendapatkan tempat untuk menuju ke tanah seberang.
Mungkin aku takkan mengetahui bagaimana aku mati, tapi jauh dalam hati aku ingin agar ketika maut menjemputku, aku berada di tempat yang hangat dalam kedamaian jiwa dan hati yang lapang.
Percayakah kau bahwa aku tak pernah takut akan mati? Karena yang aku tau mati itu tak pernah mengerikan, mati itu lebih mirip seperti menarik selimut hangat, memejamkan mata lalu terlarut bersama mimpi. Jauh lebih mudah daripada memperjuangkan hidup, hidup bahkan lebih susah untuk ditebak, bagaimana mejalani hari perhari, menyerah pada takdir, merasakan berbagai emosi; menikmati luka menangisi bahagia, berjalan dari satu titik ke titik lainnya, memilih bertahan atau menghilang, berlari atau menghadapi. Belajar dan berdoa. Meggunakan hati ataukah pikiran. Bermimpi atau menjalani realita. Memilih kecewa atau bahagia. Menjadi tinggi atau rendah; terhormat atau terhina. Meyesatkan diri atau kembali pada kebenaran. Menjadi pengecut atau menantang maut? Pengkhianat atau pemberontak. Hidup bahkan lebih rumit daripada sakit menjelang maut yang datang mejemput; percayalah bahwa dekapan hangat kehidupan serasa begitu cepat berlalu dan ketika kau diujug waktu, tak ada lagi yang mampu kau lakukan, maka satu-satunya cara adalah…kalaupun kau tak bisa menyelamatkan hidupmu, selamatkanlah kehidupan mereka yang lebih layak untuk kau selamatkan. Ada hal-hal yang tak semua manusia sanggup lakukan, dan itu seperti diriku, aku tau waktuku tak lama, aku tau siapa orang yang tepat dan bisa kupercayai, denganmu, kubagi kisah ini, agar kau bisa menyelamatkan mereka yang pantas diselamatkan.
Terima kasihku atas segala hal yang patut untuk kuhargai, karena kebaikan hati, ketulusan tanpa pamrih dan untuk hati yang penuh cinta. Tak banyak dari mereka mengetahui seberapa indahnya dirimu, tapi aku tau jauh dalam lubuk hatimu, engkaulah manusia itu, manusia istimewa yang tau bagaimana mencintai, benci juga kamu miliki, tapi sucinya hatimu membuatmu mau memaafkan segala yang harus dimaafkan.
Bacalah kisahku, dan bawa pelajaran berharganya untuk menyelamatkan mereka yang tersisa di dunia.
          Terima kasihku untukmu, anakku

Penuh Cinta

Ibumu

          Bahkan ketika membaca kata perkata dalam tulisan tangannya yang indah membuatku melanggar lagi janjiku, aku menumpahkan air mataku. Bagaimana bisa beliau menghargaiku dengan kepercayaan sebesar ini?
          Beliau mencintai setiap anaknya, tak ada yang kurang dan tak ada yang lebih, dengan takaran yang sama, walau beda cara penyajiannya. Beliau tau cara menghadapiku yang sungguh sangat keras kepala, dan inilah yang beliau tinggalkan untukku, sebuah kepercayaan besar, walau aku belum tau apakah itu.
          Aku menghapus air mataku. Kali ini aku sungguh tak bisa menahannya, aku seperti bocah cengeng payah, tapi aku tau ibu pasti memahami, beliau tak pernah melarang setiap anak lelakinya menangis, aku bisa mengingatnya, bagaimana cara beliau menghibur kami; ketika kecil dulu beliau akan memanggilku ke kamarnya, memberiku beberapa keping kue kering coklat dan segelas coklat hangat, serta membolehkanku untuk duduk dipangkuannya selama beberapa saat, sambil beliau menyenandungkan lagu-lagu indah yang membuatku lupa akan kesedihanku, dan di saat aku sudah mulai dewasa, beliau selalu mengajakku untuk bicara berdua di teras belakang sambil menatap bintang, mengajakku untuk mengagumi berbagai keagungan Tuhan, dan aku tau masalahku sejak dulu, rendah diri karena aku hanyalah seorang piatu, dan nasehatnya hanya satu “Tuhan sudah memilihmu untuk menjadi orang yang istimewa, itu karena kamu sanggup, kamu istimewa” dan setelah itu sebuah tepukan di bahu, akan menguatkanku.
          Seharusnya dulu, aku tidak pernah malu untuk kembali. Agar aku tak terlalu menyesal seperti ini ketika beliau pergi.

2 komentar: